#Di Rumah Saja, Cerpen Ulfatin Ch

Udara panas dimusim penghujan memang luar biasa sekali, apalagi diiklim tropis. Hujannya belum nampak tapi udara rasanya semakin panas. Seperti menyimpan magma di gunung berapi yang sekejap lagi meledak.

Gunawan, dr.Gunawan tepatnya, ia duduk di teras rumahnya, membuka-buka Koran pagi yang halamannya mulai menyusut, barangkali terkena pandemic juga. Sehingga halaman Koran yang biasa 15 halaman, kini pun menyusut tinggal 8 halaman dan kedepan bisa jadi tinggal 4/2 halaman tersaji. Lalu lintas sepi, aktifitas pun terhenti, semua #di rumah saja menunggu pandemic berakhir. Tapi kapan akan berakhir wabah ini?

Berbeda dengan dr Gunawan yang bekerja di sebuah rumah sakit. setiap hari masih bekerja memeriksa pasien dan otomatis penghasilan masih berjalan lancar. Lain dengan Jumadi yang bekerja sebagai buruh pabrik swasta dengan gaji harian. Ketika ada kabar wabah pandemic covid dan hampir seluruh wilayah terkena dampak lokdown termasuk wilayah pabrik tempat Jumadi bekerja, ia pun terpaksa harus #di rumah saja. Begitu juga teman-teman kerjanya lain yang tersisa hanya beberapa pekerja dan supervisor. Sedang pekerja yang lain istirahat di rumah dan otomatis tanpa gaji.

#di rumah saja bukan berarti yang lain pun ikut istirahat. Kebutuhan hidup manusia tetap berjalan, bahkan mungkin semakin bertambah. Bagaimana tidak. Kalau manusia berdiam tentu perut tak bisa tinggal diam. Mulut kita tetap menganga sepanjang hayat dikandung badan. Itu berarti kebutuhan makan harus terjaga agar manusia bisa hidup dan sehat. Kalau kita kurang makan daya tubuh kita menurun dan virus yang mengakibatkan pandemic ini akan melonjak. Siapa salah? Tak ada yang bisa disalahkan. Ini wabah dan musibah.

Sebuah pabrik yang di dalamnya tanpa pekerja lapangan, tak akan ada yang dinamakan supervisor. Semuanya sebagai pekerja atau bahkan pejabat yang kadang hanya berbicara, menginstruksikan ini dan itu tanpa ada yang mendengarkan pun mereka bukan siapa-siapa. Semua sama dimasa pandemic.

Hari pertama, jumadi tidak bekerja, suasana begitu menyenangkan. Jumadi pun bisa stirahat tenang karena tabungan masih dibatas aman. Dan banyak prediksi termasuk Jumadi memperkirakan wabah hanya akan berjalan satu dua bulan saja. Waktu di rumah pun betul-betul dimanfaatkan untuk istirahat nyaman bersama keluarga. Tapi ternyata setelah masa pandemic berjalan dan Jumadi #di rumah saja sudah satu tahun dan tidak ada yang berani memprediksi lagi kapan wabah ini berakhir. Tabungan Jumadi pun mulai menipis sedang kebutuhan masih berjalan. Dua anaknya masih sekolah dan harus tetap membayar sekolah. Semua kebutuhan hidup sulit diistirahatkan, apalagi yang namanya kebutuhan pokok dan mereka yang punya anak-anak kecil terpaksa merelakan anak-anak mereka tumbuh dengan asupan seadanya.

Semua warga berdiam di rumah tak terkecuali Jumadi yang bekerja di sebuah pabrik kayu. Jumadi berbeda dengan dr.Gunawan. Jumadi bekerja sebagai buruh harian, sehari tak bekerja sudah pasti gajinya dipotong. Sementara kebutuhan hidup terus berjalan tanpa kompromi.  Sedang dr Gunawan yang bekerja di sebuah rumah sakit masih bisa menjalankan aktifitasnya di rumah sakit atau sebagai dokter praktek di rumah memanfaatkan waktu luangnya di rumah. Tidak dengan Jumadi. Setiap hari selama di rumah, Jumadi hanya bekerja membantu istrinya mengurus anaknya yang masih kecil-kecil. Mereka senang, terutama anak-anaknya, karena merasa nyaman ditunggu bapak-ibunya di rumah. Belajar juga di rumah. Makan di rumah. Bermain di rumah.

Waktu sudah berjalan setahun, wabah tak henti juga. Pembatasan Kegiatan Masyarakat pun diperpanjang. Untuk bertandang ke rumah saudara pun dibatasi, hanya bila saudara, orang tua kita sakit atau meninggal dunia. Itu pun kalau yang meninggal negative, kalau terdapat indikasi positif, hanya petugas yang boleh menyelesaikan tugas-tugas shohibul musibah. Sanak saudara hanya berdiam pasrah di rumah menunggu kabar dari petugas yang ditunjuk. JIka ada yang kurang berkenan dan mencoba menyelesaikan sendiri, resiko tanggung sendiri.

Jumadi di rumah saja, sedang dr Gunawan sudah berangkat bekerja pagi tadi. Jumadi mulai merasakan tidak nyaman seharian tinggal di rumah, sementara tabungannya mulai menipis. Bantuan sembako wabah tak menjamin selesai kebutuhannya. Anak-anak mulai ribut satu sama lain, meminta ini dan itu. istrinya pun merasakan lelah mendampingi anak-anak belajar dengan daring. Apalagi pengetahuannya terbatas, karena dia hanya lulusan Sekolah Menengah. Ditambah lagi proses belajar anaknya harus menggunakan gawai android yang bagi istrinya sebagai hal baru. Jumadi pun bisa membayangkan betapa penat istrinya harus belajar juga. Dia dan keluarganya butuh suasana yang lain untuk menghilangkan kepenatan dan kejenuhan yang dirasakannya. Kalau dulu sebelum pandemic, jumadi selalu mengajak anak dan istrinya jalan-jalan diakhir pekan, meskipun hanya sekedar jalan dan mampir di warung soto atau gudeg wijilan sambil menikmati aroma kraton dan istana Agung yang tenang dipagi hari. Kini masa pandemic, untuk keluar rumah masih harus berfikir ulang, barangkali di sana nanti terjadi kerumunan yang tak terhindarkan dan bisa jadi akan kena pasal kerumunan seperti yang terjadi pada Riziq Shihab. Dari mana kita dapat uang untuk membayar denda, untuk kebutuhan sehari-hari saja masih kembang kempis. Karena kebutuhan kita tak selesai dengan bantuan.

Jumadi mulai memutar otak untuk mengatasi keadaan keluarganya.

Matahari belum seberapa tinggi, Jumadi mengayuh sepedanya mengelilingi jalan desa. Sementara otaknya berputar; “apa yang mesti kulalukan untuk mencari penghasilan dimasa pandemic ini.” Jumadi terdiam menatap penjual sayur di pinggiran pasar. “Bisakah aku berjualan sayur seperti ibu itu. Tapi, aku tidak bisa berdiam seperti ibu penjual sayur di pasar. Aku akan berkeliling menjajakan sayuranku di kompleks perumahan.” Jumadi pun mengutarakan niatnya berjualan keliling kepada istrinya. Istrinya menyetujui. Jumadi pun secepatnya mempersiapkan sarana untuk berjualan sayur dengan uang yang ada.

Dihari berikutnya, sehabis subuh, Jumadi berangkat dengan kronjot di sepeda motornya menuju ke pasar mencari dagangan sayur, lauk dan buah-buahan. Ketika matahari menyingsing, dia sudah berada di kompleks perumahan untuk menjajakan dagangannya.

“Oh, mas Jum yang jualan sayur pagi-pagi?” kata bu vita yang kebetulan baru membersihkan teras rumahnya.

“Alhamdulillah, Pak Jumadi sudah beraktifitas,” bu Asmar menimpali sapaan bu vita. “Seneng ya, bu Vita. Pagi-pagi sudah ada yang jual sayur.”

“Iya, bu Asmar. Mudah-mudahan ada yang kita cari.” Kata bu Vita. Mereka pun saling mencari sayur yang dibutuhkan. Ibu-ibu yang lain pun saling berdatangan menghampiri dagangan Jumadi dan membentuk gerombolan semacam kerumunan. Dalam hati, jumadi was-was melihat kerumunan itu. Tapi, pagi ini dagangan jumadi langsung habis tinggal seikat kangkung dan sebungkus sop-sopan dibawa pulang. Jumadi pun meletakkan krojot sayurnya disamping rumah disambut anak-istrinya.

“Bapak pulang …,”

“Habis dagangannya ya, Pak, Alhamdulillah,” sambut istrinya.

“Alhamdulillah,” Jumadi tersenyum. Lelah tergurat diwajahnya. Segelas air putih pun turut menyambut Jumadi sedikit melegakan tenggorokannya yang mengering. Jumadi pun lelah merebahkan tubuhnya yang tiba-tiba menghangat, mungkin karena kepagian dia terbangun karena harus memburu sayur untuk dijual. Tapi tubuh Jumadi semakin gigil, tenggorokannya sakit.

“Bu, ..” panggil Jumadi ke istrinya.

“Lho, kenapa badan bapak panas begini,” istri Jumadi agak panik. Dia pun mencari obat untuk Jumadi, tapi rupanya keadaan jumadi memburuk. Istri Jumadi pun minta pertolongan tetangga. Jumadi dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Jumadi terdeteksi positif.

 

Yogyakarta, 2021  

Exit mobile version