Pemimpin Merenungkan Bangsa

Pemimpin Merenungkan Bangsa

Judul               : Indonesia, Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa

Penulis             : Prof Dr H Haedar Nashir MSi

Penerbit           : Suara Muhammadiyah dan Buku Republika

Cetakan           : 1, Mei 2022

Tebal, ukuran  : xii + 518 hlm, 15 x 23 cm

ISBN               : 978-623-5343-01-3

 

Dalam pesan kebangsaan di Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriyah, Ketua Umum PP Muhammadiyah antara lain menyampaikan, “Kepada para pemimpin negeri dan tokoh umat agar tidak henti menebarkan mozaik ilmu dan hikmah yang tinggi dalam mengayomi segenap umat dan warga bangsa dengan sikap adil, ihsan, dan teladan. Hindari sikap berat sebelah, menebar resah dan pecah belah, agar kehidupan bersama semakin cerah bertabur berkah dan terhindar dari musibah.”

Untaian penuh makna tersebut melekat pada sosok Haedar Nashir. Lakunya santun, bicaranya membuka wawasan, analisisnya tajam dan jauh ke depan, pembawaannya tenang, pikirannya matang sebagai hasil endapan pengalaman dan keilmuan. Di luar itu, ia adalah penulis prolifik. Tulisan-tulisan reflektifnya di Harian Republika ini mendokumentasikan banyak gagasan yang patut direnungkan oleh setiap pemimpin. Calon pemimpin dan generasi muda juga perlu menyerap nilai-nilai teladan dan mengaktualisasikannya dalam jiwa, alam pikiran, sikap, dan tindakan.

Haedar Nashir sering menekankan bahwa kepemimpinan mesti berangkat dari panggilan jiwa untuk melakukan pengabdian. Pemimpin cum negarawan tidak berangkat dari motivasi rendah nafsu kuasa. Para pemimpin rela berkorban pikiran, harta, dan jiwa untuk tujuan besar. Mereka senantiasa memberi, bukan meminta dan mengambil yang bukan haknya. Mereka meletakkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri, keluarga, dan kroni.

Kepemimpinan, menurut Haedar Nashir, mesti diilhami oleh nilai-nilai spiritual yang tertanam di dalam jiwa. Tanpa dikawal oleh landasan ruhani, kepemimpinan dapat mengarah pada petaka. Tokoh semisal Fir’aun, Hitler, hingga Mussolini merupakan di antara daftar pemimpin dunia yang menyalahgunakan takhta. Jabatannya digunakan untuk berbuat onar dan nestapa bagi peradaban. Kehebatan ilmu dan pengalamannya tidak diimbangi dengan nilai-nilai keruhanian, yang sumbernya antara lain digali dari ajaran agama yang mengajarkan prinsip hidup benar, baik, dan patut.

Bagi bangsa Indonesia, Haedar Nashir meramu kedudukan agama dan Pancasila secara proporsional. “Agama sebagai keyakinan dan pedoman hidup mutlak setiap pemeluk agama sesuai agamanya, sedangkan Pancasila adalah ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Agama bersifat umum untuk seluruh dimensi kehidupan umat manusia, sedangkan Pancasila khusus dalam berbangsa dan bernegara,” (hlm 27). Meskipun begitu, agama dan Pancasila yang sama-sama mengandung nilai-nilai luhur dinilai saling beririsan dan menyatu dalam denyut nadi Indonesia. Terkait dengan bagaimana agama diimplementasikan dalam kehidupan bernegara, maka hal ini menjadi urusan kebijakan publik yang mesti terus didialogkan dan dinegosiasikan secara musyawarah, mufakat, dan hikmah kebijaksanaan antarinstitusi negara dan komponen bangsa.

Haedar Nashir memandang bahwa pemimpin adalah khadim al-ummat, pelayan rakyat, yang bertugas menjadi pengatur, penentu arah, pengayom, dan pemberi contoh. Ibarat kepala, pemimpin adalah penentu hitam-putihnya umat, masyarakat, dan bangsa. Kerusakan masyarakat sering dimulai dari pemimpin, seperti perumpaan ikan busuk yang dimulai dari kepala. Kepada para pemimpin, “Dengarkanlah suara dan jeritan nasib rakyat, yang disampaikan ke ruang publik maupun yang terjadi di realitas nyata, tanpa sikap apologi dan keras kepala karena merasa digdaya kuasa takhta.” Martabat dan marwah pemimpin terletak pada kecintaannya kepada rakyat. “Martabat pemimpin bukan terletak pada kedigdayaan kekuasaan, tetapi menyangkut kekuatan rohani dan moral kepemimpinannya,” (hlm 39). Senantiasa bertanggung jawab atas mandat rakyat dengan sepenuh jiwa kenegarawanan. (Muhamad Ridha Basri)

Exit mobile version