SUMATERA BARAT, Suara Muhammadiyah – Jika silaturahmi dimaksudkan untuk membangun hubungan yang baik antar sesama, tentu hal tersebut sudah terlaksana. Namun ketika silaturahmi ditujukan untuk mengikat seluruh warga Persyarikatan dalam mengaktualisasikan, mentransformasi, serta mewujudkan kemaslahatan sosial bagi masyarakat dan untuk memeriahkan dakwah Islam, maka hal ini perlu menjadi prioritas serta menjadi pekerjaan rumah kita bersama.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebutkan, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian dalam menyambung tali silaturahmi antar warga Persyarikatan. Agar silaturahmi yang terjalin dapat menjadi bagian dari ibadah mu’amalah dan amaliyah organisasi yang mencerahkan. Pertama, warga Persyarikatan perlu terus menghidupkan nilai-nilai Islam yang menjadi landasan, pondasi, bingkai, orientasi, dan cita-cita pergerakan Muhammadiyah. Karena Muhammadiyah sejatinya merupakan gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Tujuan utamanya mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
“Kenapa kita harus terus menghidupakan nilai-nilai Islam? Pertama dan yang utama karena hal ini merupakan kewajiban dalam berdakwah yang tidak lain untuk menegakkan nilai-nilai ajaran Islam,” ujarnya.
Dengan demikian diharapkan nilai-nilai Islam tersebut dapat bergerak sepadan dengan laju masyarakat yang begitu luar bisa perkembangannya. Sebagaimana perkembangan masyarakat di negara-negara mayoritas Muslim, tidak terkecuali Indonesia, dimana nilai-nilai kehidupan bukan hanya bertautan dengan agama, tetapi juga bertautan dengan berbagai macam pemikiran yang tak jarang justru pemikiran-pemkiran tersebut bertentangan dengan agama. Seperti mulai merebaknya paham agnostik dan ateisme di negara-negara timur. Bahkan dari media sosial beberapa orang di Timur Tengah mulai berani menyuarakan dan menyebarkan paham ateismen secara terang-terangan.
“Di Indonesia sendiri sejak awal revormasi sudah mulai bermunculan paham anti agama dan Tuhan. Hal ini sebagai bagian dari perkembangan multikulturalisme, globalisme, dan perkembangan kehidupan modern yang salah kaprah,” tegas Haedar dalam agenda Silaturahmi Warga Muhammadiyah Se-Sumatra Barat (26/6).
Menghadapi masalah seperti ini tidak cukup dengan membuat pernyataan atau mengklaim itu jelek atau buruk. Tetapi bagaimana cara kita menghadapi alam pikiran agnostik dan anti agama serta Tuhan tersebut dengan cara pandang Islam yang bisa meyakinkan mereka bahwa Islam bukanlah agama yang harus diantikan atau dimusuhi. Justru kita harus menyampaikan, siapa pun mereka dan di mana pun ia berada akan rugi hidupnya jika mereka anti kepada agama dan Tuhan. “Itulah pentingnya dakwah yang bersifat mengayomi,” jelas Haedar.
Menurutnya, umat Islam era ini harus mampu meningkatkan kapasitasnya untuk mengatasi berbagai pemikiran dengan cara melakukan dakwah yang bersifat mengayomi semua.
Kedua, dalam praktek kehidupan manusia di era modern seperti saat ini, media sosial dapat menjadi alat dakwah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Media sosial juga dapat menjadi alat untuk mencari ilmu, tapi juga bisa menjadi alat untuk hal-hal yang tidak baik (menyebar permusuhan, berita bohong, pornografi, dll). Sehingga media sosial sangat bergantung pada penggunanya. “Jika warga Persyarikatan mampu mengaktualisasikan akhlak al-karimah dalam bermedia sosial, maka warga Muhammadiyah dapat menciptakan keadaban publik. Membimbing generasi muda untuk berakhlak mulia,” ujarnya.
Ketiga, mentransformasikan silaturahmi antara warga Persyarikatan kedalam usaha menghidupkan kembali tradisi ilmu. Dahulu, seperti yang terjadi kepada masyarakat Minang yang sangat kental dengan tradisi ilmiahnya. “Coba bapak-ibu dan adik-adik sekalian search di google tentang tokoh-tokoh Minang, akan keluar di situ para ulama, cendikiawan, dan tokoh bangsa yang tradisi besarnya adalah tradisi ilmu yang lahir dari Islam. Sebut saja Ayah Buya Hamka, Hamka, Nasir, Hatta hingga tokoh-tokoh berhalauan ideologi kiri seperti D. N. Aidit dakn Tan Malaka,” paparnya.
Dalam sambutannya pada acara peresmikan Gedung Convention Hall Prof. DR. Ahmad Syafii Maarif di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Haedar kembali menegaskan bahwa tradisi Muhammadiyah adalah tradisi keilmuan. “Bagi anak-anakku yang sekarang belajar di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, jangan pernah merasa kecil hati atau minder belajar di PTM, itu malah salah alamat kalau kita minder. Karena Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) saat ini gradenya sudah banyak yang berada di atas. Apalagi UM Sumatera Barat sudah menjadi dua PTS terbaik dan nanti akan menjadi yang terunggul di Sumatera Barat,” ujarnya. (diko)