Kau angkat nampan dengan penuh hati-hati, hingga setinggi mata. Langkahmu perlahan dan pasti, menuju kerumunan orang yang menghadiri pesta pernikahan. Tidak pernah terbayang dalam benakmu jika semua ini akan terjadi. Kau laden pada hajatan pernikahan gadis yang kau suka. Tidak ada pilihan lain memang. Di kampungmu, kau merupakan orang penting di kepengurusan pemuda, lebih tepatnya kau menjabat sebagai wakil ketua. Alangkah memalukan jika kau tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
Setiap kau melangkah mengantarkan makanan dan minuman, mungkin sekujur tubuhmu seperti dikuliti. Hatimu disayat-sayat, dadamu koyak. Sesak. Aku menangkap ada keganjilan di wajahmu, semacam ketidakrelaan. Kemarin, begitu langit memerah jingga, kusambangi rumahmu. Tidak ada tujuan lain, selain aku ingin menghiburmu. Aku menawarkan kepadamu, bagaimana jika kau menjadi pasanganku saat laden. Ya, pasangan. Kau mengantarkan makanan dan minuman, sementara aku berdiri di dekat meja para tamu undangan, menunggumu kemudian memindahkan makanan dan minuman dari nampan yang kau bawa ke meja.
Kau seorang pendatang di kampungku, tepatnya kau datang empat tahun yang lalu. Dari pengamatan kacamataku, kau sangat jarang menolak jika dimintai tolong, apalagi jika permintaan itu berkaitan dengan masyarakat. Kau mudah bergaul. Aku masih ingat benar, dulu ketika awal-awal kau tinggal di kampung ini, pada saat pertemuan rapat pemuda pertamamu, kau langsung bisa akrab dengan pemuda-pemuda lain. Hal itulah yang kemudian mengantarkanmu menjadi wakil ketua. Adat yang berpuluh tahun terpatri di masyarakat lebur dengan adanya dirimu. Bahwa yang menduduki jabatan penting, harus orang asli kampung, bukan pendatang. Adat itu memang tidak pernah tertulis dalam aturan AD/ART organisasi pemuda. Namun sekali lagi, terpatri di benak orang-orang. Masyarakat ingin memberdayakan orang-orang asli kampung—di awal-awal kau menjabat sempat terjadi kasak-kusuk yang membuat telingamu tidak enak.
Salah satu tugas pemuda adalah laden di hajatan pernikahan—apabila si pemilik hajat menghendaki prasmanan, maka pemuda hanya datang sebagai tamu, sebagaimana tamu-tamu lain. Akan tetapi agar pemuda datang menunaikan tugasnya, ada syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang menikah. Semasa menjadi pemuda harus rajin mengikuti setiap agenda yang diadakan pemuda, mengikuti kegiatan apapun di kampung. Apabila semasa menjadi pemuda malas-malasan, dengan kata lain tidak aktif di forum-forum pemuda serta berbagai kegiatan yang menyangkut kampung, maka orang itu tidak berhak mendapatkan pelayanan sosial saat hari di mana ia menikah tiba. Pemuda berhak menolak laden, walau si pemilik hajat datang meminta bantuan dengan baik-baik.
“Saya kira adat ini akan lebih baik jika dijadikan aturan tertulis. Dengan begitu, tanggung jawab yang diemban akan dilaksanakan dengan lebih serius,” ucapmu. Kau pernah mengusulkan demikian. Selama ini tidak ada satu pun orang yang mengusulkan hal itu di rapat bulanan pemuda.
Usulmu tidak diterima. Forum menganggap bahwa selama ini aturan itu bisa dilaksanakan walau tidak tertuang dalam lembar aturan organisasi pemuda. Tapi hal itu runtuh saat salah seorang pemuda di kampung yang bernama Shabran menikah. Kala rapat pemuda, pernikahan Shabran menjadi perdebatan. Kau tahu persis, Shabran bukan pemuda yang aktif di segala kegiatan kampung. Ia memunculkan dirinya hanya sesekali saja. Ia seorang lelaki yang mengenyam perkuliahan bahkan hingga S2. Ayahnya mantan lurah.
“Saya kira, untuk kali ini adat ditiadakan saja. Kita semua tahu Shabran itu siapa, ayahnya mantan seorang lurah, dan ia sendiri juga seorang dosen. Rasa-rasanya tidak pantas Shabran diberlakukan demikian,” ucap salah satu pemuda. Hal itu kemudian langsung dibantah secara mentah-mentah olehmu.
“Itulah mengapa saya pernah mengusulkan jika aturan soal laden di hajatan nikah, harus dibuat secara tertulis, jika perlu setiap anggota pemuda menandatangi kesepakatan itu. Biar apa? Tentu saja biar tidak dianggap enteng. Jika kita tetap memenuhi permintaan keluarga Shabran untuk laden, saya yakin apa yang terjadi pada Shabran akan terjadi pada generasi-generasi selanjutnya, dan bukan tidak mungkin, hal buruk itu akan merembet ke hal-hal lain,” ucapmu dengan berapi-api.
Aku kagum. Caramu berbicara sangat tegas, seakan mulutmu sebuah magnet, menjadikan orang yang mendengarmu ingin mengiyakan ujaranmu. Riuh pun terjadi. Ketua pemuda langsung meredakan keriuhan itu beberapa detik kemudian. Kubu pun terbagi menjadi dua, akan tetapi pemuda yang mendukung kalau tetap ada laden lebih banyak. Tentu saja gara-gara alasan kalau Shabran merupakan anak mantan lurah dan seorang akademisi. Selain itu mereka mengungkap masa lalu ayah Shabran yang telah berjasa besar pada kampung. Aku tentu saja berada di pihakmu, setiap pemuda yang tidak aktif memang harus diberi pelajaran berupa sanksi sosial.
Apa boleh buat? Hasil keputusan tetap diadakan laden di pernikahan Shabran. Kau sempat meminta saran kepadaku begitu pertemuan malam itu selesai—arah rumah kita searah—bagaimana jika membangkang dari keputusan atau dengan kata lain tetap setia pada adat yang telah bertahun-tahun ada? Aku menyarankan kau tetap hadir karena itu kesepakatan bersama. Apabila tidak berangkat, bisa jadi malah membuat jelek namamu.
“Saya yakin hal ini akan kembali terjadi,” ujarmu, di telingaku, terlihat sekali nada bicaramu belum dapat menerima keputusan.
“Semoga saja tidak.”
“Lihat saja.”
Aku melangkah ke meja yang lain, meja yang masih kosong. Lalu berdiri menunggumu sambil memandangi sepasang pengantin di pelaminan. Aku tidak bisa membayangkan, betapa tidak karuan perasaanmu. Aku yakin dalam ruang hatimu, kau menyimpan sebongkah penyesalan, mengapa dulu kau terlambat, tak segera memberikannya kepastian. Kau didahului lelaki yang kini duduk di pelaminan, bersanding dengan pujaanmu. Yang lebih menyakitkan, mereka hanya pacaran sekitar dua bulan—aku sempat curiga selama ia dekat denganmu, di luar sana pujaanmu telah didekati oleh lelaki itu.
Aku salut denganmu, kau masih mau hadir di pesta pernikahannya, sekalipun karena jabatan yang kau emban. Kau ibarat menjemput luka, tidak setiap orang sanggup melakukannya. Aku telah berjanji kepada diriku sendiri, kalau aku akan mengobati luka itu, dengan sepenuh hatiku. Tahukah kau, mengapa aku mengajakmu berpasangan di hajatan nikah kali ini? Mengapa tidak orang lain? Sebagai seorang laki-laki seharusnya kau peka.
Saat hari rapat pemuda kembali tiba, kau membongkar kembali masalah laden. Kau mengutarakan keberatan-keberatan. Aku tidak tahu pasti, apa alasanmu menyampaikan keberatanmu di forum. Namun kukira hanya ada dua kemungkinan, pertama kau memang ingin menyelamatkan adat dan tidak ingin masa depan pemuda buram. Kedua, kau sakit hati telah laden di tempat pujaanmu. Semua orang juga tahu, siapa pujaanmu itu? Ia pemudi kampung yang tidak pernah aktif. Dan kehadiran pemuda di hajat pernikahannya untuk laden, tidak dilandasi apa-apa. Apa yang kau khawatirkan mulai mendekati kenyataan. kau mungkin tidak paham dengan jalan pikiran para pemuda, apa yang ada di kepala mereka, sehingga mereka tetap memutuskan untuk laden?
“Jangan hanya karena Ratih menikah dengan orang lain, kau melampiaskannya di forum, dan menunda kepulangan kami,” ucap salah seorang anggota. Orang itu agaknya kurang suka dengan yang kau lakukan.
Kau pun naik pitam. Serambi masjid bergetar. Kau benar-benar dipermalukan. Kau mungkin menyesal telah menyukai Ratih, pemudi yang kolot tidak juga mau hadir dalam pertemuan-pertemuan, jika keadaannya akan seperti ini. Keputusannya, belum ada keputusan. Apa yang kau sampaikan, akan dibahas pada pertemuan selanjutnya, sebab suasana sudah tidak lagi kondusif. Aku kemudian bertanya-tanya, akankah kau hadir pada pertemuan selanjutnya?
Aku tidak bisa membayangkan, seperti apa rasa malumu. Setelah ini, kau bakal diejek-ejek, dan itu mungkin menjadi bahan tertawaan paling lucu di kampung. Aku ikut prihatin, tetapi sesungguhnya aku sedang dalam keadaan bahagia yang sangat. Tentu saja, seperti janjiku, aku akan mengobati lukamu!
*Laden adalah mengantarkan minuman dan makanan untuk tamu undangan
Jejak Imaji, 11 April 2021
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Kompensasi. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.