Oleh: Ramadhanur Putra
Tepat sore tadi (Jum’at, 30 September 2022), ketika penulis dan beberapa orang kawan menggelar lapak baca di pelataran kampus. Lalu, mendapati minimnya antusias dan daya interaktif mahasiswa untuk membaca buku yang kami sediakan. Serta, sedikit mendengar tanggapan beberapa orang yang berkunjung. Akhirnya, malam ini (pukul 22.52 di laptop saya) penulis putuskan untuk menulis pendapat ringan ini.
Semuanya, bermula dari tanggapan Dosen yang bernama, Dr. Arif Budi Raharjo -beliau mengajar Filsafat Pendidikan, Regulasi Pendidikan, dan Evaluasi Pendidikan selama yang pernah penulis temui di ruang kelas- seorang dosen di program studi yang saya ambil, PAI.
Saat melewati lapak baca kami, beliau menyakan gerangan apa yang sedang kami lakukan, “Wah, ada ap aini?” Tanyanya. “Ini pak, lagi memfasilitasi ruang literasi untuk mahasiswa.” Jawab Kami percaya diri. “Luar biasa, Mahasiswa hari ini sudah sedikit yang punya buku, saya kira mereka karena mereka sudah punya e-book, ternyata juga tidak, hahaha,” Candanya.
Kemudian, seorang mahasiswi yang baru saja keluar kelas juga berkunjung. Melihat-lihat buku yang ada. Lalu, Ia temui buku filsafat, “Adduhhh, buku filsafat. Takuut. Nanti aku murtad.” Kira-kira begitulah ujarnya sembari berjalan meninggalkan kampus.
Dari dua respon tersebut – dosen dan mahasiswi-, saya akhirnya memutuskan untuk menulis artikel ini. Keinginan itu semakin kuat saat para mahasiswa yang ikut organisasi di kampus sedang berlomba-lomba membuat flyer tentang peringatan tragedi kemanusiaan Gerakan 30 September 1965.
Saya bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar menulisnya secara sadar atau hanya sekedar memenuhi proker?
Menyamakan Pandangan Terkait Genosida 30 S
Penulis akan mengurai reflektif diatas dengan mendudukkan terlebih dahulu perkara Gerakan 30 September (penulis tidak menambahkan kata PKI sebagaimana literatur yang sering kita lihat) yang terjadi pada tahun 1965.
Sebagai seorang muslim, penulis juga merasakan sayatan mendalam akibat tragedi tersebut. Bagaimana tidak? Mayoritas korban genosida 30 September adalah mereka umat islam.
Namun, tampaknya penulis tidak mau tergesa-gesa untuk menyebut dalangnya siapa. Berdasarkan artikel yang dimuat oleh tempo.com pada 30 September 2021 dipaparkan beragam perspektif tentang dalang dari G30S. Pertama, PKI. Kedua, Konflik Internal Angkatan Darat, Ketiga, Soekarno. Ketiga, Soeharto. Dan terakhir, CIA (Nurhadi, 2021).
Pesimismepun terbangun ketika harus tergesa-gesa menyebut bahwa dalang G30S adalah PKI dengan beragam perspektif yang ada. Apalagi sampai menimbulkan kebenciam yang mendalam terhadap ajaran-ajaran Marxisme ataupun Leninisme.
Kemudian, kita bertanya-tanya. Siapa sebenarnya dalang dari itu semua. Dalam mengurai diskusrsus ini, tidak ada salahnya kita melihat perspektif Michel Foucault (1926-1984) tentang Diskontiniusitas Sejarah.
Menurut Foucault, sejarah tidak akan selalu berkelanjutan dan berjalan secara terus-menerus. Sebab, bagi Foucault episteme (sumber pengetahuan) hanya berlaku pada masa tertentu dan kurun waktu tertentu.
Episteme kemudian digulirkan dalam bentuk discourse (wacana) oleh mereka yang memiliki kekuasaan dimasanya. Makanya, Foucault meyakini bahwa kekuasaan akan sangat memungkinkan produksi pengetahuan sesuai keinginan yang berkuasa. Power is Knowledge.
Pikiran Foucault menggambarkan distorsi ataupun anomali tentang dalang G30S akhirnya membuat kita kecele. Bahwa sejarah dapat saja dibentuk dan diputarbalikkan oleh siapa saja. Meskipun begitu, penulis juga tidak menafikan tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di negeri tercinta kita ini.
Oleh karena itu, penulis hanya mengajak kita semua untuk sepaham bahwa tragedi genosida G30S adalah penghianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, HAM, dan penghinaan terhadap tuhan. Lebih khususnya, pelacuran terhadap nilai-nilai Pancasila.
Tentang Komunisme, Bagaimana Muslim Bersikap?
Dalam tragedy G30S, faham komunisme menjadi muara kebencian hampir separuh masyarakat Indonesia. Sepertinya, tragedy tersebut telah membawa kita pada kesadaran mitos sehingga menutup logika untuk melihatnya lebih dalam.
Terlepas dari PKI sebagai dalang yang paling mendominasi kontruksi berpikir masyarakat. Tidak seharusnya kita menjadi anti terhadap hal tersebut. Sebab, bagaimanapun juga komunisme hanyalah sebuah aliran yang berdiri atas landasan ilmiah. Selayaknya ilmu, faham komunis tidak perlu juga untuk ditakuti, bahkan tidak salah juga apabila ingin mempelajarinya.
Mempelajari dengan prinsip relativisme, bahwa ilmu tidaklah bersifat mutlak/absolut. Sebab, ilmu ibarat pisau tajam yang akan bermanfaat ditangan orang yang mengerti untuk menggunakannya. Dan bagi kita, umat islam sifat absolut hanya terletak pada wahyu.
Komunisme sebagai salah satu pengerucutan yang diadopsi dari paham sosialis adalah sebuah thariqah dalam mewujudkan perubahan untuk melawan ketidakadilan dan penindasan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat -terkhusu kaum marginal. Hal ini, sejalan dengan prinsip islam bahwa kaum mustad’afin (proletary) harus dapat dibebaskan dari belenggu kaum dzolim (borjuis).
H.O.S Tjokroaminoto sebagai figur yang kita kenal dengan perlawanannya terhadap kolonialisme pada masa penjajahan pernah menulis buku “Islam dan Sosialime” untuk membangkitkan semangat kemerdekaan. Artinya, sebagai seorang muslim tidak sepantasnya kita menjadi anti terhadap ilmu pengetahuan. Apapun itu dan dari siapapun itu.
Lalu, Bagaimana Mahasiswa Menyikapi?
Mahasiswa sebagai kaum terpelajar dalam struktur masyarakat seharusnya dapat memberikan pencerahan. Apalagi mereka yang menafkahkan dirinya untuk aktif dalam organisasi-organisasi di kampus.
Seharusnya, kita menjadi kelompok inti dalam masyarakat untuk mewujudakan perubahan. Perubahan yang sarat dan kental akan nilai-nilai pengetahuan. Mahasiswa sebagai kelompok inti perubahan jangan sampai terjatuh dalam gelombang intelektual tradisional.
Intelektual tradisioanal hari ini adalah kita para mahasiswa yang kuliah hanya untuk mengejar gelar sarjana lalu menjadi pekerja begitu saja. Intelektual tradisional adalah kita yang berorganisasi, sibuk sedemikian rupa, telaten dalam hal-hal teknis-pragmatis, tapi luput akan makna filosofis. Pada akhirnya, organisasi menjadi mitos baru dalam mengembangkan potensi. Sebab, organisasi tidak memberi kesempatan untuk mengisi kapasitas keilmuan pada diri.
Oleh karena itu, mahasiswa harus benar-benar memantapkan diri untuk menjadi intelektual organik. Intelektual yang memberikan perubahan, sarat akan ilmu pengetahuan, serta mengerti persoalan secara mendalam. Agakanya, inilah pesimisme yang terbangun pada hari ini (30 September 2022). Apakah arti G30S kalau kita anti ilmu pengetahuan? Apakah makna pendidikan kalua membaca buku saja kita enggan?
*Ramadhanur Putra, Mahasiswa PAI UMY dan Kader IMM FAI UMY