Oleh: Lala Citra Susanty*
Kesehatan menjadi salah satu aspek kunci bagi suatu negara untuk menjadi negara maju. Keadaan sehat menunjang masyarakat untuk beraktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Persepsi setiap orang terhadap kondisi sehat sangat beragam. Sehat sebagai kondisi yang paripurna, bukan sekadar bisa bekerja, belajar, atau bermain. Persepsi dipengaruhi pendidikan, lingkungan, budaya, dan status ekonomi. Tukang becak merasa dirinya sehat selama bisa mengayuh becak dengan batuk-batuk, tidak menutup kemungkinan menderita Tuberculosis (TBC). Selama dapat bekerja apapun kondisi disamping itu baginya kondisi itu sehat. Sedangkan, direktur cenderung akan datang atau menghubungi dokter ketika merasa tidak enak badan. Kesenjangan semacam ini nyata terjadi.
Seseorang dengan ekonomi menengah ke bawah lebih memilih mengesampingkan kesehatan tubuh demi mencukupi kebutuhan sehari-hari yaitu makan. Apabila dirinya mengutamakan kesehatan dan berobat ke dokter, baik dirinya atau keluarga terancam tidak makan. Biaya berobat menjadi pertimbangan utama. Prioritas masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah adalah perut, tanpa memerdulikan kenyamanan ataupun keamanan. Kondisi memaksa mereka untuk berpikir realistis. Mereka tidak salah atas persepsi yang mereka miliki. Lantas, siapa yang patut disalahkan atas kondisi ini.
Kebijakan pemerintah patut disalahkan atas segala masalah kesehatan yang timbul di Indonesia. Kebijakan kesehatan dijadikan pedoman dalam melaksanakan program kesehatan. Kebijakan kesehatan yang salah menghasilkan program kesehatan yang tidak tepat sehingga tidak mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat bahkan dapat memperburuk kesehatan dan menyebabkan kematian. Entah logika berpikir seperti apa yang digunakan para pembuat kebijakan kesehatan yang salah kaprah hingga saat ini. Terdapat dua kemungkinan, pembuat kebijakan tidak kompeten dalam bidang kesehatan atau ada kepentingan lain yang menunggangi kebijakan kesehatan.
Sejauh ini, pemerintah mengembangkan program jaminan kesehatan yang sering disebut BPJS Kesehatan. Masyarakat yang mendaftarkan diri sebagai pengguna BPJS Kesehatan berkewajiban premi setiap bulannya. Secara umum, BPJS Kesehatan sama seperti asuransi kesehatan lainnya. Pengguna BPJS dapat mengakses fasilitas kesehatan milik pemerintah tingkat kota/ kabupaten, provinsi, atau nasional yang tersebar diseluruh Indonesia tanpa dipungut biaya lagi. Akses terhadap fasilitas kesehatan yang dimaksud seperti rawat inap, rawat jalan, operasi, dan lain sebagainya. Sangat disayangkan BPJS hanya dapat digunakan untuk mengakses fasilitas kesehatan yang bersifat kuratif (penyembuhan) saja.
Hendaknya, BPJS juga dapat digunakan untuk fasilitas kesehatan seperti Medical Check Up (MCU). Sebaiknya MCU dilakukan satu tahun sekali. Kondisi kesehatan seseorang dapat diketahui melalui hasil MCU. MCU merupakan salah satu tindakan pencegahan penyakit (preventif). Seseorang dengan hasil MCU baik dapat tetap menjaga kondisi yang mempertahankan gaya hidupnya. Konsultasi kesehatan dapat dilakukan dengan tenaga kesehatan berdasarkan hasil MCU untuk tetap atau meningkatkan kesehatannya. Manfaat lain dari MCU yakni dapat mendiagnosis penyakit lebih dini sehingga segera memperoleh pengobatan. Biaya MCU tidak murah sehingga tidak semua masyarakat bisa melakukan MCU atau melakukannya secara rutin.
Kendati demikian, MCU memiliki banyak manfaat dengan meminimalisir seseorang mengalami penyakit yang parah atau meninggal. Kemampuan negara untuk memberikan akses MCU kepada pengguna BPJS Kesehatan dirasa sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Apabila direnungkan kembali, biaya pengobatan masyarakat pengguna BPJS Kesehatan yang sakit hingga saat ini juga sangat besar. Mereka mengalami berbagai penyakit dengan tingkat keparahan yang beragam. Sudah banyak operasi yang dilakukan kepada pengguna BPJS Kesehatan. Dengan demikian, fasilitas MCU kiranya dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Harga yang dibayarkan pengguna BPJS Kesehatan harus sebanding dengan fasilitas yang diterima. Polemik terkait tarif BPJS yang terus berubah juga makin menurunkan minat masyarakat dalam menggunakan BPJS Kesehatan untuk mengakses fasilitas kesehatan. Pemerintah tidak melakukan evaluasi untuk meningkatkan pelayanan terhadap pengguna BPJS Kesehatan, tetapi terus merubah konsep tanpa ada tujuan konkret yang hendak dicapai. Kenaikan tarif dan penghapusan kelas menjadi hal yang terus diperdebatkan sehingga menimbulkan keraguan terhadap esensi BPJS Kesehatan murni sebagai kebijakan berbasis kesehatan atau hanya bisnis negara belaka. Semakin nampak ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat.
Kebijakan kesehatan di Indonesia melalui implementasi BPJS Kesehatan saat ini masih kuno dan terbelakang. Indonesia saat ini masih fokus pada upaya kesehatan secara kuratif, belum banyak melakukan upaya kesehatan secara preventif atau promotif. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang tertuang pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012. Bahkan, BPJS Kesehatan belum berorientasi pada paradigma sehat yang mengusahakan rakyat untuk tetap sehat hingga meningkat derajat kesehatannya.
*Lala Citra Susanty, Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga