Oleh: Ilham Yuli Isdiyanto, SH, MH
Kyai Ahmad Dahlan memang lebih terkenal dalam perjuangannya di bidang pendidikan dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah dengan cara pandang yang lebih terbuka, salah satunya adalah Madrasah Ibtidaiyah yang didirikan dan dikelola secara modern mengikuti pola Kolonial Belanda. Penelitian Muhammad Idris pada tahun 1975 di McGill University mengungkap 4 (empat) prinsip yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam mereformasi pendidikan yakni: 1) Tajdid (reformation); 2) Active; 3) Creative; dan 4) Optimism. Reformasi pendidikan ini telah membawa kesuksesan besar, hingga kini tercatat Muhammadiyah telah memiliki 6.083 lembaga pendidikan baik SD, MI, SMP, MTs, SMA, MA, SMK, dan SLB dan juga 162 Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA).
Selain pendidikan (schooling) sebagai pilar pergerakan Muhammadiyah, terdapat 2 (dua) pilar lainnya yakni: 1) layanan kesehatan (healing) dan layanan sosial (feeding). Semuanya berakar dari implementasi atas teologi Al-Maun. Dalam bidang layanan kesehatan, Muhammadiyah sudah membangun 119 Rumah Sakit dan di bidang sosial (feeding) Muhammadiyah juga aktif dalam berbagai bantuan sosial, kebencanaan, anak yatim dan lain sebagainya. Hal ini menjadi bukti, bakti Muhammadiyah terhadap umat dan negara secara terus menerus sejak sebelum merdeka hingga saat ini.
Muhammadiyah dan Ide Kenegaraan Bernilaikan Islam
Penokohan Kyai Ahmad Dahlan memang tidak mencolok dalam percaturan politik, berkaitan dalam politik kemerdekaan Indonesia, nama Ki Bagus Hadikusuma sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah tidak bisa diabaikan. Pada tahun 1938, Ki Bagus Hadikusuma bersama tokoh-tokoh lainnya yakni Mas Mansur, Dr. Sukiman Wiryosanjoyo dan Abdul Kahar Muzakir sempat mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) yang di era Jepang pada tahun 1943 menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Dari sini, gagasan ide-ide sistem ketatanegaraan yang berlandaskan nilai-nilai Islam telah dikembangkan.
Gagasan nilai-nilai Islam dalam bentuk negara kemudian diakomodir oleh Soekarno melalui Pidato 1 Juni 1945 didepan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) menjadi bagian dari Sila Pancasila yakni ‘Ketuhanan yang berkebudayaan”. Prinsip ini kemudian diperjelas dan pertegas merepresentasikan nilai Islam pada Piagam Jakarta sebagai konsensus nasional yakni sila kesatu yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun, karena ada protes dari perwakilan Indonesia Bagian Timur, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Muhammad Hatta memanggil tokoh-tokoh Islam yakni Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk rapat singkat sekitar 15 menit untuk menentukan sikap. Ki Bagus Hadikoesoemo yang mencita-citakan negara berlandaskan nilai Islam sangat berat hati memutuskan hal ini, akhirnya disepakati sila kesatu diganti “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai representasi dari makna ketauhitan yang menjadi dasar negara.
Dalam pandangan Muhammadiyah, kemerdekaan adalah berkah dan rahmat dari Allah SWT sehingga nantinya mampu menjadi pelaksana Amar Ma’ruf Nahi Munkar sehingga terwujudlah negara Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur yakni negara yang yang indah, bersih, suci dan Makmur dibawah lindungan Allah SWT. Muhammadiyah merupakan salah satu media relasi antara negara dan agama, dimana ide-ide dan gagasan tentang aktualisasi nilai-nilai keislaman dapat terdeliberasi melalui kehidupan bernegara. Artinya, secara politis, Muhammadiyah juga memiliki peran penting untuk mewujudkan Indonesia berkemajuan dengan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Strategi Kenegaraan Muhammadiyah
Jika teologi Al-Maun telah berhasil merefleksikan Islam transformatif, maka teologi Al-‘Ashr melahirkan konsep Islam berkemajuan untuk menjadi dasar dalam mewujudkan Indonesia berkemajuan. Konstruksi cara berfikir transformatif dan berkemajuan diterjemahkan oleh Kuntowijoyo kedalam 3 (tiga) prinsip utama yakni : amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi). Dalam wilayah sosial, implementasi atas ketiga prinsip tersebut diharapkan mampu untuk mewujudkan Indonesia berkemajuan, yakni Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Muhammadiyah menyadari, bahwa mengembangkan prinsip-prinsip saja tidaklah cukup. Sebuah gagasan perlu ada upaya aktualisasi yang lebih konkrit, untuk itu perlu dibentuk strategi pergerakan. Salah satu strategi dalam mendorong kehidupan bernegara, yakni pertanggungjawaban umat terhadap negara yakni diijtihadkan melalui “Negara Pancasila Dār Al-’Ahd Wa Al-Syahādah”.
Konsep dari Negara Pancasila Dār Al-’Ahd Wa Al-Syahādah yang menjadi Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 adalah negara Pancasila tak lain merupakan negara perjanjian/kesepakatan dan persaksian. Dār Al-’Ahd yang berarti perjanjian atau kesepakatan merepresentasikan bahwa negara Pancasila merupakan konsensus nasional, sebagai konsensus ada hak dan pertanggungjawaban yang harus dilaksanakan didalamnya, sedangkan Dār Al-Syahādah yang berarti kesaksian adalah representasi sebagai komitmen yang harus dijunjung oleh umat dalam mewujudkan negara Indonesia berkemajuan yakni negara yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Konstruksi negara perjanjian maupun kesaksian dari Negara Pancasila Dār Al-’Ahd Wa Al-Syahādah diturunkan lagi kedalam 10 (sepuluh) prinsip atau model gerakan, yakni : (1) Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan; (2) Memperbanyak kawan dan meningkatkan persaudaraan (ukhuwah Islâmiyah); (3) Memiliki pandangan luas dengan memegang teguh ajaran Islam; (4) Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; (5) Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah; (6) Melakukan Amar ma’ruf nahi munkar dan menjadi teladan yang baik; (7) Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam; (8) Kerjasama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam, serta membela kepentingannya; (9) Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara; dan (10) Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
Indonesia Berkemajuan
Indonesia berkemajuan adalah implementasi dari teologi Al-Maun dan teologi Al-Ashr yang menjadi dasar nilai perjuangan Muhammadiyah. Hal ini membuktikan, fungsi dan peranan Muhammadiyah dalam kehidupan bernegara sangatlah nyata. Konstruksi teologi ini telah tertuang dalam Manhaj gerakan Muhammadiyah yang telah menjadi sistem keyakinan, pemikiran dan tindakan. Hal ini sejatinya sudah tertanam sejak awal gerakan Muhammadiyah hingga kini, keberadaan Muhammadiyah mendorong para kader-kadernya untuk terus berjuang dalam Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan menjalankan strategi Dār Al-’Ahd Wa Al-Syahādah. Oleh karenanya, Indonesia berkemajuan tidak lain adalah representasi dari negara Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Ilham Yuli Isdiyanto, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan