YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – PC IMM Kulon Progo, PC IMM AR Fachruddin dan PC IMM Bantul mengadakan diskusi kolaboratif bertema “Implementasi Pendidikan Inklusif dalam Ranah Perguruan Tinggi Muhammadiyah/Aisyiyah”. Diskusi kolaboratif yang bertempat di Markas Besar IMM DIY ini menghadirkan Immawan Sucipto M.Pd.BI., Ph.D., Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Yogyakarta yang bertindak sebagai narasumber.
Pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang terbuka bagi siapa saja tanpa adanya diskriminasi. Dari waktu ke waktu, definisi mengenai pendidikan inklusif berkembang, tidak hanya mencangkup penyandang difabel. Tetapi juga gender, status kesehatan dan gizi, bahasa, lokasi geografis, budaya, agama, status ekonomi adalah variabel yang sering dikaitkan dengan hambatan pencapaian gerakan Education for All (EFA).
Zaman millennial saat ini, keterbatasan tidak hanya diartikan dalam hal fisik. Keterbatasan mental yang menjadi isu hangat generasi digital pun sekiranya perlu menjadi cakupan pendidikan inklusif. Rasa minder akibat perundungan atau overthinking akibat jadwal kuliah yang begitu padat tentu membawa ketidaknyamanan dalam pembelajaran. Pendidikan inklusif seharusnya diterapkan agar memberikan rasa aman dan nyaman bagi mahasiswa pun peserta didik.
Paradigma inklusivisme Muhammadiyah yang menjadi bahasan pembicaraan pada diskusi kolaboratif kali ini merupakan kajian yang jarang disentuh oleh IMM. Maka dari itu, PC IMM Kulon Progo, PC IMM AR Fachruddin dan PC IMM Bantul terpantik untuk mengadakan diskusi dengan pembahasan ini.
Menurut Immawan Sofyan Faisnanto, salah satu penyelenggara diskusi kolaboratif menyatakan bahwa dipilihnya tema disebabkan masih kurangnya peran IMM sebagai penggerak pendidikan inklusif di ranah PTM/A.
“Muhammadiyah sendiri sebenarnya telah lama menerapkan pendidikan inklusif. Namun, itu hanya diterapkan di ranah sekolah dasar sampai menengah atas, itu pun belum dilakukan secara menyeluruh”, ujarnya.
Ketua Bidang Seni, Budaya dan Olahraga PC IMM AR Fachruddin itu juga menyinggung bahwa peran IMM selaku penggerak intelektualisme di Muhammadiyah harus lebih memperhatikan isu ini.
“IMM memiliki peran utama dalam memprioritaskan kajian pendidikan inklusif di ranah PTM/A agar lebih masif sebab IMM mengusung gerakan Islam yang lebih ramah dan terbuka untuk semua orang tanpa diskriminasi,” terangnya.
Hal ini dikonfirmasi oleh Immawan Sucipto. Beliau menyinggung bahwa kajian mengenai implementasi pendidikan inklusif di ranah PTM/A ternyata belum masif dilakukan. Inilah yang kemudian bisa dijadikan peluang bagi IMM untuk melakukan penelitian agar wacana pendidikan inklusif dapat diimplementasikan di ranah PTM/A.
“Saya belum menemukan riset yang khusus membahas implementasi pendidikan inklusif di ranah PTM/A. Ini bisa dijadikan peluang bagi teman-teman IMM untuk meneliti indikator penerapan pendidikan inklusif di ranah PTM/A”, ungkapnya.
Menurut Immawan Sucipto, gerakan Muhammadiyah sendiri berwatak inklusif. Artinya, praksis sosial yang dilakukan oleh Muhammadiyah sangat bersifat terbuka. K.H. Ahmad Dahlan sendiri menunjukkan sikap inklusif dalam menggerakkan Muhammadiyah.
“Awal berdirinya Muhammadiyah, perempuan berperan aktif dalam menggerakkan dakwah. Inilah cikal bakal berdirinya Aisyiyah. K.H. Ahmad Dahlan pun seringkali mendorong para perempuan untuk menuntut ilmu sedangkan saat itu menjadi hal tabu bagi mereka. Inilah letak inklusivitas Muhammadiyah”, ujarnya.
Beliau menegaskan bahwa Muhammadiyah sangat memperhatikan inklusivitas, terbukti bahwa hasil Munas Tarjih ke-31 yang diselenggarakan di Gresik, 2020 lalu telah merumuskan fikih difabel. Artinya, perhatian Muhammadiyah terhadap masyarakat difabel begitu tinggi.
“Dipilihnya istilah difabel oleh Muhammadiyah yang berarti different and ability menunjukkan penghargaan yang begitu tinggi terhadap kemanusiaan. Kesempurnaan manusia tidak dipandang dari segi fisik, melainkan dari peran dan fungsinya masing-masing di hadapan Allah swt. Istilah disabilitas lebih menujukkan bahwa adanya kekurangan atau kecacatan yang berkonotasi negatif. Meyakini bahwa manusia memiliki kemampuan yang berbeda sekiranya lebih manusiawi,” tegas beliau.
Immawati Iefone Shiflana Habiba, Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Kulon Progo menegaskan bahwa diskusi ini harus memunculkan kesadaran bagi kader-kader IMM untuk memperjuangkan implementasi pendidikan inklusif di ranah PTM/A.
“Muhammadiyah melalui IMM harus memperjuangkan penerapan pendidikan inklusif di PTM/A, bahkan di setiap jenjang pendidikan di Muhammadiyah. Sebagai rasa tanggung jawab IMM terhadap gerakan intelektual yang diusungnya, IMM harus mampu menjawab tantangan zaman yang memasuki era disrupsi. Tentunya, ini juga berdampak pada penerapan pendidikan inklusif, khususnya di Muhammadiyah,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung bahwa diskusi kolaboratif ini harus mengeluarkan suatu policy brief kepada pemerintah, Muhammadiyah dan khususnya IMM, sebagai landasan dalam merumuskan kebijakan pendidikan.
“Policy brief ini nantinya akan mengarahkan kebijakan-kebijakan pendidikan dan perkaderan yang ada di Muhammadiyah. Pemerintah pun juga harus berperan dalam memperjuangkan penerapan pendidikan inklusif di setiap satuan pendidikan yang ada di Indonesia. Education for all menjadi konsekuensi bagi masyarakat kosmopolitan”, pungkasnya.
Immawan A.R. Bahry Al Farizi, perwakilan PC IMM Bantul selaku moderator mengharapkan IMM memiliki suatu sistem operasional khusus perkaderan yang berorientasi inklusif dan ramah terhadap semua orang.
“Kita memerlukan SOP perkaderan yang memang ramah terhadap semua orang. Ekslusivitas IMM harus didobrak dengan mengawalinya dengan kajian yang serius terhadap penerapan pendidikan inklusif di setiap jenjang pendidikan di Indonesia, khususnya di Muhammadiyah,” pungkasnya.