Tidak Lalai Karena Nikmat-Nya

Tidak Lalai Karena Nikmat-Nya

Oleh Bahrus Surur-Iyunk

Suatu hari datang seorang pengikut Nabi Musa as untuk mengadukan sesuatu. Sa­lah satu umat Nabi Musa itu kebetulan seorang yang miskin dan hidup serba berke­ku­rangan. Ia mengadukan nasib hidupnya yang selalu miskin, melarat dan susah. “Ya Nabi­yallah, aku ingin meminta nasehat kepadamu tentang nasib buruk yang aku derita ini. Apa yang seharusnya aku lakukan agar setidaknya melarat hidupku ini bisa berubah?”

Sejenak Nabi Musa menghela nafas dan kemudian berkata kepada pengikutnya itu, “Bersyukurlah atas apa yang ada pada dirimu”.

Spontan orang itu menyela jawaban Nabi Musa, “Bagaimana mungkin aku bisa bersyukur jika keadaanku miskin dan susah seperti ini…”

Dengan tenang Nabi Musa pun menjawab, “Kalau begitu, pulanglah engkau dan silahkan jalani hidupmu itu dengan kemauanmu sendiri.”

Beberapa hari kemudian, pengikutnya yang lain datang. Ia seorang yang kaya dan berkecukupan. Meski ia orang yang kaya, ia juga mengadu kepada Nabi Musa as “Ya Nabiyallah, kehidupanku bergelimang dengan kecukupan dunia. Apa yang saya inginkan selalu terpenuhi. Lalu, apa yang bisa saya lakukan dengan keadaanku seperti ini?”

Dengan tenang Nabi Musa menjawab dengan jawaban yang sama diberikan kepada pengikutnya yang melarat, “Bersyukurlah atas apa yang ada pada dirimu.”

“Tapi, Ya Nabi, aku selalu takut dengan harta yang aku miliki ini akan mengu­rangi dan mengalihkan perhatianku kepada Allah”, sanggahnya penuh kekahawatiran.

“Ya sudahlah, bersyukurlah atas apa yang ada pada dirimu,” ulang Nabi Musa.

Seiring dengan berjalannya waktu, takdir Tuhan pada gilirannya semakin mengukuhkan keadaan mereka berdua. Yang miskin dan melarat itu bertambah melarat, sementara yang kaya dan selalu khawatir melalaikan Tuhan itu semakin hari semakin kaya. Mungkin buah dari rasa syukur yang ia tanamkan dalam dirinya.

Rasa syukur dibangun di atas fondasi “mengingat Allah”. Bersyukur tidak hanya membaca hamdalah dan merasa senang dengan apa yang dimiliki, melainkan bersyukur berarti selalu berhati-hati terhadap apa yang ada pada dirinya, terutama dunia yang ia miliki dan rasakan. Dalam QS. Al-Baqarah: 152, Allah mengingatkan, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku akan ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.”

Semakin banyak nikmat yang seseorang miliki, semestinya semakin dekat pula ia mengingat Allah. Kita sendiri masih belum berani berdoa, “Ya Allah, luaskan rezeki-Mu seluas rezeki itu tidak melalaikan ingatanku kepada-Mu.” Kita lebih sering berdoa, “Luaskanlah rezeki-Mu seluas-luasnya. Bukakanlah pintu rezeki-Mu selebar-lebarnya. Ya Allah, berilah kami rezeki yang halal, baik, banyak dan penuh berkah”, tanpa pernah menyentuh bagaimana dzikir kita kepada Allah.

Syukur tidak berhenti pada kenikmatan dan ketaatan pribadi dengan Yang Maha Pemberi. Bersyukur berarti mengingat Allah. Dan, mengingat-Nya berarti mengingat yang lemah. Dalam sebuah riwayat diceritakan, saat bermunajat Nabi Musa pernah dita­nya oleh Allah, “Mana ibadahmu yang engkau khidmatkan kepada-Ku?” Musa menja­wab, “Sesung­guh­nya shalatku, kurbanku, hidup dan matiku adalah untuk-Mu.” Allah ber­fir­man, “Tidak, wahai Musa. Semua itu untuk dirimu sendiri. Jika engkau ingin berhidmat kepada-Ku, datangilah mereka yang lemah, fakir dan miskin.” Wallahu a’lamu.

Exit mobile version