Kiai Haji Ahmad Dahlan, Bapak dan Pendiri Muhammadiyah

Kiai Haji Ahmad Dahlan, Bapak dan Pendiri Muhammadiyah

oleh: R. Sosrosoegondo, Djetis – Yogya

[Dokumentasi Majalah ‘Adil dalam Bahasa Jawa. Dari koleksi Mitsuo Nakamura]

 

[‘ADIL No.38, 25 JUNI 1938, PAGINA 14]

Dengan banyak menghaturkan diperbanyak terima kasih, maka redaksi menerima gubahan yang maha penting dari tuan R. Sosrosoegondo di Jogja. Harapan redaksi, mudah-mudahan dengan memuatkan gubahan biografi almarhum Kiai Ahmad Dahlan ini, segenap orang Muhammadiyah khususnya dan kaum muslimin seumumnya menjadi sadar. Karena membaca riwayat seorang kiai, penegak agama Islam ini, mudah-mudahan kita tambah giat dan ikhlas berkorban untuk keselamatan agama Islam. Pula mengingat berkobarnya musuh Islam, harapan kami, mudah-mudahan dari riwayat ini, kita dapat jalan yang lebih sempurna guna membendung aliran anti Islam itu.

Oleh karena gubahan dari t. R. Sosrosoegondo berbahasa Indonesia Jawa, maka perlu kita salin dalam bahasa Indonesia. Kepada tuan R. Sosrosoegondo bila dalam salinan kita nanti terdapat perkataan yang menurut timbangan tuan tidak cocok dengan aslinya, haraplah segera menegur, agar kita bikin retifikasi adanya.

Suburlah Muhammadiyah!!

Redaksi.

 

Termasuk peribahasa “Si bujang merindukan bulan” saya berniat merangkaikan cerita kisah almarhum Kiai Ahmad Dahlan, sebab saya sepicik pengetahuan, sudah mencoba akan menceritakan seorang sarjana yang ter­puji. Sekalipun demikian kita kerjakan pula disertai pengharapan mudah­mudahan diberi pertolongan Tuhan, agar dapat berhasil cita-cita saya itu. Dan mudah-mudahan kisah ini dapat memberi faedah bagi saudara-­saudara yang sama membaea.

Adapun saya sendiri merasa dengan yakin, bahwasanya badan saya ti­ada bergaya, hanya Tuhan Yang Maha Akbar, Berkuasa, dapat memberi kekuatan pada siapa juapun yang dikehendakinya.

Permulaan saya kenal dengan almarhum Kiai Ahmad Dahlan, beliau berusia 33 tahun, dan saya sendiri 30 tahun. Perkenalan ini terjadi di rumah H. Abdullah, guru bahasa Indonesia di Yogyakarta. Pada waktu itu yang menjadi buah pembicaraan kita ialah soal kiblat. Sayapun turut bicara, tetapi saya merasa tertipu (kecelik Jw.) ditentang menerangkan dimana arahnya negeri Arab dari Yogyakarta.

Saya kira Kiai Dahlan belum tahu benar soal ilmu bumi. Di tentang “kecelik” saya ini, Insya Allah akan saya terangkan di belakang, sedikit luas. Kemudian kisah Almarhum Kiai Dahlan ini akan kami mulaikan dengan asal-usulnya dan di waktu kecilnya. Bila tak ada uzur melintang cerita ini, akan saya teruskan sampai wafatnya.

Yang menurunkan Kiai Dahlan, dan di masa kecilnya.

Kiai Dahlan, putranya Haji Aboebakar, menjabat abdidalem khatib Amien. Oleh karena itu juga disebut orang “ketibamin” berumah di Kauman Yogyakarta, belakang atau sebelah baratnya Mesjid Kauman. Di waktu kecilnya. Kiai Dahlan bernama Mohamad Darweisj dan serta sudah naik haji, beliau pindah nama H. Dahlan.

Haji Aboebakar ayah H. Dahlan, adalah putra Mas Soeleiman Kiai Jurukunci di Nitikkan. Dari pihak ibu, Nyai Aboebakar adalah putri dari Kiai H. Ibrahim, penghulu di Jogjakarta. Kiai penghulu ini ada putra dari Kiai H. Hasan di Karangkajen (Mardikan).

Saudara-saudara Kiai Dahlan atau putra-putranya Kiai Aboebakar.

Ada sebagai berikut :

  1. Nyai Ketibharoem.
  2. Nyai Moechsin atau Nyai Noer.
  3. Nyai H. Saleh.
  4. Kiai Ahmad Dahlan sendiri.
  5. Nyai Abdurrahman.
  6. Nyai Mohammad Fekih.
  7. Basir.

Hari tanggal kelahiran almarhum H. Dahlan saya tidak mengetahui benar. Akan tetapi di waktu beliau belum wafat, pernah membikin perbandingan dengan saya ditentang usia ini. Oleh karena ini, maka saya dapat mengkira-kirakan beliau lahir pada tahun 1868 atau 1869.

Badan Kiai Dahlan adalah tegap (pideksa Jw.) beroman muka tangkas (bagus Jw.). Kulitnya ada hitam manis, gembira (sumeh Jw.). Suara uca­pannya tidak keras. Di waktu masih kecil kanak-kanak, sudah dikenal oleh tetangga. Mereka bila membimbing (ngudang Jw.) anak mereka “jadilah se­perti si Darweisj, ialah Kiai Dahlan” itu.

Guru mengaji yang oleh kawan sejajar Kiai Dahlan masih diingat adalah;

  1. Kiai Moechsin di Kauman.
  2. Kiai Abdulhamid di Lempoejangan.
  3. Lurah Noer di Kauman, dan
  4. H. Sa’id.

Kiai H. Ahmad Dahlan belajar dalam falakiyah, kepada Kiai Raden Haji Dahlan pondok Termas, dan ilmu hadits pada Kiai Mahfoedz dan Syekh Chajjat.

Pernah Kiai Oahlan menerangkan pada saya tentang ilmu falakiyah, bahwa beliau sudah pernah membikin percocokan dengan salah seorang amte­nar Belanda di Betawi dari obsrervatorium. Beliaupun pernah pula melanjutkan pelajarannya di negri Arab.

Ditentang ilmu qiroah (pembacaan) beliau belajar pada: 1. Syekh Amien, dan 2. Sajjid Bakrie Satock.

Lain daripada itu Kiai Dahlan juga belajar menyejukkan (nawarake Jw.) bisa, kepada Syekh Hassan, yang terkenal guru bisa (hupas-hupasan).

Di tentang soal kiblat, beliau sudah membikin percocokan dengan Sayyid Oesman di Betawi.

Ditentang guru-guru almarhum Kiai Dahlan sampai sekian ini saja, sebab tentu masih lagi yang belum saya ketahui.

Maka sekarang saya teruskan mengisahkan di waktu beliau masih ka­nak-kanak. Di waktu itu, orang tetangga sudah mengetahui bahwa Darweisy mempunyai banyak akal daya upaya atau reka-reka. Orang menamakan beliau “anak dregil”. Kesemuanya barang yang beliau usahakan, tentu beliau bi­kin sampai selesai. Oleh karena itu beliau mendapat sebutan pula “wasis”.

Sebab tabiat manusia, bila suka mempelajari dalam-dalam ditentang sesuatu barang orang itu akan menjadi lebih tahu daripada orang kebiasa­an.

Adapun yang digemari oleh Darweisy adalah layang-layang yang tali­nya tentu pakai digelas, dan permainan gangsingan. Pembikinnya layang-layang gelasan dan gangsingan oleh Darweisy pun dipelajari benar-benar, agar kepunyaannya itu melebihi dari kepunyaan lain-lainnya. Ditentang layang-layang saja sampai beliau sudah dewasa masih mengerjakannya main­-main pada waktu sore.

Ditentang pergaulannya dengan lain kanak-kanak Darweisy sangat digeluti. Dan segala perintahnya diturut. Sebab memang anak-anak itu merasa dirinya kalah pandai dan kalah ilmunya. Hanya ditentang kekuatan badan Darweisy (Kiai Dahlan) kurang memperhatikannya,

Oleh karena Kiai sungguh-sungguh cerdas pikiran, maka ditentang mengaji beliau sangat pesat kemajuannya. Suka memperhatikan sepatah­-sepatah kata, rajin sekali membikin catatan pelajaran. Semua apa saja yang beliau belum mengerti benar, tentu ditanyakan. Sekalipun tempat gurunya ada jauh dijalankan pula. Tabiat beliau yang baik-baik itu tetap dihayatnya, sehingga usia tinggi. Pun pula kepandaian-kepandaian tadi tetap tambah-tambah, seukur dengan kekuatannya badan, angan-angan dan harta bendanya.

Kesemuanya di atas adalah kisah sahih dari orang-orang yang di waktu kanak-kanaknya hidup bersama dan bermain-main dengan Kiai Dahlan.

 

[‘ADIL No. 49, 10 SEPTEMBER, PAGINA 2 dan PAGINA 3]

Mulai pada tanggal 25 Juni dalam ‘Adil telah kita muatkan biografinya Kiai Haji Ahmad Dahlan yang pertama-tama, tapi terdorong banyaknya artikel-artikel yang hangat yang perlu dimuatkan lebih dahulu, maka ter­paksa sambungan kisah perjalanan hidup bapak dan pendiri Muhammadiyah itu kita tahan dahulu dan baru sekarang ini artikel itu seterusnya akan kita muatkan berturut-turut sampai habis. Oleh karena itu, diharap seka­lian pembaca menjadi maklum.

Redaksi.

 

MULA I DEWASA

Semenjak tahun 1906 (Sosrosoegondo) saya menjabat guru di dalam perguruan bakal guru di Jogjakarta. Perhubungan saya dengan Kiai Dahlan segera kekal dan berjalan sampai sewafatnya. Pengertian saya ditentang perjalanan hidupnya Kiai Dahlan hendak saya ceritakan semuanya. Apabila saya tambah, itulah disebabkan karena menurut pendengaran saya dari be­kas murid-murid sanak kerabat atau kenalan beliau. Terdorong karena banyak urusan yang penting, maka saya lantas memperhubungkan diri kepada beliau. Terutama keinginan saya untuk mempelajari bahasa Arab, sebab ba­hasa yang saya pegang di sekolah ialah bahasa Melayu.

Didalam surat-surat (buku-buku) bahasa Melayu yang saya pelajarkan di sekolahan, itu banyak bahasanya Arab.

Demikian dapat banyak peraturan-peraturan agama Islam yang belum saya ketahui.

Sering-sering saya memerlukan datang di rumahnya dengan membawa berbagai macam pertanyaan. Perhubungan saya dengan beliau yang pertama­tama di tahun 1900.

Ketika itu Kiai Dahlan sudah menerangkan kepada tuan Abdullah, berhubung perselisihannya dengan Kiai Penghulu perkara sifatnya kiblat. Bedanya pengertian yang bersangkutan dengan urusan itu bisa nampak de­ngan terang pada waktunya kebetulan salat di mesjid. Orang-orang yang sama makmum kepada imam sama berdiri lencang ke arah barat, sedang Kiai Dahlan sendiri berdiri ke arah barat kira-kira hanya 24 setengah graad. Kiai Dahlan menerangkan soal itu kepada T. Abdullah. Pun saya juga turut mendengarkan pembicaraannya sebab saya sudah diperkenalkan lebih dahulu. Saya lantas berbicara turut berbicara seperti berikut:

“Bukankah tanah Jawa itu ujurnya sudah ke arah barat dengan sedi­kit membelok ke arah utara, Kiai?”

Kemudian Kiai Dahlan menjawab dengan secara pelan-pelan:

“Betul memang ujurnya tanah Jawa itu sudah sedikit membelok ke arah utara, tapi bukankan membeloknya itu belum sampai semestinya, menuju ke arah Mekah?”

Dengan keluarnya jawaban itu, hati saya merasa salah terka.

Sebelumnya saya telah mengira bahwa Kiai Dahlan itu tidak sebegitu mengerti soal urusan gambar-gambarnya daratan yang tercantum di dalarn atlas. Sepanjang pengetahuan saya para santri tidak begitu mementingkan pelajaran soal ilmu bumi atau sejarah. Biasanya yang diperlukan istimewa hanya mernpelajari perkara peraturan-peraturan yang menyangkut agama.

Maksud saya menyumbang bicara di atas itu semata-mata supaya Kiai bisa tertarik terhadap pembicaraan saya. Sebab apabila saya kemukakan soal ilmu, perasaan saya lantas berganti gelap.

Tetapi jauh dari pengiraan.

Syahdan beliau seolah-olah tetap tentram. Demikian pun kelihatan bahwa pengertiannya soal graad-graadan, ada lebih tinggi (pandai) dari pada pengertian saya seberapa jauh pengertiannya itu saya bisa mengukur dari segala pembicaraanya. Walhasil pada hakekatnya ternyata bahwa ukuran kepandaiannya itu jauh lebih tinggi dari segala pengiraan saya tadi bukan saja graad di bumi, bahkan graad-graadan di langit Kiai juga bisa mengerti dengan sungguh-sungguh. Beliau bisa menghitung jatuhnya gerhana rembulan dan matahari dengan seksama. Padahal saya hanyalah dengan se­pintas lalu saja mempelajari perkara itu.

Setelah saya kenal beliau sedikit lama, saya baru mengerti tentang urusan itu yang sesungguhnya.

Saya sudah pernah bercerita kepada kiai tentang karangannya ahli kesusastraan Jawa T. Iskak, soal ilmu falak, tapi kiai juga tidak merasa heran. Malahan diterangkan juga bahwa tuan Iskak itu adalah sebetulnya termasuk bapaknya kecil. Beliau itu menurut ilmu falak hanya dengan cara lama.

Jadi terangnya, bahwa rabaan saya ketika itu adalah merupakan su­atu kekeliruan yang amat besar. Menurut peribahasa Melayu demikian: “Tali sejengkal hendak menduga laut”.

Saya memperlukan memperkenalkan diri dengan Kiai Dahlan itu, sejak saya sudah berumah di Jogja. Saya sudah bertindak dengan hati-hati seka­li, tapi saring-sering saya masih bersalah raba.

Perselisihan beliau perkara kiblat sepanjang pendengaran saya senantiasa tambah hangat. Pada hangat-hangatnya timbul perselisihan itu saya masih bertempat tinggal di Magelang. Menurut ceritanya demikian.

Untuk menjunjung tinggi barang yang benar, maka oleh Kiai Dahlan jubin di mesjid tempatnya sembahyang sudah digarisi sifatnya kiblat ke arah Ka’batullah.

Garisan itu membeloknya dari arah ke barat kira-kira ada 24 sete­ngah graad. Tindakan itu menimbulkan kemarahan yang besar dari kyai penghulu. Oleh karena itu, maka Kiai Dahlan lantas mendapat marah dan diancam hendak dimintakan berhenti, apabila ia tetap menentang sifatnya kiblatnya sembahyang. Tapi Kiai Dahlan lantas tidak lekas-lekas menyang­gupi demikian saja. Hanya saja sudah lupa, bagaimana bunyi peraturannya. Justru Kiai Dahlan dengan murid-muridnya menghadapi sembahyang masih tetap ke arah barat-utara. Kiai Dahlan juga pernah menceritakan kepada saya, ketika dirinya diperiksa oleh negeri berhubung perselisihannya so­al hadapan sembahyang. Dari permintaannya, maka beliau lalu bercerita tentang terjadinya perselisihan hal kiblat tersebut, seperti dibawah ini:

“Menurut keterangannya, penghulu, bahwa kiblat tuan sembahyang itu ada berlainan sama kiblatnya penghulu.”

Saya (Kiai Dahlan) mendengar pertanyaan semacam itu, lalu berpikir demikian, “Inilah suatu pertanyaan yang keliru (bukan pada tempatnya). Dimana-mana tempat saja kiblat itu mestinya Ka’batullah. Saya lantas menjawab: “Sama!”

Sampai sekian ingat saya ditentang ceritanya kiai Dahlan di periksa oleh pemerintah.

Oleh karena saya sudah merasa puas dengan jawabannya yang memang sungguh tepat itu, maka saya tidak meneruskan pertanyaan saya lebih jauh.

 

Perselisihan soal alang-ujurnya surau

Garis-garisan di Mesjid yang dibikin oleh Kiai Dahlan kesemuanya sudah dibikin bersih oleh pegawai mesjid. Selanjutnya Kiai Dahlan tidak bikin garis-garisan lagi di lantai mesjid, tapi beliau bikin garis-ga­risan di lantai di suraunya sendiri.

Sifatnya garisan-garisan itu terutama menurut letaknya kaki serta hadap­nya muka. Jadi banyak garis-garis yang saling terjang, ada yang arahnya ke utara-timur, buat mengatur trapnya kaki supaya larikannya bisa sifat, ada yang arahnya ke barat-utara, menurut hadapnya muka. Mengencongnya (membeloknya) tadi kesemuanya dihitung dengan seksama menurut graad­-graadan.

Tindakan ini gunanya istimewa supaya Kiai dengan mudah bisa menga­tur murid-muridnya yang sama maklum, jikalau kiai mengimami sembahyang di suraunya. Tentang hadepnya tidak ada terdapat perbedaan.

Berhubung panjangnya larikan tak bisa sama maka surau itu lantas diperbaiki dibikin hadapnya ke arah selatan timur. Membeloknya hadap graad-graad dan dibikin menurut mencengnya hadapnya sembahyang. Perkara ini sampai di telinga penghulu yang lantas menjadi marah.

Akhirnya datang titah dari pemerintah supaya surau itu harus diru­bah hadapnya dibikin ke arah timur benar sepanjang kehendak perintah ialah supaya tidak berlainan sama hadapnya mesjid.

Dalam perintah tidak dibicarakan tentang hadapnya sembahyang. Yang dihajatkan ialah hanya hadapnya langgar. Boleh jadi menurut kehendak pemerintah bahwa apabila surau itu sudah benar menghadap ke timur orang­-orang yang sembahyang di situ tentunya lantas menghadap ke Barat benar. Atau meskipun hadapnya sembahyang membelok (menceng Jw.), tapi tidak begitu dikhawatirkan lagi. Tentang urusan ini saya tidak mengetahui dengan yakin.

Alkisah Kiai Dahlan sama sekali tidak akan mau menjalankan perin­tah tersebut, sebab soal itu adalah mengenai urusan keyakinan hati. Ter­dengar suara bahwa Kiai Dahlan tidak mau menjalankan perintah negeri, boleh jadi akan diasingkan. Ancaman itu juga tidak bisa menjungkirkan ke teguhan hati beliau. Hanyalah saudara-saudaranya yang sama menaruh kha­watir lantas sama membujuk beliau supaya segan memenuhi perintah diatas, tokh hasilnya tetap nihil.

Oleh karena itu, maka ahli kerabatnya lantas mencari ikhtiar demi­kian :

Pada waktu sore kyai diajak bepergian, entah berjalan-jalan, entah mertamu ke rumah orang, saya sudah tak ingat lagi. Selama itu para ahli di rumahnya sama membongkar surau yang sedang menjadi urusan itu untuk dibangun kembali memenuhi kehendak negeri. Pendiriannya surau baru itu bentuknya lebih indah daripada surau yang lama. Mengingat peristiwa itu Kiai Dahlan yang memang dasarnya sabar, menjadi tidak amat besar kecewa­nya.

Lantas di dalam surau itu Kiai Dahlan sebagai biasa tetap dita­ruhi garisan lagi menurut hadapnya kiblat.

 

[‘ADIL No. 50, 17 SEPTEMBER 1938, PAGINA 4 dan PAGINA 5]

Sepanjang pendengaran saya, dulu penghidupan Kiai Dahlan dari tu­kang menjual kain, sedang Nyai Dahlan ngethel atau nglungu mori.

Pada permulaan berdirinya “Budi Utomo” yang membikin kongresnya yang pertama-tama di Yogyakarta, banyaklah student bakal dokter dari Betawi sama datang perlu mengunjungi kongres tersebut. Antaranya pemuda­-pemuda itu ada yang berkehendak membeli kain-kain keluaran, Jogja, yang kemudiannya di Betawi akan dijualnya lagi pada temannya sekolah. Pemuda­-pemuda di atas sama minta pertolongan pada saya untuk mencarikan saudagar yang bisa dicarikan langganan. Oleh karena yang saya masukkan per­tama itu Kiai Dahlan, maka mereka itu terus saya ajak pergi ke rumah beliau. Di situ saya lantas berembukan, tentang kehendaknya para pemuda tadi. Antaranya ada yang berpendapat demikian, “Kiai, saya memangnya bermaksud membeli kain, yang akan saya jual lagi di Betawi. Kalau harga­nya ada ringan, saya akan menjadikan Kiai sebagai langganan. Tidak lain harapan saya, mudah-mudahan Kiai bisa kasih harga yang sedikit ringan.

Kiai menjawab, “Saya akan menurut saja pada kehendak tuan. Tapi berhubung sekarang kebetulan bulan puasa, berdagang lakunya amat maju. Terpaksa harga dari barang-barang itu tidak bisa diturunkan. Sebab lakunya orang berdagang itu demikian.”

Mulai pada bulan Rejeb atau Ruwah sudah banyak para juragan dari luar yang sama datang di Kauman dengan membawa uang untuk kasih pembayaran sebagian di muka (manjere Jw.) pada saudagar-saudagar kayu di Kauman.

Datangnya orang berdesak-desakan sehingga antaranya ada yang ditolak, sebab tak bisa melayani permintaan yang sebanyak itu. Maka pan­jer yang ditrerima itu hanyalah diukur menurut seberapa bisanya perlaya­nan saja. Kesimpulan dari pembicaraan itu, ternyata bahwa Kiai Dahlan ketika itu tidak begitu membutuhkan pada tambah maju lakunya perda­gangannya. Akhirnya para student calon dokter tersebut juga mengambil kain banyaknya antara dua kodi, dengan begitu mengharap-harap terhadap keuntungannya yang amat menggembirakan.

Sebab kentara, bahwa pada saat itu juragan-juragan di Yogyakarta tidak kekurangan langganan. Para pembeli, kalau tawar-menawar sama saudagar atau bakul meskipun bisa berbicara dengan amat licin tokh hakekat­nya terpaksa mereka itu sama menyerah berhadapan dengan saudagar-sauda­garnya yang memangnya sudah biasa. Apalagi kalau si pembeli itu masih termasuk kanak-kanak dan belum cukup umurnya atau belum banyak pengalamannya tentang jual beli, kebanyakan mereka itu terlalu mahal membayarnya.

Tentang orang berdagang bisa mendapat untung ataupun rugi, itu semuanya sudah sama diketahui oleh setiap orang. Menurut ceritanya para saudagar kenalan saya ketika di Yogyakarta perdagangan batik sedang maju-majunya, istrinya seorang saudagar yang baru berdagang di dalam tempo satu tahun saja sudah bisa memakai barang-barang permata yang ma­hal harganya. Tetapi kalau Tuhan belum mengizinkan, perdagangannya Kiai Dahlan di dalam menderita kerugian sehingga boleh dikatakan: jatuh.

 

” Ingin memberi pelajaran di sekolah Gupernemen”

Tuan Turki, muridnya Kiai Dahlan bercerita :

“Semenjak saya masih kanak-kanak saya sudah menjadi muridnya Kiai Dahlan. Kiai itu memang oleh Tuhan sudah ditakdirkan menjadi ulama. Ada­pun tanda-tandanya yang saya bisa unjuk demikian: Pada suatu tempo Kiai sudah memborong semua sarung di Jogja seharga f 6000.

Istimewa langkah Kiai ini untuk membesar perusahaannya. Barang perdagangan tersebut antaranya dikirimkan ke Deli, Medan, Makasar, Banjarmasin, dan ke lain-lain negri.

Tetapi barang dagangan itu banyak yang digelapkan, sehingga beliau menderita kerugian kurang lebih f 4000.

Kemudian Kiai merasa masygul. Maka beliau lantas segera memerlukan menemui pada saudagar-saudagar yang sama mempunyai barang dagangan kain dan sarung tersebut di atas. Beliau mengisahkan tentang jalannya perdagangannya, tidak kecuali tentang kerugiannya. Kiai sudah bilang dengan terus terang, bahwa beliau tak bisa membayar segala harga sarung-sarung tadi, tapi beliau sanggup mencicil hutangnya sampai lunas sama sekali. Para juragan sama menyatakan persetujuannya atas perjanjian Kiai, sebab mereka sudah sama mengetahui, bahwa Kiai adalah seorang yang memang bo­leh dipercaya. Kiai terpaksa tidak bisa membayar itu, terdorong karena nasibnya yang malang. Senantiasa kesanggupan beliau diujudkan, sampai semua hutangnya terbayar lunas.”

Tuan Turki melanjutkan ceritanya, “Pekerjaan Kiai yang terutama ialah membeli pelajaran mengaji.

Sejak mendapat kerugian yang besar, Kiai demi dikit-kesedikit lantas kurang giatnya didalam soal berdagang. Walhasil beliau tambah rajin memberi pelajaran dan memperdalam pengetahuannya. Memang, kalau orang itu sudah ditakdirkan oleh Tuhan akan menjadi ulama serta pemimpin, tentu tak akan kurang sebabnya.

Saya kira, kalau perdagangannya Kiai tidak jatuh, tentunya beliau lantas menjadi saudagar.”

Sampai sekian ringkasnya cerita Turki.

Perkunjungan saya ke rumah Kiai semakin lama semakin kerap. Sementara murid-murid calon guru ada yang berkunjung ke rumah Kyai perlu mempelajari mengaji (membaca Qur’an).

Pekerjaan ini sudah lebih dahulunya berjalan, sebelumnya saya datang di Yogya.

Akhirnya diadakan perembukan, seandainya minta izin pada direktur­nya sekolah supaya pada Kiai dikasih kesempatan memberi pelajaran agama satu kali setiap minggu diambil waktunya yang terluang dari pelajaran yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, apakah akan dikabulkan? Saya menyahut bahwa permintaan itu kira-kira bisa dikabulkan, sebab di dalam sekolah Belanda anak-anak juga boleh diberi pelajaran agama. Bahkan ketika saya masih sekolah Belanda mengetahui, bahwa sering-sering ada sementara anak-anak yang masih tengah diberi pelajaran, sama diterutamakan perlu dikasih pelajaran agama. “Macam pelajaran itu dikatakan pelajaran kategisatie”.

Anak-anak Jawa yang sama mendengar nama itu, kalau menirukan de­ngan ucapan “keteg sasi”.

 

[‘ADIL No. 51, 24 SEPTEMBER 1938, PAGINA 4]

Memberikan pelajaran agama di sekolah bakal guru

Perembukan tentang hal itu mendapat persetujuan dan berhasillah. Maka Kiai Dahlan lantas memberikan pelajaran di sekolah tersebut pada tiap-tiap minggu pagi, mulai jam 8 sampai jam 10. Sering-sering saya juga turut mendengarkan pelajarannya. Demikian pada minggu sorenya mulai jam setengah lima sesudah shalat Asar sampai waktunya hampir Maghrib pelajaran agama itu diberikan. Sebab kalau pagi, anak-anak sama gemar berjalan-jalan.

Alkisah pada suatu hari saya datang sedikit kasip, sehingga saya tidak bisa mendengarkan permulaannya pelajaran. Pada waktu itu Kyai kebetulan sedang menerangkan soal nama utara-selatan. sebagai berikut:

“Seandainya orang itu tidak berdiam di bumi, berdiam di tempat yang tidak ada apa-apanya, atau tidak ada bumi, manakah yang dinamai utara, selatan, timur, dan barat, atau bawah dan atas? Nakh, semestinya lantas tidak ada.”

Saya juga turut memikirnya, teringat akan pelajaran kosmografi. Di dalam hati saya berpikir, “Sungguh benar, ucapan-ucapan yang kedapatan dalam buku-buku cerita itu.

Kalau orang itu giat bertapa lantas seringkali dikatakan amat sak­ti, bisa membikin buana terbalik. Timur dijadikan barat, barat dijadikan timur. Bawah dijadikan atas, atas dijadikan bawah. Kiai Dahlan itu de­ngan tidak usah bertapa tapi rajin mempelajari ilmu, ternyata sudah bisa bikin buana terbalik. Bahkan timur, barat, bawah dan atas disirnakan sama sekali.

Di lain hari ketika saya turut mendengarkan pelajarannya, Kiai, ada seorang murid yang sudah bertanaya demikian, “Kiai, kalau manusia itu sudah ajal apakah di kemudian hari bisa mengetahui wujud Tuhan yang sesungguhnya?”

 

Jawabnya. “Bisa juga mengetahui tapi tidak bisa terang. Tidak bisa bilang apakah besar, atau kecil, apakah ada jauh atau dekat.”

Mendengar jawaban yang semaeam itu hati saya merasa puas.

Mulai sekarang saya mengerti, bahwa manusia itu adalah bukan makh­luk yang sempurna. Panca indra, pengetahuan dan angan-angannya sama sekali serba kekurangan. Baru hendak mengetahui keadaannya titah saja sudah sulit, apalagi kalau hendak mengetahui keadaannya Zat yang menitahkan.

Sering-sering ada murid yang menanyakan tentang keadaannya surga atau neraka yang oleh Kiai Dahlan diberi jawaban demikian, tentang surga atau neraka itu ada salah satu barang yang tidak ada kedapatan di dunia ini. Manusia belum pernah mengetahui bagaimanakah dapatnya menceritakan, padahal di dunia ini tak ada contohnya.

Sedangkan hendak menceritakan barang yang kedapatan di dunia ini saja sudah amat sulit. Maka kalau terpaksa diceritakan, boleh jadi tidak cocok dari keadaan yang sebetulnya. Misalnya kalau hendak menceritakan keadaannya sesuatu negeri yang belum pernah diketahui negeri-negeri besar sesuatupun, semestinya bolehnya membuat contoh istimewa hanya diambilkan dari desa ataupun kampung yang pernah diketahui. Umpama kalau hendak menceritakan kota New York, tapi yang diambil contohnya hanya kampung di Bloenyah, bukankah bisa terdapat kepuasan-kepuasan pada kedua pihak? Gambar yang tertera dalam angan-angan itu hakekatnya adalah amat berlainan sama keadaannya yang senyatanya. Maka haraplah perkara yang gaib-gaib itu jangan dipikir ataupun dilukis dibayangkan supaya tidak merusakkan cita-cita.

Sekian maksudnya jawaban beliau.

Membangun caranya mengajar

Meskipun Kiai Dahlan itu pekerjaannya memegang pondok mengajar para santri tapi beliau gemar berhubungan dengan priyayi gupermen. Kalau priyayi kesultanan itu sudah termasuk temannya semua, sebab mereka ini semuanya golongan abdi dalem.

Sepanjang penganggapannya para santri di Kauman di pondok lain­-lainnya pada ketika itu, bahwa anak atau orang yang pernah bersekolah itu sudah tidak Islam lagi, bahkan dianggap sudah memasuki agama Nas­rani. Oleh karena itu, maka para santri ataupun haji tidak bisa leluasa perhubungannya dengan priyayi-priyayi gupermen tersebut. Para santri sama merendahkan priyayi-priyayi (di dalam hati). Sebabnya, mereka itu dianggap tersesat (kesasar Jw).

Sebaliknya para priyayi-priyayi berganti sama merendahkan pada dirinya santri-santri, sebabnya mereka itu dianggap rendah pengetahuan­nya tentang pelajaran di bangku sekolah. Misalnya, soal berhitung, ilmu bumi, sejarah, ilmu alam, ilmu ukur dan lain sebagainya. Mereka sama mengira, bahwa santri itu terutama hanya pandai soal agama belaka. Lebih-Iebih priyayi-priyayi itu perasaannya sudah memegang ilmu sesungguhnya.

Mengerti tentang seluk-beluknya hidup, mengerti tentang yang dinamai Allah yang sejati, dari sebab ajarannya guru, yang disebut guru kasampurnan, mengajar ilmu tua.

Jadi dua golongan di atas di dalam hatinya satu sama lainnya sama rendah-merendahkan.

Setelah Kiai Dahlan sudah bisa berkenalan dengan priyayi-priyayi sementara banyak, para priyayi-priyayi sarna mengerti, bahwa Kyai Dahlan itu pengetahuannya bukan saja tentang soal agama, tapi beliau mengerti berbagai macam pengetahuan juga.

Malahan pengetahuan yang diajarkan di sekolah rendah, atau di sekolah bakal guru Mulo dan A.M.S ada sementara yang termasuk rendah kalau dibandingkan sama pengetahuannya Kiai Dachlan, misalnya hal pelin­tangan, kimia, dan ilmu alam.

Demikian itu Kiai Dahlan lalu bisa mengerti atau merasa, bahwa para priyayi itu ada yang melebihi di atasnya santri-santri tentang luasnya pengetahan, biarpun masih rendah.

Segala-galanya serba teratur diatasnya para santri. Hanya tentang berlakunya kebutuhan, para priyayi banyak yang mengunjukkan korat-­karitnya.

Perkara yang baik-baik yang terdapat pada dua golongan tadi menu­rut kehendak Kiai Dahlan akan diletakkan pada santri-santri dan priyayi-­priyayi yang termasuk bangunan baru. Sedang cacad-cacadnya yang buruk hendak disingkirkan.

Oleh karena itu maka Kiai Dahlan berhajat akan menggabungkan seko­lahan dengan pondok.

Penggabungannya demikian:

Caranya mengajar di pondok-pondok di ikhtiarkan sebagai di sekolah­-sekolah dengan memakai bangku, meja tulis dan alat-alat lainnya.

Lain dari pada itu, yang diajarkan bukan melulu soal agama saja.

Pun juga diajarkan pengetahuan sekolahan yang paling kurang menya­mai sama perguruan gupermen. Juga di sekolah lainnya yang sudah ada akan didaya-upayakan supaya bisa diberi pelajaran agama kepada murid-murid­nya.

Sedari perguruan rendah sampai di perguruan yang paling tinggi, Kiai Dahlan mempunyai keyakinan, bahwa gupermen tentunya tak akan meng­halangi, kalau murid-muridnya dari perguruan gupermen dikasih pelajaran agama, apabila tidak mengurangi temponya belajar yang sudah ditetapkan di dalam peraturan.

Ditentang peristiwa itu memang terdapat kecocokan.

 

[‘ADIL No.1, 1 OKTOBER 1938, PAGINA 13]

Membangun pondok

Sering-sering di dalam segala perjamuan Kiai Dahlan mesti membi­carakan tentang baiknya peraturan di dalam perguruan gupermen. Orang­-orang sama dipancing supaya sama ketarik pada buahnya perguruan dan peraturan di sekolahan, para santri yang mendengarkan keterangan itu hampir semuanya sama membantah, sebab mereka sama tidak cocok sama cara­nya memberi pelajaran di sekolah gupermen. Mereka sama mengatakan bahwa menurut peraturan Islam, caranya memberikan pelajaran di sekolah guper­men itu termasuk bid’ah, artinya: cara baru yang tidak sesuai dengan peraturan yang diisi ketika hidupnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Cara baru yang dibicarakan oleh Kiai Dahlan tadi disebut cara yang jelek.

Syahdan, mendapat perlawanan yang sedemikian itu, Kiai Dahlan seo­lah kelihatan tentram. Pula jawabannya tetap tenang. Mengunjukkan, bahwa sudah banyak perubahan baru, yang bukan termasuk bid’ah.

Jalannya segala peristiwa yang diganti dengan cara yang lebih sem­purna, itu namanya bukan bid’ah. Malahan menurut ceritanya Kiai Dahlan, bahwa semua peristiwa buat orang Islam itu harus sering-sering berganti dengan tambah sempurna.

Cara yang lama harus diganti dengan cara baru yang lebih baik sebagai caranya kalau ular berganti kulit (nglungsung Jw.). Semua yang dianggap Allah dengan perintahnya juga mesti ganti.

Jawaban ini malahan tambah semakin bikin terkejutnya pada orang-­orang. Kemudian Kiai Dahlan menerangkan lagi maksudnya, “Orang-orang Islam itu kebanyakan senantiasa sama menurut perintah yang keliru. Kalau hatinya perintah supaya membohong, menyuruh berjalan ke tempat yang tidak baik, malas, membeli mas intan, manusianya lantas segera menjalan­kan perintah semacam itu.

Tetapi kalau disuruh rajin, memelihara orang atau anak yang kekurangan dan lain sebagainya, mereka sama merasa berat menjalankannya. Sebetulnya perintah yang paling belakangan itu yang semestinya dikerjakan dengan keikhlasan hati. Tetapi tidak demikian halnya. Maka perkara itulah yang saya katakan, “Harus berganti sesembahan. Yang keliru ditinggalkan, ganti yang benar, yang baik”.

Sekalipun tak ada orang yang bisa membantah keterangan Kiai tadi tokh hatinya mereka sama belum bisa cocok terhadap cita-cita Kiai. Hanya, Kiai juga tak berhenti-henti berdaya upaya supaya orang-orang itu sama ketarik terhadap adanya sekolahan sendiri.

Beliau membikin bangku Amerika dus, sedang meja tulis sudah mempu­nyainya. Bangku-bangku itu diatur, diletakkan di emper sebelah barat. Kiai telah mempunyai murid satu dua orang yang mau memasuki sekolahannya. Kiai berikhtiar mencari tambahnya murid, dan jumlahnya sekarang lengkap jadi delapan. Mereka itu disuruh duduk di bangku Amerika tersebut.

Berhubung pembikinan dua bangku itu, di dalam rumah lantas timbul huru-hara, sebab di waktu itu kedudukan Kiai bukan termasuk mampu. Tetapi atas kebijaksanaannya kegentingan itu bisa dipadamkan.

Sekalipun demikian di luar rumah yang bernama sanak saudara atau tetangga dan kenalan yang sebelumnya sama bersatu rukun tunduk sama Kiai Dahlan, banyak yang sama menjauhkan dirinya pada beliau. Yang dahulunya sama gemar membantu atau menyokong pada Kiai soal berlakunya peraturan agama Islam atau dagangan, sama menjauhkan diri dari Kiai Dahlan dan ti­dak mau bicara lagi. Murid atau bekas muridnya mengaji sama kecewa, ti­dak mau belajar lagi. Boleh dikatakan, bahwa Kiai sedang diboikot oleh sejawat kenalannya. Hampir orang penduduk Kauman semua sama tidak cocok langkah Kiai semacam itu. Tokh Kiai sama sekali tak akan mengurangi ter­hadap kekerasan cita-citanya.

Kalau murid-muridnya sekolah ada yang tak masuk belajar, lalu didatangi di rumahnya, dicarinya didaya upayakan supaya mau masuk kembali.

Ada cerita bahwa berjalannya sekolahan itu ada yang berlebih-­lebihan. Demikian juga berjalannya pelajaran tentang pengetahuan seko­lahan, dimulaikan jangan sampai jam 4 siang. Yang memberi pelajaran guru bantu di Gading bernama Chalil. Kalau pagi anak-anak sama dikasih pelajaran agama oleh Kiai sendiri.

Lama kelamaan setelah mendapat guru yang khusus bisa mengajar sekolah itu anak-anak lantas sama masuk pada pagi-pagi hari.

Tentang berdirinya sekolah itu, Kiai Ahmad Dahlan terutama sudah berunding dengan Tuan Budiharjo guru sekolah bakal guru di Yogyakarta. Tuan tersebut kasih advis, supaya sekolahan itu dimintakan subsidi diakui sebagai kepunyaannya Budi Utomo. Syaratnya ialah Kiai Dahlan harus masuk lebih dahulu menjadi anggota perkumpulan itu. Advis ini diturut oleh be­liau. Malahan para santri murid-muridnya yang sudah sedikit tua sama di­ajak masuk menjadi anggota Budi Utorno cabang Yogyakarta.

Beliau sering sering bikin pidato propaganda di luar negri.

Belajar pidato

Para santri di Kauman yang sama masuk jadi anggota Budi Utomo sama ingin belajar pidato. Kebetulan sekali, sebab tempo itu perkumpulan Budi Utorno baru-baru saja didirikan. Murid-muridnya Kiai Dahlan sering­kali sama mendatangi rapat Budi Utomo di gedung Masonnik di Malioboro. Di situ mereka sama mendengarkan pidato-pidato dari para pemimpinnya di mukanya beratus-ratus orang. Mereka sama menjadi heran. Santri-santri tadi sama berkata demikian; Orang-orang itu sama pandai-pandai sungguh berbicara. Mereka berbicara lama dengan amat lancar. Nakh, alangkah baiknya, kalau santri-santri bisa berkata demikian.

Sepulangnya di rumah santri-santri itu sama berembukan, berhajat akan belajar pidato di muka orang banyak.

Adapun santri-santri itu, ialah Haji Fahrodin, H. Moechtar, H. Hadjid, sedangkan lainnya saja saya sudah lupa. Hasil perembukan cita-­cita mereka itu hendak diwujudkan juga. Maka lantas diadakan urunan un­tuk membikin mimbar.

Setelah selesai, mimbar itu disimpan di rumah Haji Soedja, tetapi mereka itu masing-masing sama merasa berat untuk berpidato, sehingga mimbar itu didiamkan saja tidak terpakai. Oleh karena itu, Haji Soedja lalu menjadi marah, dan perintah supaya mimbar itu disingkirkan saja.

Tetapi oleh kawan-kawannya Haji Soedja sudah dicegah dengan per­janjian, bahwa mereka itu hendak mewujudkan cita-citanya benar.

Segera diundang orang sebanyak kira-kira 12 supaya bisa mendengarkan pidatonya yang dipidatokan istimewa perkara yang sudah mudah belaka buat para santri-santri misalnya rukunnya Islam, rukunnya Iman dengan keterangannya sama sekali, dan lain sebagainya. Sekalipun begitu tapi masih sama menaruh keberatan, sebab mereka sama merasa malu. Kemudiannya yang dipaksa berpidato dulu ialah Haji Fahrodin.

Hendak menaiki mimbar saja sudah terasa gemetar.

Apa pula ketika mulai berpidato mukanya kelihatan amat pucat, dll.

Petikan dari karangan hal Kiai Dahlan, Kiai Dahlan berpidato di Ponorogo

Pada suatu hari Kiai Dahlan berpidato di Ponorogo menerangkan hal perjalanannya agama Islam. Selama itu beliau menganjurkan kepada saudara-saudara yang sama lupa mengerjakan perintah agama supaya sama bangun kembali mengerjakan segala perintah itu. Dengan menjauhi segala laranganNya, supaya tidak terlanjur bolehnya menyukai pada pelajaran.

Dibentangkan pula bahwa diajarkannya atau diturunkannya agama Islam itu berguna buat mengatur jagad supaya jagad ini bisa tentram se­lamat.

Setelah selesai pidatonya, ada seorang saudara yang bertanya, “Ma­nakah yang baik, agama Islam ataukah agama Nasrani?” Maka Kiai Dahlan lalu berkata, “Tuan ingin mengetahui, manakah yang baik agama Islam ataukah agama Kristen ……?

Belum sampai sekian perkatanya, mendadak Kiai Dahlan ditegur oleh asisten wedana, yang mengunjungi rapat itu sebagai wakilnya pemerintah. Maksud teguran itu berbunyi demikian: “Tuan tidak boleh mejawab pertanyaan itu!”

Tabiatnya Kiai adalah tentram serta sabar. Mukanya kelihatan manis, tapi tajam.

Bicaranya pelan, tapi lancar dan tajam. Kemudian Kiai menjawab teguran A. W. sebagai berikut: “Betul, tetapi ketahuilah tuan, bahwa saudara itu ingin mengetahui manakah yang baik agama Islam ataukah Kristen. Saya hendak kasih jawaban dan saya tanggung segala-galanya. Kalau ada kemarahannya negeri saya yang akan menanggungnya, sebab saya yang kasih jawaban. Melainkan itu saya mempermaklumkan bahwa saya berpi­dato di sini situ sudah mendapat izin dari negeri.

Walhasil mendengar jawaban demikian itu asisten wedana merasa malu, juga tidak bisa mengambil sesuatu sikap yang pasti. Sebab mengingat, bahwa ia sedang mempunyai tanggungan terhadap keselamatan dan ketentraman umum.

Khawatir kalau jawabannya Kiai Dahlan akan menimbulkan huru-hara kedua kalinya, mengingat bahwa Kiai Dahlan itu telah mendapat izin dari negeri berhubung pidatonya pula tidak ada terdengar kabar bahwa pembica­raannya Kiai Dahlan mungkin menimbulkan keributan. Setelah berpikir sementara lama, maka A. W. hakekatnya juga memberikan izin kepada Kiai boleh menjawab pertanyaan saudara di atas.

Hanya seolah-olah A. W. itu dengan menunjukkan lagak lagunya pera­saan keberatannya akan memberikan izin.

 

[‘ADIL No.2, 8 OKTOBER 1938, PAGINA 6]

Kiai Dahlan lalu menyatakan terima kasihnya, dengan menjawab yang maksudnya sebagai berikut, “Tadi tuan ingin mengetahui, manakah yang baik agama Islam ataukah agama Kristen?” Saudara yang bertanya menjawab, “Ya!”

Orang-orang yang berhadir dalam rapat itu hatinya sama menjadi murka. Ada yang mengira bahwa Kiai Dahlan akan bilang, kalau baik agama Islam. Tentunya jawaban itu lantas tambah bikin puas hatinya. Lainnya sudah sama bersedia hendak membantah, kalau Kiai Dahlan kasih jawaban demikian. Ada yang hendak mencaci maki, sebab antaranya saudara-saudara itu ada yang pernah menerima pelajaran. Ada yang hendak mengadukan kepada orang-orang yang dianggap bapaknya (orang tuanya). Pendek kata, semua hadirin sama mempunyai pendapatan yang aneka warna, sebab perta­nyaan semacam itu selamanya belum pernah dijawab di mukanya orang banyak ataupun di dalam rapat umum.

Kiai Dahlan meneruskan jawabannya.

“Tuan-tuan, saya senantiasa mengadakan pertemuan dengan tuan-tuan pendeta di Jogja, setiap bulan dua kali, sampai lamanya bertahun-tahun.

Di dalam pertemuan itu, sementara saudara sudah melahirkan penda­patannya atau pegangannya masing-masing.

Terutama saya sendiri menyiarkan agama Islam, sedang tuan-tuan pendeta menyiarkan agamanya Kristen. Ada juga yang menyiarkan pelajaran­nya tekad Hardopoesoro, teosofi, berusul soal wiridan Syekh Siti Jena­ran, agama Jawa. Ada lagi yang menganggap bahwa semua agama itu sama baiknya.

Oleh karena itu, maka kalau tuan-tuan ingin mengetahui, manakah yang baik agama Islam ataukah agama Nasrani, tuan-tuan saya harap supaya datang di Yogya, mendengarkan pembicaran tentang perkara tersebut. Di situlah tentunya tuan-tuan lantas bisa mendengarkan sendiri, kemudian dapat menetapkan baik yang manakah agama Islam dengan agama Kristen.

Pun tuan-tuan bisa juga dapat menimbang pelajaran-pelajaran dari lain-lain agama atas keterangannya para pembicara di dalam pertemuan itu.

Buat santri paling rendah lurah pondok, dapatnya mengerti terhadap pengetahuan yang disiarkan itu bukannya dari hasil mendengarkan pembica­raan lain orang, atau hanya dari membaca surat-surat, tapi mereka itu memang mendapat pelajaran dari gurunya, dan semuanya itu sudah mereka kerjakan masing-masing dengan setia, sampai hari yang penghabisan.” Sekianlah maksudnya jawaban Kiai Dahlan. Di dalam hatinya beliau ber­kata demikian, “Nakh, hendak kasih jawaban demikian saja hampir tidak boleh !”

Para hadirin di dalam ruangan rapat ketika mendengar jawabannya Kiai Dahlan semacam itu lantas sama mengusungkan kehajatannya. Yang sudah bersedia hendak mendebat, terpaksa mengurungkan niatannya. Yang sudah sama kuatir, tehadap timbulnya huru-hara, sudah menjadi tentram kembali. Segala pendengar tidak ada yang menjadi masygul, bahkan sama merasa puas.

Menurut pelajarannya Sang Widayaka, yang maksudnya bahwa. “Orang yang tinggi ilmunya itu licin cepat bicaranya, sehingga dapat membikin puas hatinya orang-orang senegara”.

 

Mengakurkan suami-istri yang bertengkar

Tuan Haji Moechtar berkata,

“Pada suatu hari kira-kira jam 2 malam saya ketamuan seorang suami di rumah saya.

Ia meceritakan bahwa baru saja ia telah bertengkar dengan istri­nya. Adapun pertengkaran itu memang sering-sering terjadi hampir setiap hari, sehingga tak ada berhenti-hentinya.

Rasanya di dalam rumah itu laksana sebagai berada di neraka bela­ka. Hati merasa seolah-olah dipukul, dipecah-belah. Tetapi pertengkaran yang paling belakangan ini, melebihi dari pada kebiasaannya. Ia tak bisa menyabarkan lebih lama lagi, tak tahan menderita lukanya hati. Oleh ka­rena itu ia tak sanggup melanjutkan perjodohannya, sebab khawatir kalau di kemudian hari akan timbul kejadian yang mengerikan. Maka ia memutuskan akan menceraikan istrinya. Tapi sebelumnya ia mengambil keputusan itu, terlebih dahulu ia akan minta petunjuk pada Kiai Ahmad Dahlan, untuk mencegah supaya kelak tak akan menyesal, saling menimpakan kesala­hannya. Berhubung ia sudah tak tahan menunggu sampai keesokan harinya, maka pada tempo itu juga ia akan berkujung ke rumah Kiai Dahlan.

Tapi ia tak berani menemui Kiai sendirian, karena waktu itu adalah bukan temponya lagi orang mertamu.

Maka ia lantas minta pertolongan kepada saya (Haji Moechtar) supa­ya bisa menjadi pengantarnya.”

Tuan Haji Moechtar meneruskan ceritanya,

“Sebetulnya saya sedikit menaruh keberatan, tapi terdorong desakan permintaannya yang sangat, maka saya terpaksa meluluskannya juga. Kita berdua lantas berkunjung ke rumah Kiai. Kiai yang kelihatannya baru bangun dari tidurnya dan terkejut sudah membukakan pintu rumah dengan berkata, “Ada apakah, pada tengah malam membikin orang bangun dari ti­durnya?”

Maka dengan segera saya lalu menerangkan keperluan perkunjungan kita dengan ringkas. Selanjutnya kita berdua diajak pergi ke dapur suatu tempat yang sepi, untuk merundingkan soal di atas. Langkah ini istimewa untuk mencegah supaya tidak menganggu Nyai Dahlan dan anak-anak yang sedang tidur di rumah dan di surau.

Di dalam dapur suami itu membentangkan kesukarannya berhubung per­jodohannya dengan terang.

Segala sepak terjangnya oleh sang istri dianggap kurang baik, sehingga menimbulkan bibit perselisihan.

Maka ia berhajat hendak menceraikan istrinya sebab ia merasa sudah tak dapat melanjutkan perjodohannya lebih lama lagi. Selama mendengarkan cerita itu, Kiai tinggal diam.

Setelah ceritanya habis, Kiai baru berkata, “Saya sudah mendengar­kan segala pembicaraanmu semua.”

Orang berjodohan itu memang banyak rintangannya.

Baikpun orang perempuan ataupun laki-laki semestinya sudah mengira lebih dahulu, bahwa akan tambah kewajibannya atau pikulannya kalau ingin berumah tangga. Pula dengan pengharapan, bahwa di dalam hidup bersama itu mereka akan saling tolong menolong.

Jadi, orang yang masih bujang apabila sudah berumah tangga, memang tanggungannya tambah lebih berat, walhasil ada yang menjadi tambah ringan. Pekerjaannya yang ringan-ringan sebagai menanak nasi, berumah tangga, dan lain sebagainya, bisa diselenggarakan oleh orang perempuan.

Sedangkan pekerjaan yang berat-berat seharusnya di lakukan oleh orang laki. Saudara, saya ingin bercerita padamu, tapi haraplah perkara itu saudara kerjakan dengan sungguh-sungguh. Kalau saudara sudah menger­jakannya, tapi istrimu tetap juga mengajak bertengkar, maka ajaklah is­trimu kemari perlu hendak saya kasih petuah sendiri.”

Orang itu menjawab, “Tuan, tentunya istriku tidak mau saya ajak datang ke rumah tuan!” Kembali Kiai Dahlan berkata, “Kalau istrimu ti­dak mau saudara ajak ke sini, sayapun sanggup sanggup datang ke rumahmu perlu kasih petuah pada istrimu.” Akhirnya orang tersebut sanggup juga. Kemudian Kyai Dahlan lalu meneruskan kasih petuah kepada orang tersebut. “Orang berjodoh itu harus berdaya upaya supaya tidak bercerai. Ka­rena bercerai itu adalah membikin goncangnya ngaras. (Ngaras itu diartikan singgasana Gusti Allah)

Pada zamannya Sayyidina Umar menjabat khalifatullah, terdapatlah sepasang suami istri yang sudah berkunjung ke rumahnya, untuk bercerai.

Penderitaan orang tersebut di dalam adalah sepadan sebagai yang pernah saudara alami. Ia merasa tak sanggup melanjutkan perjodohannya, karena sering-sering dilabrak dan didamprat oleh istrinya. Perkataan yang pedas yang dilepaskan oleh istrinya itu membikin hatinya sang suami setiap hari terpecah belah, hancur lebur. Ketika orang tersebut sampai di rumahnya Sayyidina Umar, di muka rumah sedang sepi. Maka orang itu lantas duduk di tangga lantai, menunggu ke luarnya Sayyidina Umar.

 

[‘ADIL No.4, 22 OKTOBER 1938, PAGINA 13]

Selama menunggu, orang itu mendengar suaranya orang perempuan yang sedang marah dari dalam rumah. Setelah dipahamkan dengan betul-betul ternyata, bahwa yang bersuara itu permaisuri baginda yang tengah marah terhadap beliau, seakan-akan tidak putus pembicaraannya.

Permaisuri tadi mengeluarkan perkataan yang amat keras terhadap suaminya, mencaci maki, “Tidak pantas kalau menjadi khalifah mempunyai tabiat demikian rupa, dlsnya.”

Baginda Sayyidina Umar tidak kedengaran berbicara sedikitpun. Selama itu yang berbicara hanyalah permaisurinya. Hakekatnya orang yang duduk di tangga lantai tadi hatinya yang senantiasa mendongkol terhadap istrinya lambat-laun jadi makin kurang. Lain perasaan mulai timbul di dalam hatinya. Ia ingin mengetahui, apakah sebabnya Sayyidina Umar tetap tinggal tenang dan diam, tidak menjawab sepatah perkataanpun, lagipula bukan lantas marah, ketika diserang oleh permaisurinya dengan perkataan­-perkataan sekeras mungkin. Peristiwa tersebut tidak dapat sesuai kalau dibandingkan dengan keadaannya dirinya sendiri. Kalau istrinya mengeluarkan sepatah kata saja, ia segera menjawabnya. Oleh karena itu, maka api perselisihan lekas mudah keras berkobar.

Lama kelamaan Sayyidina Umar keluar dari rumah. Beliau mengetahui orang yang sedang duduk di tangga lantai. Kemudian orang tersebut lalu dipanggil, ditanyai, apakah perlunya.

Orang itu menjawab, “Baginda, hamba menghadap baginda itu, sesung­guhnya hamba hendak mengisahkan keadaan perjodohan hamba. Hampir tiap-­tiap hari hamba terus menerus bertengkar dengan istri hamba. Maka hamba kandung niatan akan menceraikan istri hamba. Tapi selama hamba menunggu ada di sini, hamba mendengar, bahwa permaisuri baginda sedang marah­-marah terhadap baginda. Tapi alangkah tercengang hamba, sebab baginda tinggal diam bukan melayani pembicaraan permaisuri baginda. Nakh, sekarang hamba ingin mengetahui, apakah sebabnya maka baginda tinggal tenang tidak marah terhadap permaisuri baginda?”

Sayyidina Umar menjawab, “Apakah perlunya, kalau permaisuriku saya lawan di waktu ia sedang marah terhadap diriku? Bagaimanapun juga kuat­nya orang perempuan, tapi ia bukan musuh saya. Permaisuriku itu adalah hadiah pemberian dari Tuhan Allah kepadaku, supaya menjadi kawan saya hidup. Apabila saya layani marahnya, dengan mengucapkan perkataan yang tajam-tajam, bukan mungkin sakit hatinya malahan tambah besar. Akibatnya tak mau menjadi teman saya hidup, tidak mau menanak nasi lagi. Bukankah saya kemudian terpaksa menanak nasi sendiri?”

Kyai lalu meneruskan kasih petuah kepada orang tersebut sebagai berikut, “Orang yang menghadap Sayyidina Umar itu kemudian menyatakan terima kasihnya, dan segera pulanglah. Sedatangnya di rumah ia mendapat marah dari istrinya, tapi tetap tinggal sabar. Oleh karena itu, maka kemarahan istrinya makin lama makin menjadi kurangan. Sehingga kemudi­annya sepasang suami-istri itu bisa hidup rukun sebagai sedia kala.

Contohlah teladan dari Sayyidina Umar. Kalau segala-gala peristiwa itu sudah saudara kerjakan, tapi istrimu tetap tidak bisa sabar, maka ajaklah saja istrimu pergi kemari.”

Demikian orang itu juga sanggup. Segera ia meninggalkan rumahnya Kiai Dahlan. Semenjak itu tak ada kedengaran kabar, bahwa ia bercerai dengan istrinya.

Sekianlah ceritanya tuan Haji Moechtar, tentang jasa Kyai Dahlan untuk mendamaikan istrinya, sehingga perceraian bisa dijauhkan. Sekarang saya hendak melanjutkan cerita saya. Sering-sering saya mendengar, bahwa orang-orang yang sedang berperkara dengan kenalan, sanak saudaranya, misalnya soal warisan, perdagangan, atau berselisih, kalau sudah didamaikan oleh beliau, mereka sama-sama bisa merasa puas.

Inipun sudah termasuk takdir.

Orang-orang penduduk Kauman dan sekitarnya, yang mempunyai macam perkara dengan kenalan, sanak saudaranya, misalnya soal warisan perdagangan, atau berselisih, kalau sudah didamaikan oleh beliau, mereka sama-sam bias merasa puas.

Dengan jalan begitu, segala perkara itu sendirinya bisa tercegah tidak sampai naik di pengadilan negara atau ke Landraad.

Sepanjang pendapatannya orang yang berbakti kepada perintah Allah, yang termaktub di dalam kitab suci, memang tidak baik halnya orang-orang yang sama bertengkaran dengan sesama anak Adam. Perkara yang sulit-sulit dapat dibicarakan dengan tenang untuk mencegah supaya orang yang sama mendengarkan tidak bisa salah terima. Apabila pernah terjadi salah terima satu kali saja, yang disebabkan salahnya perkataan, berlakunya musyawarah mestinya lantas harus ditambah tenangkan supaya kesulitan lebih jauh bisa disingkirkan. Kalau lantas terjadi saling tuduh, atau sindir-menyindir yang seolah-olah menyalahkan pada orang lain, bukan menyalahkan kepada dirinya sendiri, berlakunya musyawarah tentunya malahan menjadi tambah sukar.

Kiai Dahlan dimintai pertimbangan oleh Bagoes Ngarpah (Iskak Sastrohadi­renggo)

Tuan Haji Moechtar bercerita: “Pada suatu hari saya menghantarkan Kiai Dahlan berangkat ke Sura­karta berkunjung ke rumah Bagoes Ngarpah, untuk memenuhi undangan.

Memangnya Kiai itu termasuk menjadi anak keponakannya. Sesampainya di rumah Bagoes Ngarpah berkata, “Anakanda, ketahuilah bahwa hasil saya menafsirkan Qur’an itu sekarang mendatangkan perselisihan. Banyak ulama yang mengatakan, bahwa pekerjaan saya itu ada terlarang. Oleh karena itu, maka perkara itu hendak dibicarakan di rapat umum. Dan para ulama hendak dibela oleh Raden Mas Soeleman. Ialah yang hendak berbicara di rapat sebagai wakilnya para ulama. Perkara itu telah menimbulkan berba­gai macam pertanyaan, disiarkan di surat kabar (kalau saya tidak salah, surat kabarnya ialah bernama “Kondo”). Adapun semua pertanyaan itu sudah saya beri jawaban semua, tak ada yang ketinggalan. Inilah daf­tarnya. Lihatlah! Dan bagaimana pendapatanmu?”

Kemudian Kiai lalu melihat daftar tersebut yang berisi jawaban dengan pertanyaannya sama sekali, dikaji dipikir sebentar. Kemudian beliau berkata, “O, kalau demikian jalannya, ayahanda akan kalah.”

Bagoes Ngarpah menjadi sedikit terkejut, lantas bertanya dengan suara sedikit keras, “Bagaimanakah, apa yang keliru? Segala jawaban itu sudah saya ambilkan dari kitab-kitab, sudah boleh dipastikan, bahwa lawanku tentu akan kalah.”

Kiai Dahlan menjawab, “Tidak, ayah mesti akan kalah. Apakah guna­nya ayah hendak melayani orang yang bertanya yang bermaksud hendak mempersukar saja. Sudah semestinya, bahwa ayah akan kehabisan jawaban. Bukankah melayani orang yang semacam itu, berarti menuruti saja orang minta. Sekalipun ayah mempunyai harta sedunia, tentu akan kehabisan. Suatu jalan, untuk mencegah supaya ayah tidak kehabisan jawaban, jalannya harus demikian. Kalau lawan ayah melepaskan satu pertanyaan, sesudahnya ayah kasih jawaban yang cepat-cerdik, berganti ayah harus lantas bertanya satu soal, supaya lawan ayah dapat turut menyatakan seberapa dalam ilmunya.

Itu namanya sama-sama.

Sesudahnya ia kasih jawaban yang memuaskan, ia baru boleh bertanya lagi. Dan yang menjadi hak ayah menjawab pertanyaan yang ke dua. Sampai demikian seterusnya”.

Mendengar keterangan dari Kiai Dahlan tersebut, Bagoes Ngarpah me­rasa tertarik hatinya. Beliau berjanji, hendak memenuhi pra-advisnya Kiai.

Setelah temponya berapat sudah dekat Bagoes Ngarpah berjalan me­nuju keruangan rapat, dengan diantarkan oleh Kiai berikut saya (tuan Haji Moechtar).

Di situ terdapat banyak hadirin amat padat. Pula para ulama yang hendak berdebat dengan Bagoes Ngarpah. Demikian R.M. Soeleman juga sudah menyiapkan diri. Di mukanya kelihatan cahaya berseri kemerahan, menunjukkan, bahwa Bagoes Ngarpah akan mesti tunduk padanya.

Kalau Bagoes Ngarpah dihujani pertanyaan yang setiap pertanyaan itu memangnya adalah sulit-sulit. Lagipula jawaban terhadap setiap pertanyaan itu adalah amat berbahaya. maka sendirinya Bagoes Ngarpah lantas mudah terjebak, lantas tunduk. Walhasil di dalam rapat terdapatlah orang yang berbisik, “Nakh, Bagoes Ngarpah membawa jago”. (Yang dikatakan jago itu terutama Kiai Dahlan, sebab pada waktu itu juga memang namanya Kiai Dahlan memang sudah sementara terkenal).

Setelah sudah sampai masanya dari permulaannya rapat, R. M. Soeleman lalu tampil di meja (ketika itu belum ada caranya memakai mimbar) supaya bisa kelihatan oleh orang-orang para pendengar sekalian. Suaranya fasih, keras, dan terang. Setelah menguraikan tentang perlunya mengadakan permusyawaratan itu, lantas pembicaraannya membelok ke lain soal yang maksudnya, “Apakah sebabnya Bagoes Ngarpah berani menterjemahkan Qur’an.”

Padahal di dalam Qur’an surat …… ayat …… sudah disebutkan, bahwa Qur’an tidak boleh diterjemahkan. Orang Islam yang berani melanggar perintahnya Qur’an dengan disengaja itu namanya orang mungkar. Dan lagi tindak demikian itu dapat menjerumuskan berbagai-bagai orang Islam.

Keterangannya, “Orang Islam, kalau dituduh atau didakwa sedemikian rupa, padahal memang benar ternyata begitu, kebiasaannya lantas menjadi tidak bergaya, tidak bisa berbuat lain. Akhirnya tobat pada Tuhan, dan berniat akan menjauhkan segala tindak yang keliru tadi.

Ketika itu Bagoes Ngarpah memberikan jawabannya yang maksudnya demikian, “Saya bukan menterjemah Qur’an. Tapi saya hanya maknani atau mentafsirkan Qur’an. Memang sudah benar diperintahkannya bahwa tidak ada orang yang dapat menterjemah Qur’an.

 

[‘ADIL No.5, 29 OKTOBER 1938, PAGINA 6]

Banyak orang telah mengetahui terhadap bentuk pekerjaan saya ten­tang soal Qur’an. Semestinya R. M. Soeleman lebih dahulu sudah memeriksa isinya. Maka saya ingin mengetahui memakai sandaran apakah atau bagai­manakah jalannya urusan sehingga R. M. Soeleman dapat mengatakan, bahwa pekerjaan saya itu terjemah Qur’an? Memakai sandaran yang manakah bahwa saya menterjemahkan Qur’an!”

Ketika itu R. M. Soeleman diam saja tidak mau kasih jawaban, dan segera turun dari meja. Sampai sedemikian permusyawaratan menjadi kandas. Sekianlah ceritanya H. Moechtar.

Menyambung ceritaku, saya sendiri juga pernah mendapat keterangan sedikit-sedikit dari Kiai Dahlan berhubung pekerjaan Bagoes Ngarpah men­terjemahkan Our’an di dalam bahasa Jawa tadi. Pada kala perkara menter­jemah Our’an itu menjadi pembicaraan ramai, adalah seorang ulama telah menemui saya dan berkata, “Apakah sebabnya tuan tak memberi peringatan kepada Bagoes Ngarpah yang telah berani mentafsirkan Qur’an didalam ba­hasa Jawa? Sepanjang pengetahuanku, terutama tuan sendiri dari para ulama yang sering-sering dianut rembugnya”.

Saya (Kiai Dahlan) menjawab, “Paman itu pasalnya yang paling baik sendiri selama hidupnya hanyalah di dalam mentafsirkan Al Qur’an.”

Keterangan dari salah suatu orang, “Saya mendengar cerita semacam itu bersikap diam saja, bukan lalu melahirkan pertanyaan sesuatu apa. Saya sudah lantas menyerah dengan tidak menanyakan perjalanan hidupnya Bagoes Ngarpah lebih jauh.

Saya juga mengetahui, bahwa Bagoes Ngarpah itu memang termasuk di dalam kalangan ulama, pandai tentang pengetahuan agama, bahasa Jawa, dan ilmu falak. Bagoes Ngarpah pernah menjabat guru di perguruan Zending. Jadi beliau juga mengerti tentang pelajaran agama Nasrani. Dulu namanya Iskak Sastrohadirengga.

Pula beliau pernah memasukkan karangan soal jatuhnya gerhana pada hari, jam dan menitnya sekalipun. Dibentangkan tentang iring-iringan bu­lan sekian Darajah, sekian darikah, disetentang segala sesuatu yang me ­nyangkut paut dengan gerhana bulan.

Alkisah, Bagoes Ngarpah (sampai pada waktu itu) lamanya sudah 19 tahun rnempelajari ilmu falak. Soal pelintangan seringkali berselisih dengan R. Dahlan di kampung Darat Semarang. Soal agama seringkali ber­selisih di dalam surat kabar. Mengunjukkan, bahwa sesungguhnya luas dan tinggi atau dalam pengetahuannya, dan licin bicaranya. Meskipun demikian kalau Bagoes Ngarpah rnempunyai sesuatu pendapatan, sering-sering dimin­takan pertimbangan lebih dahulu kepada Kiai Dahlan, dan juga beliau se­nantiasa menurut terhadap pembicaraannya Kiai Dahlan. Caranya memintakan pertimbangan itu dengan memakai bersoal jawab. Kalau ganti ditanya, maka beliau seringkali berada di dalam kesukaran. Oleh karena itu, beliau ma­kin kerap mengadakan permusyawaratan dengan Kiai Dahlan.

Adapun soal perjalanan hidupnya Bagoes Ngarpah, para priyayi di Soerakarta tenunya lebih terang faham, lagipula banyak peristiwa yang diketahui.

Di sini saya bukan akan mempanjang cerita perjalanan hidupnya Bagoes Ngarpah, sebab memangnya bukan menjadi tujuannya karangan saya.

Perkara itu hanyalah saya tulis dengan sambil lalu.

 

Kiai Dahlan membikin pidato di daerah Jombang (atau di Mojokerto)

Pada suatu hari saya mertamu di rumah Kiai Dahlan dan di kasih keterangan demikian, “Baru-baru ini saya datang di Jombang. Sebab saya mendengar, bahwa di sana para ulama sama berselisih, tidak mau bersatu. Kehendak saya, orang-orang itu supaya bisa bersatu, bukan satu sama lainnya berselisih.

Perbedaan pendapatan seharusnya dirundingkan bersam-sama, manakah sebetulnya yang keliru dan yang benar. Kalau telah kedapatan yang benar itulah yang seharusnya yang dipakai dan dikerjakan. Jadi dua-dua pihak bersama-sama melalui jalan kebenaran.

Mana yang keliru-kekeiruan itu harus disingkirkan dan diganti yang benar.

Ketika itu, para ulama yang satu sama lainnya tidak dapat bersatu, terdapatlah sembilan orang yang dapat berkumpul. Di dalam rapat saya berpidato membentangkan kesayangan dan penyesalan saya, bahwa ulama Islam di situ bukan dapat berkumpul. Demikian saya juga membentangkan tentang kenangan saya, supaya mereka dapat bersatu, menetapi memenuhi perintahnya Tuhan, yang menghendaki persatuan, dengan memegang talinya Allah. Sehabis pembicaraanku, kemudian tampillah ke muka seorang ulama menjawab pidatoku, menerangkan sebab apa ia tak dapat cocok dengan kawan-kawannya di situ dengan alasan kitab yang dipegangnya. Selanjutnya ada ulama lain yang menerangkan sebabnya ia tak dapat bersatu dengan kawan-kawannya juga dengan alasan kitab.

Kemudian berdiri ulama yang ketiga yang menunjukkan alimnya. Dalam keterangannya ia menyebut-nyebut bermacam-macam kitab, dipetik artinya sedikit-sedikit. Keterangannya demikian,

“Apabila kawan-kawan ulama sama memakai sebagai apa yang saya terangkan itu, saya dapat dan mau bersatu. Sebab apa yang saya kemukakan itu semuanya memang perlu-perlu, tidak boleh dibantah, tidak boleh di­hiraukan.”

Kyai Dahlan meneruskan ceritanya kepada saya, “Selama ulama tersebut berbicara banyak-banyak, saya dengan sungguh-sungguh mendengarkan pembicaraannya.

 

Ternyata, bahwa pengetahuannya memang banyak, serta dalam dan tinggi. Setelah selesai pembicaraannya, saya lantas berkata, “Kiai, menilik pidato tuan tadi, ternyata, bahwa tuan itu memang alim betul. Oleh karena itulah, maka menimbulkan penyesalan saya. Adapun yang menjadikan hati saya menyesal itu demikian, “Seumpama saya alimnya sebagai tuan saya pandang dengan amat ringan, kalau hendak mempersatukan orang 9 saja.”

 

Pembicaraan lebih jauh tak akan saya bentangkan di dini, sebab ceritanya Kiai Dahlan memang hanya habis sampai sekian.

Pun pada waktu itu kepergiannya ke Jombang belum lama kejadian baru sekali itu, maka beliau belum dapat mengetahui bagaimana kejadian­nya. Apakah para ulama tersebut dapat bersatu ataukah tidak.

Pertemuan saya ke rumah Kiai Dahlan itu bertemu dengan seorang dokter anak keponakan saya. Dokter tadi menjadi sangat heran, terhadap kepandaian – kecerdikan, pula cita-cita Kiai yang tinggi.

Setelah saya bersama-sama pulang, di jalan yang diucapkan oleh dokter itu, teristimewa memakainya perkataan Hengklek, yang sering­-sering diucapkan berkali-kali. Sehingga sampai datang di rumah ia masih senantiasa bersenyum simpul.

 

Kiai Dahlan menjawab pertanyaan soal Gusti Allah

Tiap-tiap minggu satu kali Kiai Dahlan memberi pelajaran agama di perguruan Kweekschool kepada murid-muridnya.

Mestinya pada tiap-tiap Kiai kasih pelajaran kepada murid-muridnya itu termasuk hari penjagaan saya. Tapi saya bukan tentu menunggu pela­jarannya Kiai Dahlan. Kebetulan, pada waktu saya turut mendengarkannya, seorang anak bertanya, “Kiai, dapatkah orang yang telah meninggal itu mengetahui Gusti Allah?”

Kiai menjawab, “Dapat, tapi tidak terang.”

“Bagaimanakah kehendak Kiai dengan tidak bisa terang itu?” Demikian, “Meskipun mengetahui, tapi tak dapat mengatakan, bagaimana keadaannya. Serta tak dapat mengatakan apakah dekat, jauh, kelihatan besar ataukah kecil. Seterusnya sampai demikian, tidak dapat mengatakan lebih terang.”

Mendapat jawaban semacam itu anak-anak sama merasa puas.

Kebetulan saya telah menunggu Kiai Dahlan ketika beliau kasih pe­lajarannya di sekolah Kweekschool tersebut, seorang anak telah bertanya, “Kiai, orang-orang Jawa di zaman bahari sama menyembah kepada sesembahan yang disebut nama Batari Guru atau Sang Hyang Siwah atau nama lainnya. Adakah itu juga sesembahan yang buat orang Islam disebut nama Allah?

Betara Guru itu juga disebut yang nama maha wasesa, maha mulya, dan lain sebagainya”.

Kiai Dahlan menjawab, “Kalau tuan ingin mengetahui, apakah Betara Guru itu yang disebut nama Allah, tuan harus mencocokkan sifat-sifatnya. Pula apakah memang sudah cocok dengan di sebut di dalam surat Ikhlas, atau belum.

Apabila memang sudah cocok, juga memang tunggal (menjadi sama). Sedangkan kalau tidak cocok, memang lain!”

Anak-anak oleh karena itu sama merasa puas.

 

[‘ADIL No.6, 5 NOVEMBER 1938, PAGINA 9] (Pentutup)

Kiai Dahlan terjebak di lobang bikinannya sendiri

Pada suatu hari saya berduduk dengan Kiai Dahlan, membicarakan tentang cita-citanya manusia. Saya bertanya kepada Kiai, “Kiai, bagaimana kejadiannya, kalau manusia itu sudah meninggal?”

Syahdan, Kiai bukan lekas-lekas memberi jawaban. Setelah berdiam diri sebentar, kemudian beliau baru menjawab, “Ya, busuk!” Betul jawaban dari Kyai semacam itu memang benar, tapi jawaban itu semata-mata saya anggap sebagai jawaban yang sembrono.

Saya berpikir, Nakh, sembrono, Kiai itu!

Saya lalu berkata, “Sesungguhnya saya bukan itu yang saya mintakan periksa. Yang saya mintakan periksa itu adalah bagaimanakah kejadiannya jiwa atau sukmanya itu, apakah akan bertempat di hadirat Allah, ataukah bagaimana?”

Kiai kasih jawaban, “Soal itu saya tidak mengerti!” Saya berpikir, Nakh saya akan merasa puas, apabila Kiai sebermula memberi jawaban demikian.”

 

Mendadak tidak antara lama saya bersama Kiai Dahlan mengantar la­yon. Sesampainya di kubur, kita sekalian sama menantikan sampai selesai penguburan.

Akhirnya Kiai bertanya kepada saya, “Kalau sudah berapa harikah orang yang mati itu menjadi busuk?” Kebetulan, bahwa soal itu telah saya bicarakan dengan team dokter kenalan saya. Saya lantas menjawab, “Soal itu adalah belum tentu, Kiai perkara busuknya badan itu dapat ke­jadian bermacam-macam cara boleh jadi orangnya belum mati, tapi badannya sudah busuk. Demikian juga tergantung pada tempatnya apakah berada di negeri panas, apakah di negeri atau tempat yang terlalu dingin. Jikalau ada di tempat yang panas, seringkali lekas busuk kalau ada di tempat yang amat dingin sampai lama tidak menjadi busuk.”

Adapun Kiai Dahlan kelihatannya belum merasa puas terhadap jawaban saya serupa itu beliau lalu menjelaskan pertanyaannya, “Yang saya maksudkan itu ialah orang yang mati karena sakit perut atau lain sebagainya, terutama di negeri ini.”

“Nakh, kalau begitu, saya tidak dapat mengetahui dengan terang. Semestinya para dokter yang dapat mengerti dengan terang, serta dapat memberi keterangan yang lebih jelas.”

Lurah pondok, wakilnya Kiai Dahlan menjawab pertanyaan dari muridnya.

Kebetulan lurah pondok menceritakan soal pekerjaan atau kewaji­bannya sesuatu malaikat. Ketika cerita itu sampai pada pekerjaan malai­kat Ngijrail yang menjadi tukang pencabut nyawa, salah seorang murid sudah bertanya. Kentara pertanyaannya itu mengunjukkan sedikit sulit, sebagai berikut, “Kalau ada orang sementara sudah sama ditakdirkan mati sesuatu saat, padahal letaknya satu dan lainnya ada jauh, bagaimanakah dapatnya dijalankan?”

Berhubung pertanyaan tersebut, mengunjukkan bahwa anak itu adalah menjadi ahli pikir.

Anak itu teringatakan caranya orang menyulat dan membikin padam lampu sepanjang jalan, dengan memakai tangga, naik turun. Apalagi tangga itu harus sering kali dipindah tempat menurut tempatnya lampu. Sedangkan lampunya masih lampu petroleum. Lampu listrik belum begitu tersiar. Pe­kerjaan itu memang kelihatan sukar pula memakan tempo lama.

Guru lantas bertanya, “Apakah engkau sudah mengetahui lampu lis­trik”

Murid menjawab. “Sudah”

“Lampu listrik di sepanjang jalan itu berbaris ke arah utara jum­lahnya entah sepuluh atau dua puluh, kalau akan dibikin padam, semua, adalah amat mudah sekali, tidak usah seperti orang membikin padam lampu petroleum dengan naik turun dari tangga, suatu pekerjaan yang amat susah. Kalau lampu petroleum dengan naik turun dari tangga, suatu peker jaan yang amat susah. Kalau lampu listrik mempunyai piranti sendiri. Lampu sepuluh atau dua puluh baikpun letaknya berjauhan, dapat dibikin padam pada berbareng saat.

Dan lagi orang yang mengerjakan itu tak usah berpindah-pindah tempat, cukup dengan memijat knop saja. Demikian itu baru kepunyaannya malaikat amat lebih atas. Jadi kalau orang yang satu ada di Amerika, satunya ada di Asia, bikin berbareng matinya, malaikat Ngijrail tak usah menjumpai satu-satunya.

Dengan perkataan lainnya, cukup hanya sebagai memijat knop saja.

Cerita itu tak akan diperpanjangkan, sebab sebagai perumpamaan demikian itu sudah cukup.

Murid yang mempunyai pertanyaan dan lainnya yang mendengarkan sama merasa puas.

Exit mobile version