Oleh: Frida Agung Rakhmadi*
Islam yang bersumber primer al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw mengajarkan kepada ummatnya untuk mengkonsumsi makanan halal. Bahkan sebetulnya tidak hanya kriteria halal yang diharapkan oleh Islam, namun juga thayyib. Halal merupakan kriteria minimal tentang konsumsi makanan.
Dalam al-Qur’an, kata halal disebutkan sebanyak 39 kali, 22 di antaranya terkait dengan makanan. 22 kata halal terkait makanan tersebut termuat dalam 17 ayat al-Qur’an.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa nomor 12 tahun 2009 telah menetapkan standar penyembelihan halal. Fatwa tersebut berlaku untuk semua penyembelihan hewan.
Pada bagian umum dari fatwa MUI nomor 12 tahun 2009 tersebut didefinisikan tentang penyembelihan. Penyembelihan adalah penyembelihan hewan sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Selain itu, didefinisikan pula istilah gagal sembelih, yakni hewan yang disembelih dengan tidak memenuhi standar penyembelihan.
Ketentuan Hukum
Pada bagian ketentuan hukum A (standar hewan yang disembelih), fatwa MUI nomor 12 tahun 2009 menetapkan beberapa hal. Pertama, hewan yang disembelih adalah hewan yang boleh dimakan. Kedua, hewan harus dalam keadaan hidup saat akan disembelih. Ketiga, kondisi hewan harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
Sementara itu, bagian ketentuan hukum B fatwa MUI nomor 12 tahun 2009 menetapkan standar penyembelih. Terdapat tiga standar penyembelih yang dipersyaratkan. Pertama, beragama Islam dan telah akil baligh. Kedua, memahami tata cara penyembelihan secara syar’i. Ketiga, memiliki keahlian dalam penyembelihan.
Bagian ketentuan hukum C dari fatwa MUI nomor 12 tahun 2009 menetapkan standar alat penyembelihan. Ada dua standar alat penyembelihan. Pertama, alat penyembelihan harus tajam. Kedua, alat penyembelihan bukan kuku, gigi/taring, dan tulang.
Terkait standar proses penyembelihan, diatur dalam fatwa MUI nomor 12 tahun 2009 bagian C. Terdapat lima ketentuan yang ditetapkan oleh MUI. Pertama, penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan menyebut asma Allah. Kedua, penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui saluran makanan (mari’/esophagus), saluran pernafasan/tenggorokan (hulqum/trachea), serta dua saluran pembuluh darah (wadajain atau vena jugularis dan artera carotids). Ketiga, penyembelihan dilaksanakan dengan sekali sembelih secara cepat. Keempat, memastikan adanya aliran darah dan/atau gerakan hewan sebagai tanda hidupnya hewan (hayah mustaqirah).
Fatwa MUI nomor 12 tahun 2009 juga mengatur standar pengolahan, penyimpanan, dan pengiriman hewan sembelihan. Pada bagian ketentuan hukum D, ada empat hal perlu diperhatikan. Pertama, pengolahan dilakukan setelah hewan benar-benar mati oleh penyembelihan. Kedua, hewan yang mengalami gagal sembelih harus dipisahkan dari yang sukses sembelih. Ketiga, Penyimpanan dilakukan secara terpisah antara yang halal (sukses sembelih) dan yang nonhalal (gagal sembelih). Keempat, proses penyimpanan daging harus memuat informasi dan jaminan tentang status kehalalannya, mulai dari penyiapan (seperti pengepakan dan pemasukan ke dalam kontainer), pengangkutan (seperti pengapalan dan lain-lain), serta penerimaannya.
Sementara itu, bagian E (lain-lain) ketentuan hukum dari fatwa MUI nomor 12 tahun 2009, memuat empat ketentuan. Pertama, hewan yang disembelih, disunnahkan untuk dihadapkan ke arah kiblat. Kedua, penyembelihan hendaknya dilakukan secara manual, tanpa didahului dengan stunning (pemingsanan) dan semacamnya. Ketiga, pemingsanan untuk memudahkan proses penyembelihan hukumnya boleh namun dengan syarat tertentu. Keempat, penggolongan hewan hukumnya haram.
Terkait dengan stunning (pemingsanan), terdapat lima syarat yang wajib diperhatikan. Pertama, stunning harus ditujukan untuk mempermudah penyembelihan. Kedua, pelaksanaan stunning harus ihsan, tidak menyiksa hewan. Ketiga, stunning harus dipastikan hanya menyebabkan hewan pingsan sementara, tidak menyebabkan kematian dan tidak menyebabkan cedera permanen. Keempat, peralatan stunning harus menjamin terwujudnya ketentuan pertama hingga ketiga. Kelima, penetapan ketentuan stunning ditentukan oleh ahli (dokter hewan).
Semoga dengan diterapkannya standar penyembelihan halal sebagaimana telah dipaparkan di atas, semua hewan sembelihan terjamin kehalalannya. Mudah-mudahan, dengan mengonsumsi makanan halal-thayyib, hidup kita menjadi berkah, aamiin.
Wa Allah a’lamu bi al-shawab
*Dosen serta Pengelola Halal Center UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta