Oleh: Qosdus Sabil
Kabar duka kembali hadir. Muhammadiyah kehilangan dua tokoh penting. Pada hari Ahad 25 September 2022, Ketua PDM Kota Tangerang Selatan, Bapak Dr. Burhanuddin Yusuf wafat usai prosesi penandatangan MoU dengan BPN Provinsi Banten.
Hari Rabu 28 September 2022, usai sholat ashar, keluarga besar Muhammadiyah dikejutkan dengan wafatnya Prof. Syaiful Bakhri. Almarhum merupakan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta periode 2015-2021.
Tampak hadir melayat ke rumah duka para tokoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah seperti Pak Din Syamsuddin dan Pak Busyro Muqoddas. Juga nampak Rektor UMJ, Ma’mun Murod.
Ada pula Mantan Menteri Perindustrian, Saleh Husin. Juga nampak Ahmad Yani Ketua Umum Partai Masyumi, dan Benny Pramula Ketua Umum Partai Pelita.
Sesaat sebelum saya pulang dari rumah duka, datang melayat Tokoh penting Partai Ummat Mustofa Nahrawardaya. Pentakziyah datang silih berganti memenuhi rumah duka.
Jenazah Prof. Syaiful Bakhri akan disholatkan di Masjid At-Taqwa Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan diberangkatkan menuju pemakaman Tanah Kusir usai sholat dhuhur.
Pahlawan Jihad Konstitusi
Profesor Syaiful Bakhri merupakan tokoh kunci keberhasilan Pimpinan Pusat Muhammadiyah memenangkan gugatan perkara/ judicial review ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pada periode 2012-2015, dibawah kepemimpinan Kyai Din Syamsuddin, Pimpinan Pusat Muhammadiyah sangat intensif melakukan kajian atas berbagai produk Undang-undang yang ditengarai merugikan kepentingan nasional.
Din Syamsuddin, menegaskan pentingnya sebuah “Jihad konstitusi” sebagai bagian tidak terpisahkan dari gerakan dakwah amar makruf nahi munkar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Muhammadiyah memandang strategis upaya memberikan pencerahan atas persoalan-persoalan kebangsaan, terutama yang terkait dengan implementasi sebuah UU yang mengatur hajat hidup orang banyak.
Seperti diketahui, PP Muhammadiyah mengajukan uji materi sejumlah UU, termasuk UU Minerba, yang dianggap merugikan kepentingan nasional. Bahkan, selanjutnya PP Muhammadiyah juga melakukan judicial review terhadap UU lain sebagai tindak lanjut dari amanat Muktamar Muhammadiyah 2010 di Yogyakarta, seperti UU Minerba, investasi, geothermal, Privatisasi air, Penanaman Modal Asing, dan lain-lain, yang ditengarai melanggar kepentingan rakyat dan negara.
Sebagai Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah, Allahuyarham Syaiful Bakhri bersama Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, secara maraton mengkaji dan membedah ayat per ayat pasal per pasal dari UU yang dianggap bermasalah.
Dalam catatan penulis, setidaknya lima kali berperkara ke MK, lima kali itu pula bisa dimenangkan oleh Muhammadiyah. PP Muhammadiyah memenangkan gugatan dalam UU Sumber Daya Air yang membatalkan upaya privatisasi air oleh korporasi swasta. Memenangkan gugatan atas UU Migas yang berakhir dengan bubarnya BP Migas, kini berganti nama menjadi SKK Migas. PP Muhammadiyah pun juga berhasil memenangkan gugatan atas UU Penanaman Modal Asing, UU Investasi, dan UU Pokok Agraria.
Euphoria Gugatan Produk Legislasi
Momentum reformasi 1998 telah mendorong dilakukannya reformulasi sistem ketatanegaraan melalui amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002. Dalam proses amandemen tersebut, salah satu isu yang menjadi perdebatan adalah upaya diberikannya kewenangan lembaga yudisial untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan setingkat UU terhadap UUD. Waktu itu perdebatan terbelah menjadi tiga kelompok, yaitu pertama, kelompok yang menghendaki kewenangan pengujian UU terhadap UUD diberikan kepada MA, kedua, kelompok yang menghendaki pengujian diberikan kepada lembaga yudisial diluar MA yaitu Mahkamah Konstitusi dan kelompok ketiga adalah kewenangan pengujian UU terhadap UUD diberikan kepada MPR atau sering disebut legislatif review (Mulyanto, 2013).
Amandemen UUD 1945 (1999-2002) merumuskan ada dua lembaga kekuasaan kehakiman (Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) yang diberi kewenangan untuk melakukan judicial review. MA tetap diberikan kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.
Puncak euphoria gugatan judicial review atas produk UU ke Mahkamah Konstitusi terjadi pada periode 2011-2017. Pada periode ini, keterlibatan berbagai pihak pemangku kepentingan terkait UU yang dipersoalkan, hingga peran serta beberapa organisasi kemasyarakatan besar di tanah air seperti Muhammadiyah, menjadi bahan kajian yang sangat menarik.
Mengurai Benang Kusut Rendahnya Kinerja Dewan
Persoalan rendahnya kinerja Dewan menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan. Ini tidak terlepas dari target Prolegnas yang terlampau besar, yang disusun sendiri oleh DPR setiap mengawali awal tahun masa sidang. Masalah menjadi semakin pelik, ketika kalangan Dewan kerap merasa disudutkan oleh pihak-pihak yang kemudian menggugat UU sebagai produk legislasi ke Mahkamah Konstitusi. DPR selalu dikambinghitamkan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas lolosnya ayat-ayat atau pasal-pasal krusial yang menimbulkan persoalan dalam implementasi UU ke dalam ranah peraturan teknis yang terkait.
Padahal, jika melihat proses lahirnya sebuah UU, tentu tidak bisa dilepaskan dari peran strategis dari pihak Pemerintah. Pemerintah seharusnya dapat lebih memberikan kontrol atas kemungkinan munculnya resistensi pemangku kepentingan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung, sekaligus agar dapat mencegah adanya penolakan atas UU yang akan ditetapkan.
Dalam berbagai kesempatan, DPR turut mempersoalkan lemahnya kinerja legislasi karena pemerintah juga lamban dalam menyusun dan menyampaikan RUU usulannya kepada DPR. Perdebatan tentang capaian aspek kuantitas ataupun persoalan lemahnya kinerja legislasi tidak semata disebabkan oleh DPR, sudah harus digeser kepada identifikasi paling fundamental penyebab kinerja legislasi selalu bermasalah. DPR (juga Pemerintah dan DPD) sebaiknya tertuju kepada kebutuhan mendesain ulang Prolegnas sebagai instrumen perencanaan legislasi. Mengingat desain yang selama ini digunakan oleh DPR dan Pemerintah justru mengkerangkeng dan menempatkan (DPR dan Pemerintah sendiri) pada kegagalan kinerja legislasi.
Ironisnya, kini baik DPR maupun Pemerintah selalu kompak menyatakan bahwa produk legislasi yang mereka hasilkan sudah melalui proses yang panjang. Kendatipun, mereka juga mengakui bahwa beban target Prolegnas terlampau berat untuk mereka capai. Lebih konyolnya lagi, baik pihak DPR maupun Pemerintah kini selalu berlindung dibalik mekanisme judicial review di MK.
Ketika mereka tersudut oleh opini dan keberatan publik, mereka serta merta mempersilakan berbagai pihak pemangku kepentingan untuk melakukan gugatan perkara ke MK.
Lalu untuk apa proses penyusunan draft naskah akademik dibuat, jika kemudian seringkali UU yang dihasilkan justru kerap mengesampingkan tinjauan akademis dalam pembahasan UU terkait.
Begitu pula, untuk apa dilakukan sosialiasi sebuah UU, jika kemudian disaat masih ada keberatan-keberatan dari masyarakat, draft RUU yang bermasalah tersebut tetap dipaksakan menjadi UU.
Pahlawan Jihad Konstitusi
Berpulangnya Profesor Syaiful Bakhri tentu meninggalkan duka mendalam, tidak hanya bagi Muhammadiyah, juga merupakan kehilangan segenap anak bangsa. Komitmen dan dedikasi almarhum sungguh luar biasa. Semoga perjuangan almarhum menjadi catatan amal jariyah baginya.
Terakhir, bersama beberapa elemen dan Tokoh-tokoh Nasional, Almarhum menyiapkan gugatan atas UU IKN. Sangat disayangkan, MK sebagai garda terakhir keadilan konstitusi, tidak lagi mampu menjaga marwahnya. MK hari ini telah tergadai oleh berbagai kepentingan oligarki. Apakah ini merupakan tanda bahwa saatnya MK dibubarkan? Wallahu A’lam bish-showaab
*Qosdus Sabil, Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah 2010-2015/ Penasehat Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso-Ciputat Timur