SURABAYA. Studium Generale Universitas Surabaya dengan tema “Menakar Indonesia Ke Depan: Harmoni Kehidupan Beragama untuk Merawat Indonesia” menghadirkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir dan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf. Diskusi itu bertempat di Gedung Pertemuan Perpustakaan Lantai V Kampus Ubaya Tenggilis pada 31 Agustus 2022.
Menurut Haedar Nashir, masa depan itu ada pada hari ini dan masa lalu dalam suatu gerak yang kontinyu dan dinamis. “Kita tidak bisa memproyeksi masa depan tanpa berhitung dengan apa yang kita miliki hari ini dan kita perbuat hari ini, supaya tidak melompat,” ujarnya dalam forum yang turut dihadiri Rektor UBAYA Benny Lianto, Ketua Yayasan Anton Prijatno, Sekretaris PWM Jatim Tamhid Mashudi, Rektor UM Surabaya Sukadiono, dan Rektor UMSIDA Hidayatullah.
Banyak pengamat menyebut bahwa Indonesia ke depan akan unggul dalam sisi pertumbuhan ekonomi. Bahkan diprediksi menjadi 4 negara besar di dunia dalam kekuatan ekonomi. Bonus demografi juga menjadi potensi lain yang dimiliki Indonesia. “Tapi aspek lain apa dan bagaimana?” Terutama tentang nilai dasar, sumber daya alam, dan kapasitas yang dimiliki.
Haedar menginginkan segenap elite dan warga bangsa untuk membumikan nilai-nilai utama dalam berbangsa. Tiga nilai utama yang harus terus dirawat adalah: nilai-nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur. “Bagaimana kita mengaktualisasikan nilai kita berbangsa menjadi nilai yang manifest,” katanya. Tiga hal itu berjalan seiring. Jika dipertentangkan, akan ada konflik nilai.
Pancasila sebagai Weltanschauung atau dasar negara. Muhammadiyah memiliki konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wasy Syahadah. Indonesia merupakan negara kesepakatan, dan sekaligus menjadi tempat kita mempersembahkan bakti terbaik. Tentang kebudayaan luhur bangsa, Haedar Nashir mempertanyakan, “Apakah budaya kita kompatibel dengan masa depan?”
Menurutnya, merawat kemerdekaan Indonesia adalah perkara yang tidak mudah. “Kita merdeka itu perjuangan yang berat, tapi mempertahankan kemerdekaan itu tidak kalah berat,” kata Haedar. Sebab itu, di antara cara merawatnya adalah dengan mengoptimalkan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Negeri zamrud khatulistiwa ini harus menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Mengutip Buya Syafii Maarif, sila yang paling telantar itu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Haedar Nashir juga mengingatkan elite dan warga bangsa untuk punya visi dasar bersama. “Perlu kita sebagai bangsa menyamakan isu-isu yang krusial.” Supaya setiap pemimpin tidak jalan sendiri-sendiri, tetapi mengacu pada rumusan peta jalan yang berkelanjutan. Jika punya visi bersama, maka akan mudah menyelesaikan masalah-masalah seperti toleransi, radikalisme, terorisme. Tidak bisa selalu yang disalahkan adalah agama.
“Masa depan tidak bisa disongsong secara alamiah, kita perlu rancang bangun masa depan,” ujar Haedar. Rancang bangun masa depan itu merupakan hasil kumpulan dari perspektif agama, politik, ekonomi, budaya, dan seterusnya. Rancang bangun itu mengakomodir keragaman seluruh elemen bangsa.
Haedar menyebut tentang karakter Indonesia sebagai bangsa yang bhineka tunggal ika, tidak hanya multikultural. “Bhineka Tunggal Ika itu satu kesatuan antara kebhinekaan dan ketunggalan,” tutur Haedar. Multikulturalisme hanya merayakan kebhinekaan, dan melupakan ketunggalan.
Terkait dengan adanya gesekan di antara elemen bangsa, Haedar Nashir mengajak semua pihak mau belajar menjadi dewasa. “Bangsa yang besar ini tidak mungkin tanpa ada gesekan. Pasti ada gesekan. Tapi kita harus pandai-pandai mengelola gesekan. Dari gesekan itu kita menjadi dewasa. Rumpun bambu tumbuh bagus karena ada gesekan,” tukas Haedar Nashir. (Ribas)