YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Idul Adha tinggal menghitung hari. Sudut-sudut kota hingga pekarangan masjid sudah mulai ramai berdatangan hewan-hewan kurban. Namun, dunia peternakan Indonesia sebenarnya tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Ada api dalam sekam yang tidak dibicarakan luas dan ditangani secara cepat yaitu, wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada ruminansia.
Bertujuan merumuskan kondisi dan rencana penyelesaian masalah ini, Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah menggelar diskusi publik. Tajuknya ialah “Penyakit Mulut, Kuku Sapi, dan Derita Peternak: Rakyat Harus Bagaiamana?”
Hadir pada pagi hari ini (6/7) di Gedung Pusat Muhammadiyah Jalan Cik Ditiro Ketua MPM PP Muhammadiyah, Dr. Nurul Yamin, M.Si. bersama Ketua PP Muhamamdiyah, Dr. M. Busyro Muqqodas, M.Hum. serta tiga orang narasumber beserta moderator diskusi, M. Abduh Zulfikar, S.Pt.
Ketiga narasumber ialah Yeka Hendra Fatika dari Ombudsman RI, drh. Hendra Wibawa, M.Sc, Ph.D. dari Kepala Balai Besar Veteriner Wates, dan Dr. H. Fuad Zein, M.A. sebagai Ketua Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Selain itu hadir pula pengamat peternakan, Prabowo Respatiyo Caturroso.
Sebelum masuk pada sesi diskusi, panitia menayangkan video bestpractice penanganan penyakit muluk dan kuku pada ruminansia yang dilakukan Prof. Dr. Ir. Sujono, M.Kes.
Pada pengantarnya, Nurul Yamin mengingatkan bahwa, dalam sejarahnya, Indonesia pernah mempunyai pengalaman wabah PMK ini. Seharusnya kita belajar dari pengalaman sejarah tersebut supaya persoalan serupa bisa membesar seperti hari ini. Bahkan, kasus PMK hari ini sudah masuk dalam tataran bencana nasional, termasuk ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Mengapa masalah PMK ini bisa sebegitu berlarutnya? Hal ini bisa diruntut pada kondisi praktik demokrasi Indonesia yang bermasalah di hulunya (baca: pemerintah pusat, red.). Pak Busyro Muqqodas menegaskan, demokrasi pemerintah Indonesia saat ini jauh dari komitmen moral Pancasila. Akibatnya, tata kelola persoalan publik menjadi kacau. Ambil saja contoh kasus korupsi bantuan sosial pandemi Covid-19 oleh Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial periode 2019.
Masih dalam kacamata tata kelola pemerintahan, Pak Yeka dari Ombudsman menjelaskan bahwa seharusnya kita tidak perlu kecolongan wabah ini, jika sinyak kuat PMK pada 2015 langsung ditangani. Termasuk juga masalah kebijakan impor sapi dari India yang seharusnya mengacu pada saran impr berbasis sistem zonaisasi, bukan negara.
Di tengah carut-marut praktik kebijakan peternakan di Indonesia, penanganan wabah PMK juga terbentur pada persoalan klasik, yakni pendataan yang tidak valid. Ada perbedaan selisih besar antara data dari Kementrian Pertanian dengan BNPB yang menangani masalah ini, sehingga berimbas pada penentuan kebijakan.
Padahal, wabah PMK ini cepat menyebar, “Dalam waktu dua minggu saja, 15 provinsi positif. Artinya, ketika penyakit ini hadir di hewan, dia akan cepat beredar,” jelas Pak Hendra Wibawa. Data yang tidak valid ini juga berimbas pada valuasi kerugian pada peternak. Bila mengacu pada data BNPB, kerugian pada peternak sapi potong mencapai 5,4 triliun, ini belum termasuk sapi perah.
Meskipun pemerintah sudah memiliki serangkaian prosedur penanganan, regulasi pemotogan hewan terjangkit PMK, surat edaran terkait idul adha, hingga agenda vaksinasi, praktis pelaksanaannya masih lambat. Jadi, “Pelaksanaan [tetap] perlu dikawal,” ujar Hendra.
Di antara kerja pengawalan wabah PMK ini, juga perlu dilakukan di bagian-bagian hilir atau masyarakat. Sebagaimana Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid yang juga menyiapkan perangkat prosedural pemotongan hewan kurban di tengah kondisi wabah hari ini.
Dasar fikir kurban dalam Surah Al-Baqarah ayat 168 yang menjelaskan konsep halal dan toyib inilah yang dikembangkan. Bapak Fuad Zein menerangkan bahwa konsultasi dengan ahli mengenai tingkat PMK pada hewan kurban harus dilakukan. Bagi kasus PMK kategori rendah, hewan dengan kondisi ini masih boleh dijadikan kurban dan dikonsumsi.
Demikian diskusi bergulir hingga menjelang masuk waktu zuhur. Disinggung Pak Busyro Muqqodas dalam sambutannya di awal, “Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, tidak mungkin diam.” Maka dari itu, cara-cara adab secara keagamaan, Pancasila, dan keilmuwan untuk mengatasi permasalahan umat perlu terus dilakukan.(ykk)