Berlomba Kebaikan dengan Misi Kristen

Berlomba Kebaikan dengan Misi Kristen

Judul               : Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia

Penulis             : Alwi Shihab

Penerbit           : Suara Muhammadiyah

Tebal, ukuran  : iii + 388 hlm, 14 x 21 cm

ISBN               : 978-602-6268-04-4

 

Buku ini diangkat dari disertasi Alwi Shihab berjudul ”The Muhammadiyah Movement and Its Controversy with Christian Mission in Indonesia” di Universitas Temple AS. Ditulis atas saran dan bimbingan Mahmoud Ayoub, didampingi John Raines, Khalid Blankinship, dan William Liddle. Buku ini mengetengahkan bahwa hubungan Islam dan Kristen tidak selalu bersitegang. Kedua kelompok agama ini dapat menjalin kerjasama dan cara hidup yang koeksistensi serta kooperasi damai dalam kasus Muhammadiyah.

“Agama Kristen datang ke Indonesia bersama penguasa kolonial. Jelas itulah sebabnya mengapa umat Kristen mengalami kesulitan besar dalam membangun hubungan yang mesra dengan kaum Muslim” (hlm 353). Konteks sosio-historis saat itu menempatkan Kristen sebagai agama penguasa kolonial, melawan Kristenisasi berarti juga melawan penguasa yang sangat dominan.

Agama Kristen diberi fasilitas oleh penguasa kolonial untuk merasuk ke dalam kehidupan masyarakat. Saat itu, perlindungan penguasa kolonial hingga subsidi dana menempatkan agama Kristen di atas angin. Tidak ada yang sanggup dan berani melawan. Hal itu sangat disadari oleh Kiai Ahmad Dahlan. Ia membaca situasi zamannya dengan cerdas, dan kemudian mengadakan perlombaan kebaikan.

Kiai Dahlan tidak melawan misi Kristen secara konfrontatif, yang dapat menjadi bumerang dan semakin merugikan umat Islam. Kiai Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan melakukan dakwah dengan cara elegan. Misi Muhammadiyah tidak dimaksudkan sebagai gerakan “kristolog” yang menantang debat atau memaki orang Kristen. Jika itu dilakukan, Muhammadiyah bisa saja hancur sebelum berhasil menjalankan tugas dakwahnya. Kiai Dahlan justru berdialog dengan pendeta seperti Domine Baker, van Driesse, van Lith dari Muntilan. Muhammadiyah bahkan dituduh sebagai “Kristen putih” atau “Kristen alus”.

Jika Muhammadiyah sudah hancur sebelum sempat menjalankan dakwah pencerahannya, maka situasi umat Islam semakin tersuruk di buritan peradaban, dan mungkin, bangsa ini semakin menderita oleh penjajahan. Saat itu, pribumi dalam kondisi jumud dan mengidap mentalitas rendah diri sebagai inlander yang mengalami marjinalisasi oleh sebab keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan. Saat itu, pendidikan modern hanya dinikmati para priyayi dan mereka yang dekat dengan pemerintah kolonial. Dalam situasi itu, kehadiran Muhammadiyah punya empat peran: sebagai gerakan pembaruan Islam, agen perubahan sosial, kekuatan politik, dan pembendung misi Kristenisasi (hlm 4).

Pribumi mengalami krisis identitas, berpandangan bahwa Belanda adalah kafir yang harus dijauhi, sebab membawa misi kristenisasi dan westernisasi. Mereka menolak semua ide kemajuan, terlena dengan takhayul dan khurafat. Mereka menolak sekolah modern. Menolak rumah sakit dan memilih datang berobat kepada dukun, sembari meminta kepada makam keramat. Muhammadiyah melakukan langkah moderat, akomodatif-kritis, dan membangun alam pikir rasional. Muhammadiyah membangun fasilitas sekolah, rumah sakit, dan layanan sosial, untuk menandingi fasilitas lembaga Kristen yang telah mapan.

Saat pribumi belum cukup berdaya, Kiai Dahlan memilih bekerjasama dengan Belanda dalam menghadirkan sekolah dan rumah sakit profesional. Di dalamnya ditanamkan etos dan nilai-nilai Islam. “Amal Usaha Muhammadiyah bukan sekadar tumpukan gedung yang megah, di dalamnya terkandung gagasan dan cita-cita Islam sebagai penanda kemandirian, keunggulan, dan kemajuan,” tulis Haedar Nashir dalam pengantar buku ini. (Muhammad Ridha Basri)

 

Exit mobile version