Kolaborasi Syiar Dakwah Muhammadiyah bersama Warga Minang Kalimantan Barat

Kolaborasi Syiar Dakwah Muhammadiyah bersama Warga Minang Kalimantan Barat

Oleh: Amalia Irfani

Kesuksesan suatu organisasi kemasyarakatan dapat dilihat jika ia mampu memberikan banyak nilai kebaikan bagi masyarakat tanpa melihat perbedaan. Kebaikan yang dimaksud adalah nilai hidup merubah tatanan pola pikir masyarakat lebih baik dan terarah, dimana posisi hakikat sebagai individu dan masyarakat berada di tempatnya. Ia tidak tumpang tindih atau berat sebelah. Organisasi yang dapat melakukan hal tersebut dapat terkategori sukses memberdayakan dan berdaya karena memiliki sumber daya unggul. Organisasi yang bekerja dengan hati karena ingin mendapatkan ridha dan pahala dari Allah Maha Esa.

Hal tersebut tampak pada pergerakan persyarikatan Muhammadiyah cabang Kalimantan Barat khususnya di Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Pontianak, yang sukses melakukan dakwah berupa pengajian kolaborasi bersama warga Minang di Pontianak dan sekitarnya. Pengajian yang dilaksanakan di Masjid Al-Ikhlash menghadirkan Danhil Anwar Simanjuntak, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 2014-2018, yang sekarang menjabat sebagai juru bicara Menteri Pertahanan RI.

Dalam dakwah singkatnya, Danhil mengapresiasi kegiatan yang ia sebut sebagai kegiatan cerdas berkemajuan. Ia menggarisbawahi bahwa Muhammadiyah hadir menggembirakan, memajukan dan instrumen dakwah Muhammadiyah adalah melalui pengajian dan memakmurkan masjid. Jika anak muda zaman sekarang “ngajinya” online lewat Instagram, facebook, youtube maka jamaah yang lebih menyenangi face to face adalah para bapak ibu yang kurang peka pada IT yang ia sebut sebagai kaum intelektual magrib isya. Generasi yang disebut Pew Research Center sebuah lembaga riset asal Amerika Serikat sebagai generasi baby boomer, senang ilmu dan belajar, kompetitif serta mandiri.

Hubungan Warga Minang dan Muhammadiyah

Muhammadiyah pertama kali diperkenalkan di bumi Minang oleh ayah Haji Abdul Karim Amrullah yang dikenal dengan nama Haji Rasul, Ayahanda Buya Hamka. Bermula saat Haji Rasul melakukan kunjungan ke Pekalongan untuk melihat menantunya AR. Sutan Mansur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pusat Muhammadiyah (1953-1959) sekaligus memimpin Muhammadiyah di Pekalongan. Haji Rasul “terpesona” setelah melihat dari dekat bagaimana metode Persyarikatan Muhammadiyah mensyiarkan Islam melalui perkumpulan. Sepulang dari Pekalongan Haji Rasul mengajak Syekh Muhammad Jamil Jambek mendirikan Muhammadiyah.

Berkat semangat, kerja ikhlash dan metode dakwah yang tepat Haji Rasul, Muhammadiyah cepat mendapatkan pengikut (jamaah), dan berkembang melalui Surau dan pengajian. Tradisi yang menjadi ciri khas dari dakwah Muhammadiyah yang disebut dakwah jamaah. Maka secara resmi Muhammadiyah di tanah Minang tahun 1925.

Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa warga dan Tokoh Minang Kalimantan Barat yang memenuhi aula Masjid dengan dress code hitam putih mengatakan dengan suka cita bahwa kegiatan ini selain sebagai wadah silaturahim warga Minang juga sebagai bagian kecintaan sebagai hamba untuk memakmurkan Masjid, dan Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang memang sudah melekat dan identitas diri warga Minang tidak hanya di Kalimantan Barat tetapi juga di Indonesia.

Masjid atau Surau historisnya merupakan salah satu lembaga Islam yang penting di tanah Minang. Surau adalah tempat para pribumi berkumpul dan menjadi pusat pengajaran Islam. Fungsi Surau melekat menjadi tempat penanaman identitas melalui pembelajaran dan penggemblengan jati diri dan keterampilan hidup. Dulu warga Minang memakmurkan Surau sebagai tempat berlatih pidato adat, bermain silat dan berkesenian randai, selain tempat melaksanakan rutinitas ibadah dan belajar mengaji. Surau bagi urang Minang urau tempat transfer dan menanamkan nilai-nilai budaya, toleransi, kepemimpinan, kerjasama dan kejujuran sebagai bekal hidup.

Kolaborasi Dakwah

Di kenal sebagai suku perantau religius sekaligus pedagang unggul, warga Minang dimanapun berada memilki falsafah hidup adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Masyarakat Minangkabau menyepakati secara turun temurun adat adalah adalah aturan bertingkah laku dalam hidup, maka yang tidak punya aturan hidup disebut tidak beradat. Hal ini bersifat sakral (profan) dan telah menjadi ciri khas dan identitas etnis Minang.

Maka, walau disebar melalui grup Whatsapp bahwa perdana diadakan Pengajian bersama Persyarikatan Muhammadiyah, warga Minang berbondong-bondong mengikuti kegiatan dimaksud. Yang awalnya tidak saling mengenal, dan lama tidak bertemu mengenal dan kembali bertemu. Ini sebagai bukti, keberadaan Muhammadiyah sebagai wadah menuju kebaikan mampu menyambung silahturahim dan memberikan ilmu melalui telaah ilmu agama bermanfaat dunia akhirat.

*Amalia Irfani, Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM

 

Exit mobile version