Judul : Mencari Negarawan, Sosok dan Pemikiran Ahmad Syafii Maarif
Penerbit : Suara Muhammadiyah dan JIBPost
Cetakan : April 2022
Tebal, ukuran : xxvi + 340 hlm, 14 x 21 cm
ISBN : 978-623-5303-00-0
Kata Haedar Nashir, “di antara yang menonjol dari Buya Syafii ialah sikapnya yang egaliter dan demokratis dalam arti yang sebenarnya” (hlm xxv). Ada banyak tokoh yang berbicara tentang spirit egaliter dan sikap demokrat, dibumbui dengan teori-teori mutakhir, tetapi tidak banyak yang mampu membumikan dalam etos dan keseharian. Buya Syafii mampu mewujudkan secara autentik, tanpa kamuflase. “Ibarat rumah, Buya Syafii adalah rumah terbuka.” Haedar juga menjuluki Buya seperti burung rajawali yang terbang tinggi, tetapi tidak untuk membangun sarangnya sendiri.
Abdul Mu’ti menyebut sikap egaliter Buya terlihat dari pergaulan dan pernyataan. “Buya mau belajar dan mengapresiasi kiprah dan pemikiran kaum muda. Buya sering berbagi tulisan, dan pada saat yang sama juga membaca tulisan. Inilah yang membuat tulisan-tulisan Buya senantiasa fresh dan tetap mendalam” (hlm 5). Tidak semua orang melapangkan hati untuk membaca tulisan dari yang lebih muda, tetapi Buya melakukan itu. Ada banyak kesaksian tentang Buya yang membaca dan mengapresiasi pikiran generasi muda (yang kadang masih mentah, genit, narsis, dan meledak-ledak).
Hajriyanto Thohari menyejajarkan Buya dengan Mohammad Hatta. “Mirip dengan Bung Hatta, Buya Syafii adalah cendekiawan kelahiran Minang. Jika Moh Hatta belajar ke Belanda, Ahmad Syafii Maarif ke Amerika. Keduanya juga penulis yang sangat prolifik dan artikulatif dalam berbagai permasalahan kerakyatan, keumatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Keduanya juga seorang muslim yang sangat alim dan sangat saleh, sekaligus dalam satu tarikan napas, amat sangat mencintai bangsa dan negaranya lahir dan batin sampai tembus ke dasar hatinya yang paling dalam,” (hlm 15).
“Setelah Bung Hatta, tiada lagi negarawan,” kata Saur Hutabarat. Buya dianggap sebagai salah satu di antara sedikit negarawan yang masih tersisa. James Freeman Clarke membedakan antara politisi dan negarawan. Politisi berpikir tentang dirinya dan pemilihan berikutnya, sementara negarawan berpikir tentang generasi masa depan bangsanya. Budiman Tanuredjo menyebut Buya sebagai negarawan dan sekaligus kompas moral. “Kegalauan Buya merupakan kegalauan bangsa. Ketika primordialisme menguat, ketika penggunaan simbol agama untuk politik menggejala, Buya mengingatkan” (hlm 32).
Buya Syafii merupakan intelektual bersahaja yang menapaki jalan hidup sebagai muazin bangsa. “Urat syaraf takutnya sudah putus demi untuk mewujudkan gagasan-gagasan mulia itu dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia yang plural,” tutur Sudhamek. “ASM dalam berbagai kesempatan sering menegaskan pesan penting bahwa esensi ajaran setiap agama sesungguhnya untuk mengajarkan kepada para pengikutnya agar menjadi lebih baik” (hlm 39). Terinspirasi dari nilai rahmatan lil alamin.
Perjalanan hidup Buya Syafii merupakan pelajaran tentang proses transformasi diri mencari kebijaksanaan. Ia dipengaruhi oleh banyak guru bangsa (terutama para tokoh Masyumi), hingga Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman. Buya menyerap ajaran dan menempa diri. Buya Syafii pernah menulis, “tidak ada jalan pintas lain untuk mengubah nasib kecuali dengan cara bekerja keras, tabah, dan mau mengalami proses pencerahan terus-menerus. Tanpa kemauan keras untuk maju, jangan berharap akan muncul dewi fortuna dari langit untuk menolong.”
Radius pergaulan Buya terlihat dari latar belakang penulis dalam buku ini, yang mewakili keragaman golongan. Ada pucuk persyarikatan dan pimpinan organisasi agama. Ada tokoh pengusung kebhinekaan, budayawan, akademisi. Banyak anak-anak muda dari beragam golongan. Ada dari partai politik hingga menteri yang punya kedudukan tinggi. Masih ada lagi dari kalangan perempuan, aktivis, jurnalis. Pengusaha hingga seniman. (Muhammad Ridha Basri)
Baca juga: