Dalam siklus kehidupan berumah tangga, ada beberapa moment penting bagi orang tua, dalam relasinya dengan pendidikan anak-anak.
Pertama, ketika anak hendak masuk sekolah taman kanak-kanak. Jika selama ini anak selalu ada dalam pangkuan kedua orang tuanya, maka sekolah TK, adalah momentum untuk memutus sebagian rantai pertautan itu. Di lingkungan sekolah, anak-anak akan menemukan fase baru dalam hidup mereka. Para orang tua juga harus rela melepaskan anak-anak mereka untuk memasuki dunia baru bersama orang lain.
Di dalam lingkungan sekolah, anak-anak akan belajar melakukan semua pekerjaan fisiknya secara mandiri. Mulai dari aktivitas makan, buang air di toilet, bermain, memungut sampah, merapikan barang-barangnya sendiri, melipat meja kursi, dan berolah raga. Secara mental, sang anak juga akan mulai belajar memahami karakter orang lain. Lalu berlanjut dengan belajar memaklumi dan mentoleransi. Puncaknya, mereka akan bisa bekerja sama dengan yang lain, Meski diantara mereka ada perbedaan sifat, hobi, dan kesenangan.
Jika fase penting pertama adalah saat anak-anak hendak masuk sekolah TK, fase keduanya adalah ketika hendak masuk kuliah. Pada masa ini, alam menginsyaratkan dua pesan penting bagi kehidupan orang tua.
Isyarat pertama, adalah pertanda bahwa sang anak sudah benar-benar memasuki usia dewasa. Untuk itu, sebagai orang tua, aku harus mulai bisa memperlakukan anak sebagai orang dewasa. Pendapatnya harus kudengar. Keinginannya harus kuakomodasi. Pilihan hidup dan pendiriannya harus kudukung.
Sebagai orang tua yang terus akan menua, aku harus belajar bersikap bijaksana. Mengalah pada pendapat mereka yang mata dan telinganya lebih tajam. Memerdekakan mereka dalam merintis masa depannya secara mandiri. Bagiku, ini adalah tahapan yang sungguh tidak mudah. Namun harus tetap aku mulai merintisnya.
Isyarat kedua menjelaskan, bahwa ketika anak sudah masuk bangku kuliah, berarti aku sudah mulai menua. Persetan dengan umur yang terhitung dengan angka. Semakin menua, berarti harus bisa menjadi lebih matang, dewasa, sabar dan bijaksana. Menjadi lebih tau diri dalam mengukur kapasitas dan kemampuan diri.
Menua, berarti menjadi lebih mampu mengatur ulang fungsi indera. Dari mulut perlahan-lahan bergeser ke telinga. Jika selama ini mulut begitu utama, ke depan, mulailah mengkonsentrasikan fungsi mata dan telinga. Lalu mengolahnya di dalam kepala dan hati. Jika olahan sudah bener-benar matang, barulah menugaskan mulut untuk menyampaikan pesannya. Bagiku, ini adalah sekolah seumur hidup yang tidak akan pernah bisa tamat hanya di bangku kuliah.
Kuliah dapat apa?
Bagi sebagian orang tua, mungkin tidak perlu banyak bertanya tentang tujuan utama anak-anaknya kuliah. Kuliah akan dianggap sebagai fase lanjutan setelah berhasil menamatkan sekolah menengah atas. Sebuah proses belajar yang tidak terlalu istimewa. Apalagi jika tidak ada kendala dengan kemampuan belajar anak dan biaya kuliah yang sudah tersedia.
Tidak heran, jika banyak sarjana yang belum juga tahu hendak merintis dunia kerja apa, atau usaha di bidang apa. “Saya sudah sarjana dan siap bekerja apa saja Om. Yang penting bisa dapet duit dan hidup mandiri”. Ucap seorang lulusan sarjana yang masih segar sekali. Sebuah sikap baik yang menginsyaratakan kegelisahan dan usaha serius untuk hidup mandiri.
Sepintas, aku pernah bertanya kepada anakku; “Kamu kuliah ingin dapet apa sih Le?”
“Ya… ingin merintis masa depanlah…”. Jawabnya.
Aku bersyukur ketika mendengar jawaban anakku yang sudah punya harapan untuk merantis masa depan. Bagiku, itu saja sudah cukup membanggakan. Sederhana ya….?. Memang sih…
Mungkin, aku akan sedikit kecewa jika niat anakku kuliah karena semata ingin mendapatkan title sarjana. Jika pun demikian, maka aku akan membantu menemukan cara untuk meraihnya. Jangankan gelar sarjana Strata 1, bahkan gelar doktor hingga professor sekalipun.
Banyak orang bisa meraih gelar doktor, bahkan professor sekalipun, meski tidak pernah lulus sarjana. Ketika seseorang berhasil menjadi pejabat public, atau menjadi politisi yang dianggap memiliki “power”, maka gelar segambreng itu bisa dengan mudah diperolehnya. Banyak perguruan tinggi yang akan menawarkannya. Mereka tidak harus bersusah payah masuk ruang kelas dan melakukan penelitian bertahun-tahun.
Namun, ada juga cara lain yang elegan dan penuh tanggung jawab. Banyak orang bisa meraih gelar-gelar tersebut karena mereka memang begitu gigih dan tekun melakukan penelitian, mengajar, menulis di berbagai jurnal selama puluhan tahun. Atas usahanya, mereka berhasil mencipatakan inovasi dan temuan ilmiah yang bermanfaat untuk kemanusiaan. Lumrah jika memperoleh gelar prestisius itu.
Jika anakku berniat kuliah yang semata hanya untuk mendapatkan pekerjaan, maka aku juga akan mengingatkanya jauh-jauh hari, sebelum dia frustasi. Di negeri ini, hanya ada beberapa kampus yang bisa memastikan mahasiswanya langsung mendapatkan pekerjaan. Yaitu sekolah kedinasan yang dibiayai sepenuhnya oleh uang Rakyat Indonesia. Seperti; akademi kepolisian, militer, pemasyarakatan, imigrasi, intelejen, sandi negara dan pendidikan dalam negeri. Para mahasiswa bisa langsung mendapatkan pekerjaan setelah berhasil menyelesaikan masa studinya.
Adapun ratusan kampus lain, tidak ada yang berani menjanjikan apa-apa, sebaik apapun peringkatnya. Tidak perlu risau. Ada jutaan sarjana yang tetap bisa menjalani hidup dengan Bahagia kok. Meski mereka lepas sama sekali dari disiplin ilmu yang mereka pelajari saat di bangku kuliah. Kebahagiaan hidup seseorang sama sekali tidak hanya ditentukan oleh pilihan kampus tempat mereka berkuliah, serta jurusan yang mereka pilih.
Kuliah hanyalah sarana untuk menebalkan pengetahuan, mengasah keterampilan, dan memperluas jaringan persaudaraan. Lingkungan kampus, dengan berbagai dinamikanya, akan melatih batin seseorang agar mampu menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab.
Bekal Bahagia
Dahlan Iskan, berhasil merintis takdirnya menjadi konglomerat media, padahal dia sarjana lulusan Fakultas Tarbiyah STAIN Samarinda. Chairul Tanjung, salah satu konglomerat ternama di Indonesia, adalah lulusan fakultas kedokteran gigi Universitas Indonesia. Keduanya merintis dunia yang tidak selaras dengan disiplin ilmu di kuliahnya. Apakah kedua konglomerat itu sudah benar-benar bahagia dalam hidup mereka? Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tau.
Jangan-jangan, Babak Harun, yang tidak berhasil menamatkan Sekolah Rakjat di Ciputat itu lebih bisa menikmati hidup dan bahagia. Bagaimana tidak. Dia sama sekali tidak pernah takut kehilangan apapun dalam hidupnya. Harta, benda, bahkan nyawa sekalipun. Target capaian hidupnya mudah dan sederhana saja. Asal badannya sehat, dia bisa bersih-bersih lapangan badminton. Di sela-sela itu, ia akan mengantarkan 2 – 3 anak ke sekolah. Setelah itu, ia akan menjaga parkiran motor di depan TK AISYIYAH. Tepat jam 10.00, semua tugasnya selesai tertunaikan. Saat itulah, ia sudah merasa menemukan surga dalam hidupnya.
Babak Harun tidak punya beban kredit bank yang terus berbunga setiap hari. Tidak ada cicilan mobil bagus ataupun apartemen megah di tengah kota. Ketika di pagi hari dia sudah mendapatkan uang 30–40 ribu, maka itu sudah mencukupi kebutuhan utama hidupnya. Cukup untuk sarapan, rokok, dan pulsa internet.
Membuka YouTube, adalah kegemaran barunya. Dia dengan mudah menikmati hiburan, sekaligus memilih channel pengajian. Untuk tabungan bulanan, dia bisa memperolehnya dari honor bebersih lapangan badminton dan jaga parkiran di sekolah TK AISYIYAH. Dia tidak pernah berkeinginan bisa umroh setiap tahun. Jalan-jalan ke Turki ataupun nonton konser BTS di Korea Selatan.
“Kalau mau hidup seneng, jangan banyak mau. Minta dikasih sehat aja, supaya bisa berbuat baik dan bermanfaat untuk orang lain. Buat bekal mati! Kalo tabungan untuk beli tanah kuburan mah sudah siap”. Begitulah candanya.
Tuhan memang menyediakan anugerah kebahagian dan kesedihan termasuk beragam musababnya. Manusia terbekali akal budi serta isyarat yang terang untuk memilihnya. (AJH).
Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten