Oleh : Bahrus Surur-Iyunk
Dulu ada seorang sahabat Nabi bernama Tsa’labah bin Abdurrahman. Ia seorang pemuda Anshar yang masuk Islam pada usia 17 tahun. Meski ia masih belia, namun ia sangat setia melayani Rasulullah.
Hingga suatu ketika Rasulullah mengutusnya untuk satu keperluan. Dalam perjalanan mengemban tugas itu dia melalui rumah salah seorang golongan Anshar. Secara tidak sengaja, ia melihat seorang wanita Anshar yang sedang mandi. Kendati tidak sengaja, ia teramat takut dan malu, “jangan-jangan akan turun wahyu berkenaan dengan perbuatannya”. Karena begitu takut dan malunya, ia pun mengasingkan diri dari kota Madinah. Ia lari mendaki sebuah gunung yang berada di antara Mekkah dan Madinah.
Selama empat puluh hari Rasulullah kehilangan dia. Lalu, Jibril memberitahu kepada Nabi, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam buatmu dan berfirman kepadamu, “Sesungguhnya seorang laki-laki dari umatmu berada di gunung ini sedang memohon perlindungan kepada-Ku.“”
Hari itu juga, Nabi memerintahkan Umar bin Al-Khattab dan Salman Al-Farisi untuk mencari Tsa’labah. Keduanya menyusuri perbukitan Madinah hingga bertemu dengan seorang penggembala Madinah bernama Dzufafah dan bertanya, “Apakah engkau melihat seorang pemuda di antara perbukitan ini?”
“Jangan-jangan yang engkau maksud adalah seorang lelaki yang lari dari neraka Jahanam?”, ujar Dzufafah.
“Bagaimana mungkin engkau tahu bahwa dia lari dari neraka Jahanam?” tanya Umar.
“Karena, jika malam tiba, dia keluar kepadaku dari perbukitan ini dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, ‘Mengapa tidak Engkau cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menanti keputusan-Mu!’”
Benar, saat malam menjelang, dia keluar di antara perbukitan itu dengan meletakkan tangannya di atas kepala sambil berkata sebagaimana yang ditirukan Dzufafah.
Umar lalu menghampiri dan mendekapnya. “Wahai Umar! Apakah Rasulullah telah mengetahui dosaku? Wahai Umar! Jangan kau bawa aku menghadap beliau kecuali dia dalam keadaan sholat”
Ketika mereka menemukan Rasulullah tengah melakukan sholat, Umar dan Salman segera mengisi shaf. Tatkala Tsa’laba mendengar bacaan Nabi, dia tersungkur pingsan. Setelah Nabi mengucapkan salam, beliau bersabda, “Wahai Umar! Salman! Apakah engkau telah temukan Tsa’labah?” Keduanya menjawab, “Ini dia, wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah berdiri dan menggerak-gerakkan Tsa’labah yang membuatnya tersadar. Rasulullah pun bertanya, “Mengapa engkau menghilang dariku?”
Tsa’labah menjawab, “Aku malu atas dosaku, ya Rasulullah!”
Rasulullah menimpali, “akan tetapi ampunan Allah lebih besar.” Kemudian Rasulullah memerintahkan agar ia dibawa pulang ke rumahnya. Di rumah dia jatuh sakit selama delapan hari. Mendengar Tsa’labah sakit, Salman pun datang menghadap Rasulullah, “Wahai Rasulullah! Masihkah engkau mengingat Tsa’labah? Dia sekarang sedang sakit keras.” Maka Rasulullah datang menemuinya dan meletakkan kepala Tsa’labah di atas pangkuan beliau. Akan tetapi Tsa’labah menyingkirkan kepalanya dari pangkuan beliau.
“Mengapa engkau singkirkan kepalamu dari pangkuanku?” tanya Rasulullah SAW.
“Karena diriku penuh dengan dosa,” jawabnya.
Beliau bertanya, “Apa yang kau inginkan?” “Ampunan Tuhanku, ya Rasul”, Jawabnya.
Maka turunlah Jibril dan berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Tuhanmu mengucapkan salam untukmu dan berfirman kepadamu, “Kalau saja hamba-Ku ini menemui Aku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, niscaya Aku akan temui dia dengan ampunan sepenuh itu pula.” (HR. At-Tirmidzi dari Anas bin Malik). Maka segera Rasulullah memberitahukan hal itu kepadanya. Mendengar berita itu, terpekiklah Tsa’labah dan meninggal.
Lalu Rasulullah memerintahkan agar Tsa’labah segera dimandikan dan dikafani. Ketika telah selesai disholatkan, Rasulullah berjalan sambil berjingkat-jingkat. Para sahabat pun penasaran, “Wahai Rasulullah, kami lihat engkau berjalan sambil berjingkat-jingkat.”
Beliau bersabda, “Demi Zat yang telah mengutus aku sebagai seorang Rasul, karena saking begitu banyaknya Malaikat yang turut menziarahi Tsa’labah.” (Mohamad Zaka Al-Farisi, “Like Father Like Son, Untaian Kisah-kisah Penuh Hikmah”, MQ Gress, 2008).
Imam An-Nawawi dalam Riyadhush-Shalihin menyimpulkan dari pendapat para ulama,
حقيقة الحياء خلق يبغث علي ترك القبيح ويمنع من التقصير في حق ذى الحق
Bahwa malu adalah sifat, sikap atau perasaan yang mendorong seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang buruk atau yang bisa merendahkan harga diri pelakunya.
Imam Al-Qurthubi berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang lahir dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat pembawaan seseorang). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang diusahakan (al-hayaa’ al-muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri.
Karena al-hayaa’ berasal dari kata hayiya – yahya hayaatan wa hayaa’an, maka ada juga yang mengatakan bahwa rasa malu itu sesungguhnya tidak jauh dari masalah hidup. Ibnu Al-Qayyim menyatakan bahwa rasa malu itu tanda mati hidupnya hati seseorang. Orang yang masih memiliki rasa malu, berarti hatinya masih hidup. Ketika hatinya sudah mati, maka rasa malunya akan hilang. Karena hilangnya rasa malu inilah seseorang bisa melakukan apa saja. Ia bangga dengan keburukan dan dosa yang dia kerjakan, bahkan di hadapan manusia sekalipun. Anda mungkin pernah melihat bagaimana seorang koruptor yang sudah memakai rompi orange KPK, tapi ia masih bisa melambaikan tangan ke khalayak sambil tersenyum. Koruptor saja tersenyum.
Karenanya, Rasulullah mengingatkan,
عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رواه البخاري
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri r.a., ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.’” (HR. Bukhari no. 3483, 3484, 6120)
Penulis Guru SMA Muhammadiyah Sumenep