Kedahsyatan Doa
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Tulisan ini berisi kisah nyata. Pengalamnya sebagian besar masih hidup. Kisah nyata berikut sengaja disajikan dengan maksud menguatkan keimanan bahwa zikir dan doa sangat besar peranannya bagi manusia beriman. Bagi orang yang belum beriman, kisah ini diharapkan menjadi pembuka hati sehingga tidak hanya mengandalkan akalnya. Mereka sadar bahwa sehebat apa pun akal, akal mempunyai keterbatasan. Sehebat apa pun profesor, dia mempunyai keterbatasan juga. Bahkan, banyak profesor hebat lahir justru karena ketekunannya berzikir, berdoa, dan belajar. B.J. Habibi adalah contoh profesor hebat dari Indonesia.
Cantik Lulus Sarjana
Cantik (bukan nama sebenarnya) adalah mahasiswa yang dinyatakan oleh dokter Puskesmas mengalami depresi dan harus dikonsultasikan ke dokter ahli jiwa. Orang tuanya tidak mau karena merasa malu jika tetangga dan teman-teman sejawatnya tahu.
Keadaan anaknya makin buruk. Dia mengurung diri di kamarnya dan tidak mau mengikuti ujian. Orang tuanya sangat cemas. Lalu, datanglah ayah Cantik ke kampus. Pada awalnya dia bertemu dengan teman saya. Kemudian, teman saya mempersilakannya bertemu dengan saya. Percakapan pun terjadi antara saya dengan dia.
“Pak, apakah ada ujian khusus?” Dia memulai percakapan.
“Em … maksud Bapak?”
“Ya, ujian susulan. Begitu.”
“Setahu saya, tidak ada, Pak” jawab saya normatif
Dia menghela nafas dan tampak cemas. Matanya berkaca-kaca. “Lalu, bagaimana, ya, anak saya?” suaranya parau di tenggorok.
“Ada apa dengan anak Bapak?”
“Dia Mogok. Nggak mau ujian. Tolong, Pak. Bagaimana caranya agar anak saya mau ujian?”
“Apakah hari ini ada jadwal ujian?” tanya saya.
“Katanya 12.30.”
“Em … di mana rumah Bapak?” tanya saya setelah sejenak berpikir.
Dia menyebut alamatnya.
“Baik, Pak. Insya-Allah saya ke rumah Bapak” saya memberinya harapan. Dia tampak lega dan penuh harap.
“Terima kasih, Pak Terima kasih” sahutnya.
Saya pinjam sepeda motor Pak Ham. Saya dan ayah Cantik menuju ke alamat yang disebutkan. Sesampainya di halaman rumahnya, saya merasa ada sesuatu yang aneh. Semua pintu rumah, jendela, dan gordin jendela tertutup. Makin merasa aneh lagi, ketika ayah Cantik membuka pintu samping. Rupanya pintu itu dikunci. Dia menuju pintu depan dan membukanya.
Setelah itu, dia memanggil anaknya, “Cantik! Ini Pak ada Fakhrudin.”
Saya masih berdiri di depan pintu. Menunggu bagaimana respon Cantik.
Sesaat kemudian, Cantik keluar dari ruang tempatnya mengurung diri. Dia sambil menangis lepas menuju ke tempat saya berdiri. Langsung kepalanya direbahkan di pundak saya dan saya tetap membiarkannya. “Silakan menangis. Boleh. Boleh, kok. Mungkin Anda belum pernah menangis seperti ini” saya memberinya kesempatan melepas tangisnya.
“Ya, Allah. Ampuni saya yang membiarkan perempuan dewasa tanpa jilbab, bukan mahram merebahkan kepalamya di pundak saya” dalam hati saya berdoa.
Beberapa saat kemudian, Cantik saya ajak menuju kursi panjang. Dia mau. Kami duduk satu kursi. Cantik tetap merebahkan kepalanya di pundak saya. Saya tidak menghentikan tangisnya. Barulah saya mulai berbicara ketika tangisnya mereda.
“Ada apa, Mbak Cantik?” tanya saya.
“Saya takut, Pak.”
“Takut? Ada apa?”
Cantik tidak menjawab. Pandangannya tertuju kepada kedua orang tuanya dan neneknya yang juga ada di ruang keluarga. Tampak ada rasa takut menjawabnya. Ayahnya yang menjawab, “Katanya, ketika akan tidur selalu didatangi seorang kakek yang menyeramkan dan dia akan mencekik lehernya.”
Saya menatap Mbak Cantik dan menimpali, “Em … ketika akan tidur, Mbak Cantik berdoa nggak?” Dia mengangguk. Saya memperlakukannya seperti anak TK. “Coba, apa doanya?”
Cantik pun melafalkannya dengan benar. Saya memujinya dan meyakinkah bahwa doa sangat dahsyat peranannya. “Baik, nanti saya tambah ayat Alquran yang perlu kamu baca sebelum doa tadi agar tidak diganggu lagi,“ lanjut saya.
Percakapan pun beralih fokus, yakni ujian.
“Hari ini ada jadwal ujian, kan?”
“Tetapi ….”
Saya memotong, “Saya melihat nilai untuk mata kuliah yang sudah lulus cukup bagus. Bahkan, dosen-dosen senior mangatakan bahwa kamu masuk kelompok mahasiswa cukup baik. Ayo, semangat. Kalau sekarang tidak ikut ujian, kelulusan kamu tertunda.” Saya terus membujuk dan membangkitkan rasa percaya dirinya.
Dalam waktu sekitar 20 menit setelah saya motivasi, dia bangkit dari tempat duduknya. Saya pun bangkit. “Nah, ayo bismillah! Insya-Allah nanti saya sering ke ruang ujianmu.”
Kami sampai di kampus terlambat lima menit. Cantik saya antar ke ruang ujian. Saya sampaikan kondisi objek Cantik kepada pengawas. Alhamdulillah! Pengawas mengizinkannya.
Hampir tiap 15 menit sekali saya tengok. Cantik baik-baik saja sampai selesai ujian pada hari pertama.
Pulang dari kampus, saya di rumah berdiskusi dengan istri untuk mencari solusi. Kami sepakat sebelum ujian hari kedua dapat bertemu dengan Cantik dan keluarganya.
Sehari sebelum ujian hari kedua, kami berdua ke rumah Cantik diantar Mas Bin. Tidak hanya Cantik yang menemui kami. Ada ayah, ibu, nenek dan kakak Cantik.
Saya dan istri secara bergantian, tetapi alami, bertanya kepada Cantik: mulai dari kesehatan sampai pada rasa takutnya. Rasa takutnya mulai berkurang. Rasa percaya dirinya tampak mulai bangkit. Lebih-lebih lagi, setelah saya bimbing agar sebelum berdoa menjelang tidur, membaca beberapa surat dan ayat Alquran yang oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dituntunkan agar dibaca. Ternyata dia sudah menghafalnya.
Saya jelaskan juga hubungan zikir dan doa dengan ketenangan jiwa dan hubugan ketenangan jiwa dengan kesuksesan menyelesaikan masalah sebesar apa pun. “Zikir dan doa itu menenteramkan hati. Hati yang tentram merupakan modal yang sangat penting untuk menyelesaikan masalah, termasuk ujian.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam surat ar-Ra’d (13): 28.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah! Hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Oleh karena itu, berzikir dan berdoalah. Insya-Allah kamu diberi kemudahan oleh Allah. “
Saya meminta agar seluruh keluarga Cantik secara serius mohon kepada Allah untuk ketenangan dan kesuksesan Cantik. Semua menyatakan siap.
Dalam pertemuan itu kami memperoleh penjelasan kronologis peristiwa yang dialami Cantik dan keluarganya. Ternyata Cantik menjadi korban kabar yang disampaikan oleh teman-temannya. Dia dikabarkan telah lulus ujian negara. Kabar ini diteruskannya kepada keluarganya, terutama kedua orang tuanya. Karena rasa syukurnya, orang tuanya menceritakannya kepada tetangga dan teman sejawat di kantor. Tentu tetangga dan teman-temannya mengucapkan selamat dan sukses.
Ternyata Cantik belum lulus. Inilah yang membuatnya terpukul. Dia berusaha menyimpan rapat-rapat kenyataan itu. Namun, akhirnya dia berkata jujur pada keluarganya.
Bagai disambar petir di siang bolong. Keluarganya sangat kecewa dan marah. Cantik dijadikan bulan-bulanan. Teror terhadap dirinya terus dialaminya.
Dari sisi lain, kami memperoleh informasi cukup komprehensif. Sepulang dari rumah Cantik, kami berdiskusi untuk memastikan solusi yang tepat.
Dua jam sebelum ujian hari kedua, saya datang lagi ke rumah Cantik. Kali ini saya minta ditemani Pak Hari. Dalam perjalanan dia berkomentar, “Telaten-telanne.”
Kami berdua ditemui oleh Cantik dan ibunya. Saya menanyakan kesehatan Cantik, rasa takutnya, dan kesiapan menempuh ujian. Melegakan. Dia tenang dan tampak siap mengikuti ujian.
Tiba saat yudisium ujian. Alhamdulillah! Dia lulus. Jadilah dia sarjana.
Kembalinya Tas yang Hilang
Ketika kuliah S2 di universitas berkelas internasional di Yogyakarta, saya mengunjungi teman yang menjadi dosen di salah satu fakultas di universitas tersebut. Seketika azan duhur berkumandang, saya segera mohon pamit. Namun, teman saya mencegah.
“Nanti salat jamaah dengan saya. Tenang saja. Nanti saya yang jadi imam. Saya sudah sering.”
Saya tidak menolak. Kami melanjutkan ngobrol tanpa fokus dan baru berhenti setelah kira-kira 30 menit.
“Ok! Yuk kita salat,” ajaknya.
“Yuk. Sudah hampir 30 menit kita menunda.”
Dia tidak merespon. Kami bergegas ke masjid di fakultasnya. Beberapa orang yang berpapasan memberi hormat kepadanya. Sesampai di mesjid, orang-orang yang duduk pun memberinya hormat. Di antara mereka, saya duga teman dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswanya
Rupanya dia sangat dikenal. Sebelum menjadi dosen, dia kuliah di Semarang. Ketika kuliah, di Semarang pun dia mempunyai banyak teman tidak hanya di fakultasnya, tetapi juga dari fakultas lain. Saya termasuk teman yang berbeda fakultas.
Sesuai dengan janjinya, dia siap menjadi imam salat. Saya pun iqamah. Beberapa orang bersama saya menjadi makmum.
Setelah salat duhur dan zikir, kami salat sunah. Selesai salat sunah, tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman. Saya menoleh ke belakang, tempat saya meletakkan tas. Perasaan itu terbukti! Tas saya raib.
“Mas! Tas saya hilang!” saya memberi tahu teman saya.
“Astagfirullah!” respon teman saya. Dengan cekatan dia menghubungi satpam. Satpam pun bergerak. Namun, tak ada hasil. Mereka hanya memberi tahu bahwa mereka berpapasan dengan dua orang laki-laki yang membawa tas seperti yang diceritakan teman saya. Namun, mereka tidak mencurigainya sama sekali.
Kami mendatangi kantor polisi untuk menyampaikan laporan kehilangan. Salah satu isi tas adalah buku milik dosen yang dipinjamkannya kepada kami untuk kami fotokopi. Waktu itu saya menjadi “kepala suku” mahasiswa S2 angkatan 1998 pada minat utama yang sama sehingga diberi amanah untuk bertanggung jawab. Setelah memperoleh surat keterangan kehilangan, saya menghadap dosen pemilik buku itu untuk menyampaikan informasi tentang musibah yang saya alami. Beliau sangat marah. Saya mohon maaf. Saya berjanji untuk menggantinya. Beliau mengatakan bahwa buku itu tidak dijual di toko.
Dengan beban yang sangat berat, saya pulang. Sampai di rumah, istri saya menanyakan tas saya. Sesaat kemudian, anak pun demikian.
“Ada yang naksir. Rupanya hanya berani naksir tas. Tidak berani naksir yang punya.” Saya ber
usaha menjawabnya dengan canda meskipun hati saya sangat galau.
Saya sudah mengaji bahwa di antara waktu makbul untuk berdoa adalah sepertiga malam terakhir sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang artinya,
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah tabaaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam ketika sepertiga malam yang terakhir seraya berfirman, “Barangsiapa berdoa kepada-Ku, maka akan Aku beri serta barangsiapa meminta ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan lafal dari al-Bukhari)
Pukul 02.30. Saya bangun, berwudu, dan tahajud. Tangis saya tak terbendung. “Ya, Allah. Jika orang yang mengambil tas saya memerlukan uang, ada dua barang yang dapat dijual, yakni jam tangan dan kaca mata. Saya ikhlas, ya, Allah, dua barang itu tidak kembali. Namun, bukalah hatinya agar mau mengembalikan buku milik dosen saya dan dokumen-dokumen yang lain.” Demikian doa yang terus saya ulang sambil berkali-kali mengusap air mata.
Dokumen penting yang ada di dalam tas adalah KTP, Kartu Mahasiswa, dan Kartu Anggota Perpustakaan. Di samping itu, tentu buku kuliah.
Selama empat hari saya selalu memikirkan buku milik dosen saya yang hilang. Teman-teman saya pun tahu. Mereka prihatin.
Pada hari kelima, saya pulang kuliah disambut oleh istri. “Pak, tase ketemu.”
“Durung” saya asal menjawab tanpa memperhatikan intonasi kalimat istri saya. Saya pikir dia bertanya.
“Ora! Iki ana layang saka Takmir Masjid asy-Syifa. Bapak diaturi ketemu. Iki diwaos!”
“Alhamdulillahi rabbil’aalamiin”
Esok harinya saya datang ke Masjid asy-Syifa sesuai dengan waktu yang disebutkan di dalam surat. Saya bertemu dengan anak muda di dalam masjid itu. Saya memperkenalkan diri. Dia pun memperkenalkan diri. Sebut saja namanya Mukhlas dan saya sapa Mas Mukhlas. Dia mahasiswa Fakultas Kedokteran semester 7 yang berasal dari Tunggarana, Purworejo. Di masjid itu dia merupakan salah seorang pengurus takmir.
Saya “GR”. Karena saya mengajar di Universitas Muhammadiyah Purworejo dan dia berasal dari Purworejo tentu dia melakukan yang terbaik untuk saya.
“Pak, tas ini sudah dua hari di teras masjid. Lalu, kami simpan. Mohon maaf. Saya membuka tas Bapak atas kesepakatan Takmir. Saya temukan identitas Bapak sehingga saya dapat berkirim surat ke alamat Bapak. Silakan Bapak buka. Isi tas sama dengan pada saat kami temukan.”
“Baik, Mas.”
Denyut jantung saya terasa berdetak lebih keras dan lebih cepat daripada biasanya. Dengan “basmalah” meskipun dengan perasaan tidak keruan, saya buka tas itu. Saya cermati satu per satu.
“Subhanallah! Alhamdulillah! Allahu akbar!” Hanya dua barang yang tidak kembali, sebagaimana yang saya ucapkan ketika berdoa, yakni jam tangan dan kaca mata. Air mata saya berderai. Berkali-kali saya memuji Allah. Berkali-kali saya berterima kasih kepada Takmir Masjid asy-Syifa. Saya ceritakan semua yang saya alami kepada Mas Mukhlas.
Sebagai wujud terima kasih lainnya, saya bermaksud memberikan sejumlah uang yang sudah saya siapkan di dalam amplop. Namun, dia tidak berkenan menerimanya. Saya desak. Tetap saja, dia menolak. Kemudian, dia memberikan alternatif.
“Jika Bapak niatkan untuk berinfaq, bismillah saya terima. Kami sedang merehab masjid.”
“Baik, Mas. Bismillah! Saya niatkan untuk berinfaq.”
“Baik, Pak. Sebentar, ya.” Dia mengambil buku keuangan rehab masjid. Lalu, dia mencatat infaq yang saya serahkan.
“Masya-Allah!”
*Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Tinggal di Magelang Kota