Mewaspadai Bahaya “Maghrib” dalam Bisnis Online

Athaillah A. Latief (Mahasiswa Magister Managemen UMS)

Agung Riyardi (Dosen FEB UMS)

Kemajuan ilmu dan teknologi telah berdampak luas dan pesat dalam memudahkan berbagai transaksi dan perdagangan modern. Tanpa harus terikat pada satu tempat dan waktu, perkembangan iptek kian melesat dalam memuluskan segala keperluan dan transaksi, seperti yang dikenal dengan bisnis on-linebelakangan ini.

Transaksi dalam bisnis on-line pun semakin beragam. Seiring perkembangan masa dan kebutuhan manusia, perdagangan on-line pun terus maju dan berevolusi dalam menyajikan pelayanannya yang makin variatif, mulai dari transaksi on-line, pembayaran on-line, CoD (cash on delivery), fintech, hingga QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard). Bahkan layanan terakhir, QRIS kian diminati oleh pengguna di Indonesia, hingga mencatat kenaikan transaksi penggunaan sampai sembilan kali lipat sepanjang tahun ini (Kompas, 12/08/2022).

Satu hal yang mesti menjadi perhatian bersama dalam hal transaksi dan bisnis on-line, sekalipun banyak mengandung kemudahan dan kelancaran dalam berbisnis(setidaknya menurut tinjauan agama, asalkan memenuhi kemaslahatan dan kebutuhan manusia), namun penting juga diperhatikan dengan saksama akan norma dan sisi etika dalam menjalankan transaksinya supaya bisa terus menumbuhkan kesalingpercayaan (mutual trust) hingga berujung pada perwujudan kesalingrelaan (‘an taradhin minkum) para pihak yang terlibat transaksi bisnis.

Norma dan etika dalam bisnis on-line diharapkan meningkatkan hubungan antara religiusitas Islam dengan kinerja makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran. Kenyataan di Indonesia, walaupun di berbagai daerah penduduknya banyak beragama Islam, tetapi belum tentu religiusitas Islam mendorong kinerja makro ekonomi. Di propinsi Aceh memang terdapat bukti empiris minor bahwa religiusitas Islam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal itu sebagaimana dianalisis oleh Amri dan Adi (2021). Adapun penelitian Listiono (2020) menemukan bahwa di berbagai propinsi di Indonesia, belum terjadi religiusitas Islam mendorong pertumbuhan ekonomi. Penelitian Riyardi dkk (2022) juga menemukan bahwa hanya sekitar 50% kabupaten dan kota di Jawa Tengah merupakan tempat yang relevan untuk religiusitas Islam dalam mendorong kinerja makro ekonomi.

 

Bahaya Maghrib

Sekalipun ajaran Islam tidak memerinci segala hukum persoalan terkait bisnis dan transaksi ekonomi layaknya persoalan ibadah secara mendetail, namun syariat Islam telah menetapkan dan mengatur rambu-rambu yang mesti dijaga dan dipelihara (dhawabith syar’iyyah) demi legalitas dan keabsahan suatu transaksi ekonomi dan bisnis. Keseluruhan rambu yang mengatur itu digali dari doktrin dan pesan agama, sebagaimana bisa dijumpai pada dua sumber utamanya: Al-Qur’an dan Sunnah. Pengaturan rambu tersebut penting, bukan hanya menyangkut legalitas hukum, melainkan juga mencerminkan nilai dan norma yang mesti dipelihara dalam berbisnis dan bermuamalah, tidak terkecuali dalam transaksi bisnis on-line.

Terkait transaksi bisnis on-lineyang kian diminati di zaman kontemporer ini, pada dasarnya rentan terhadap manipulasi dan penipuan (gharar)yang disebabkan banyak hal, mulai dari tidak bertemunya antara pihak yang bertransaksi, fiktif, hingga ketidaksesuaian spesifikasi objek yang diperdagangakan dengan yang dijanjikan. Pada gilirannya, ketidakterpenuhan unsur-unsur utama dalam transaksi bisnis itu akan menggiring pada hilangnya sikap kejujuran dan kesalingpercayaan serta berakhir dengan hilangnya kesalingrelaan. Padahal dalam perkara bisnis menurut Islam, sisi etika dan norma ini sangat penting untuk dimunculkan, sebab sisi nilai dan etika inilah yang turut menjaga keabsahan sebuah transaksi.

Di antara etika bisnis yang mesti dijaga dalam tinjauan ekonomi Islam adalah tidak berbuat kelaliman (dzhulm) yang bisa menghilangkan kerelaan rekan bisnis, tidak mengeksploitasi keuntungan, apatah lagi sampai memonopoli ketersediaan barang dan harga di pasar. Juga yang tidak kalah penting dari itu, adalah menghindari bahaya Maghrib (singkatan dari maysir, gharar, riba) dalam pelbagai transaksi bisnis.

Secara kebahasaan, makna maysirbisa diartikan dengan memperoleh sesuatu secara sangat mudah tanpa kerja keras, karenanya maysir kerap pula diartikan sebagai sesuatu yang mengandung unsur judi (gambling). Pada beberapa literatur, istilah maysir disandingkan dengan qimar atau game of chance (untung-untungan). Dalam pengertian yang lebih luas, maysir dapat pula dipahami sebagai transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain, dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu. Pelarangan unsur maysir dalam transaksi muamalah antar manusia disebutkan dengan jelas dalam Al-Qur’an (Q.S. Al-Maidah [5]: 90).

Sementara bentuk larangan syariat gharar dilarang dengan tegas dalam hadits Nabi Muhammad Saw. Kata gharar merupakan derivat dari kata gharrayaghirru-gharran-ghurur yang secara leksikal bermakna: menipu (khada’a). Kata gharar sendiri adalah bentuk kata sumber (ism mashdar) dari kata taghrir yang berarti: bahaya (khathr) atau penipuan (khid’ah). Sedangkan dalam pengertian terminologi,gharardiartikan sebagaisesuatu yang tidak diketahui pasti, apakah akan terjadi atau tidak (Al-Jurjani, 1992).

Sedangkan bahaya riba (dari akar kata rabaayarbu)mengandung arti: tambahan atau ziyadah. Dalam pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh atau numuww dan membesar atau irtifaa’. Sedangkan pengertian riba secara istilah sering diartikan sebagai tambahan yang disyaratkan tanpa adanya padanan/tukaran yang sepadan yang dibenarkan secara syariatdalam suatu transaksi bisnis jual beli (mu’awadhah).

 

Mewaspadai Maghrib dalam Bisnis On-Line

Ketiga bahasan di atas (bahaya maghrib) merupakan bagian dari norma dan etika Islam yang mesti diperhatikan dengan serius untuk dihindari, terlebih lagi dalam transaksi bisnis on-line. Kelemahan dalam perdagangan on-line karena tidak bertemunya para pihak yang terlibat transaksi dalam satu majelis, sebenarnya bisa disiasati dengan membangun kepahaman akan bahaya maghrib ini dalam sebuah transaksi bisnis, bukan hanya karena hal ini menyangkut larangan dalam agama, akan tetapi juga kehadirannya dapat mengancam nilai keadilan, kemaslahatan, bahkan kemanusiaan yang semua itu merupakan tujuan utama dari suatu usaha bisnis dilakukan, selain tentunya, maksud dan tujuan mendapatkan profit materi.

Di samping itu, menumbuhkan kesalingpercayaan para pihak dalam bisnis on-lineyang pada akhirnya berujung pada terpenuhinya kesalingrelaan pihak yang bertransaksi merupakan tujuan utama dalam segala bentuk aktivitas bisnis. Karenanya, sungguhpun bisnis on-line meniadakan pertemuan dalam satu majelis, namun kesesuaian spesifikasi antara apa yang dijanjikan dengan yang dijual haruslah terpenuhi, begitu juga denda (ta’widh) yang logis dan manusiawi atas segala kelalaian dalam transaksi, guna menghindari praktik maghrib dalam bisnis on-line adalah sesuatu yang niscaya.

 

Bisnis Berpilar Etika

Di antara kekhasan nilai ekonomi Islam dalam berbisnis adalah mewujudkan tata nilai dan etika yang dapat menjadi meeting point para pihak yang terlibat dalam usaha bisnis tersebut dengan mengendepankan sisi kejujuran, amanah, tidak berlaku aniaya, serta menghindari prilaku maghrib yang dapat mengancam nilai keadilan, kemaslahatan bahkan kemanusiaan. Bisnis berpilar etika demikian merupakan jalan keluar dari kekuatiran berlebihan atas legalitas dan keabsahan suatu transaksi bisnis, termasuk bisnis on-line di dalamnya.

 

 

 

Exit mobile version