Oleh : Mukhtar Hadi
Ada kegelisahan tersendiri ketika kita membicarakan entrepreneur (wirausahawan) muslim. Lihatlah, dari sekian banyak pengusaha yang sukses, masih sangat sedikit sekali dari mereka yang merupakan seorang muslim. Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir dari daftar 10 orang terkaya hanya satu diantaranya yang muslim. Potret ini mungkin juga menggambarkan posisi pengusaha muslim yang ada di seluruh dunia.
Banyak studi yang sudah dilakukan untuk melihat kaitan antara keimanan dengan gairah dan munculnya semangat berwirausaha. Studi klasik yang sangat fenomenal adalah yang dilakukan oleh Max Weber, seorang Sosiolog Jerman, yaitu The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalisme. Studi Weber ini menemukan kaitan antara etika Protestan dan semangat untuk orang bekerja dalam dunia sekuler, mengembangkan perusahaan sendiri dan turut serta dalam perdagangan dan pengumpulan kekayaan untuk investasi. Konon, salah satu penyebab tumbuh dan berkembangnya kapitalisme di dunia Barat adalah akibat dari spirit yan bersumber dari ajaran Protestan.
Spirit wirausaha ini juga bisa ditemukan pada kalangan etnis Tionghoa lewat agama Khonghucu. Hal itu bisa dilihat dalam studi Tesis untuk program Magister Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ditulis oleh Lim Biauw Hok tahun 2019, dengan judul Etika Bisnis Agama Khonghucu dan Kemajuan Wirausaha Orang Tionghoa. Dalam tesis ini Lim berkesimpulan bahwa para pengusaha etnis Tionghoa telah mempraktikkan etika bisnis agama Khonghucu seperti cinta kasih, kebenaran, kesusilaan, bijaksana dan dapat dipercaya, ramah tamah, fokus, ulet, tidak mudah putus asa, hemat, dan konsisten pada saat menjalankan usahanya sehingga bisnis yang dikelolanya dapat stabil dan mengalami kemajuan.
Dalam Islam semangat bekerja dan berwirusaha sesungguhnya tidak kurang-kurang ajaran dan keteladanannya. Rasulullah saw sendiri memberikan contoh itu. Sebagaimana kita tahu jauh sebelum Nabi ditahbiskan sebagai Rasul, Beliau adalah seorang yang berkecimpung dalam dunia bisnis dan usaha, yaitu sebagai pedagang bersama pamannya Abu Thalib. Setelah itu Beliau menjadi CEO (Chief Exsecutive Officer), mengelola dan menjalankan usaha seorang janda kaya bernama Khotijah yang di kemudian hari menjadi istrinya. Orang-orang Jazirah Arab sendiri sebelum Islam datang banyak dikenal sebagai pedagang yang ulung karena perdagangannya telah melintasi berbagai negara.
Para sahabat Nabi juga banyak yang dikenal sebagai pengusaha kelas internasional. Diantara mereka adalah ada nama-nama seperti Abdurahman bin Auf, Muawiyah bin Abu Sufyan, Abu Bakar as-Syidiq, Usman bin Affan, Thalhah bin bin Ubaidillah, Abdullah bin Abdul Muthalib, Zubair bin Awwam, dan Khotijah binti Khuwailid istri Nabi sendiri. Sebagai enterpreneur, para sahabat telah membuktikan kesuksesan dalam mengelola bisnis. Kesungguhan dan kerja keras mereka telah membuahkan hasil yang gemilang. Abdus Sattar dalam bukunya Supuluh Sahabat yang Dijamin Masuk Surga mengungkapkan bahwa total kekayaan pada sahabat Nabi bisa mencapai angka 32 juta Dirham atau kurang lebih sekitar enam triliun rupiah hingga 57.600.000 Dirham atau sekitar 11 Triliun rupiah. Keberhasilan para sahabat dalam berwirausaha banyak diilhami dengan semangat ajaran Islam untuk bekerja keras, disiplin, jujur, pantang menyerah, dan kesungguhan dalam menjaga amanah.
Banyak yang belum memahami bahwa salah satu keberhasilan penyebaran dakwah Islam salah satu faktor utamanya adalah semangat wirausaha yang tumbuh di kalangan umat Islam. Semangat dan kultur yang dinamis serta pantang menyerah yang biasanya dimiliki para pebisnis ikut membantu penyebarluasan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Para entrepreneur muslim yang terbiasa melancong untuk berbisnis dan berdagang di berbagai daerah bahkan ke berbagai negara memberikan kontribusi yang besar dalam penyebaran Islam.
Tidak mengherankan jika, penyebar Islam di wilayah Nusantara kebanyakan bukanlah para raja-raja atau birokrat pemerintah, tetapi adalah para pedagang muslim. Di Indonesia misalnya, para penyebar agama Islam dikenal dari Ghujarat India atau dari Timur Tengah yang berprofesi sebagai pebisnis dan pedagang. Mereka berlayar dari wilayah yang jauh, bersandar di wilayah pesisir untuk berdagang dan sekaligus mengenalkan agama Islam.
Disamping itu, banyak ajaran Islam yang sebenarnya bila direnungkan secara tidak langsung mengajak dan memotivasi untuk kaya dan mampu secara ekonomi. Pelaksanaan ibadah haji hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu saja, dan salah satu syarat kemampuan itu adalah mampu secara finansial untuk melakukan perjalanan ke Baitullah. Umat Islam yang tidak mampu secara ekonomi tidak diwajibkan menunaikan ibadah haji. Itu artinya dia tidak akan bisa melaksanakan satu diantara rukun Islam. Berarti, secara tidak langsung memotivasi umat Islam untuk mampu secara ekonomi agar bisa menjalankan haji sebagai salah satu rukun Islam.
Begitu halnya dengan kewajiban berzakat, berinfak dan bersedekah, hanya mungkin dilakukan bagi mereka yang mampu secara ekonomi. Dalam Islam yang tidak mampu secara ekonomi tidak wajib zakat, tetapi justru dizakati sebagai mustahiq (penerima zakat). Maka semangat menjadi orang yang mampu secara ekonomi itu adalah salah satu perwujudan dari kewajiban menjalankan ajaran agama. Ibadah lain seperti berkurban, menyantuni fakir miskin, anak-anak yatim, dan sejenisnya hanya mungkin dilakukan jika seorang muslim memiliki kekuatan secara ekonomi. Salah satu cara membangun kekuatan ekonomi itu adalah menjadi entrepreneur.
Kehadiran para usahawan muslim bukan saja akan menepis anggapan bahwa Islam sebagai agama yang hanya mengurusi persoalan kerohanian semata, tetapi juga akan mengangkat citra Islam sebagai agama yang peduli dengan persoalan ekonomi dan kesejahteraan umat. Lebih dari itu budaya pedagang dan pebisnis yang dekat dengan semangat yang dinamis, berani mengambil resiko untuk kebaikan, gigih dan ulet, disiplin dan kejujuran, akan sangat membantu dalam penyebaran dakwah bil hal Islam. Jangan sampai apa yang disinyalir Kuntowijoyo menjadi kenyataan sekarang ini bahwa umat Islam mengalami budaya “petanisasi” yang berakibat umat Islam Islam memiliki langgam yang lamban dan kehilangan sifat dinamis dan progresif disebabkan karena pudarnya budaya “pedagang” yang dulu dimiliki oleh para penyebar dan pendahulu Islam.
Penulis : Anggota BPH UM Metro