Judul : Perjuangan Seorang Mualaf Liem Ho Ho (1920-1975)
Penulis : B Muria Zuhdi
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, Juli 2022
Tebal, ukuran : xxxix + 144 hlm, 14 x 21 cm
ISBN : 978-623-5303-07-9
Perkembangan Muhammadiyah di Nusantara, turut disokong oleh etnis Tionghoa. Ada Abdullah Tjan Hoateseng di Maluku. Oey Tjeng Hien di Bengkulu. Di Tasikmalaya, ada M Bahaudin atau Yong A Cang.
Kepribadian Muhammadiyah menyebut, organisasi ini berkarakter inklusif, bekerjasama dengan siapapun, termasuk dengan etnis Tionghoa. Kiai Ahmad Dahlan adalah cermin dari tokoh yang bekerjasama dengan para pemuka agama berbeda. Penerusnya, Kiai Ibrahim dikenal sebagai sosok awal yang membina hubungan baik dengan etnis Tionghoa. Kiai Ibrahim memberi mandat kepada Haji Abdul Karim Oey untuk berdakwah kepada keturunan Tionghoa, seperti dicatat Karim Oey dalam Mengabdi Agama, Nusa, dan Bangsa (1982).
Keturunan Tionghoa yang juga mengabdi di Muhammadiyah adalah Liem Ho Ho. Mengikuti jejak pamannya, Liem Ho Ho termasuk generasi pertama Tionghoa yang datang ke Kalimantan. Saat itu, dekade 1920-an hingga 1930-an, dunia sedang mengalami zaman malaise. Di masa itu, warga Tiongkok hidup dalam kesusahan di tengah membludaknya kelahiran. Orang-orang Hokkian banyak yang memilih bermigrasi ke Asia Tenggara untuk menjemput kehidupan yang lebih baik.
Liem Ho Ho lahir pada 5 November 1920, di sebuah kota kecil, Hok Tjia. Tepatnya di sebuah dusun Kau San Jie, di lereng perbukitan gersang. Saat ini, Hok Tjia dikenal dengan nama Fuqing (Fuching), kota besar di Provinsi Fujian/Hokkian. Liem Ho Ho menjadi yatim di umur belia. Di usia 9 tahun, ia merantau sejauh 3000-an kilometer selama hampir sebulan menuju tanah Borneo dengan menumpang kapal SS Ban Ho Guan pada Oktober 1930.
Awal mula di tanah rantau, ia menumpang di rumah pamannya, Liem Ja Seng. Selama lima tahun, ia membantu berjualan barang pecah belah dan alat-alat rumah tangga. Sehari-hari ia berinteraksi dengan masyarakat lokal muslim. Pada 1935, Liem Ho Ho memeluk agama Islam, menjalani prosesi khitan, dan berganti nama menjadi Norlias. Pada 1955, ia naik haji, dan kemudian namanya diganti menjadi Abdul Halim.
Kiprah Haji Abdul Halim merentang dari aktivis Muhammadiyah hingga tokoh pendiri organisasi Persatuan Islam Tinghoa Indonesia (PITI). Ia sangat mencintai Indonesia. Ketika angresi militer Belanda II, ia berjihad di Kota Rantau dan menjadi pemasok logistik bagi para pejuang, bahkan sempat mendekam di penjara Belanda. Meskipun berperan besar, ia pernah kecewa ketika pada 1959-1960, ada larangan berwirausaha bagi warga negara keturunan.
Meskipun tidak pernah menempuh pendidikan formal, ia diamanahi menjadi Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Rantau pada 1949-1957. Pada 1957-1965, menjadi Ketua Ranting Muhammadiyah Rantau. Ia menjadi penggerak pembangunan SMP Muhammadiyah Rantau pada 1954, menginisiasi pendirian Langgar Muhammadiyah/Masjid Mujahidin, pembangunan Jembatan Kilat, Klinik PKO, hingga mengupayakan alat drum band.
Ide pendirian SMP Muhammadiyah berawal ketika anaknya memasuki usia SMP dan tidak menemukan sekolah di Kota Rantau. Saat itu, hanya ada SMP Negeri di Banjarmasin. Liem Ho Ho mengusulkan ide itu ke pengurus Muhammadiyah. Mulanya, SMP ini meminjam gedung SR Muhammadiyah. Perlahan, diupayakan lahan dan gedung sendiri. Guna menggalang dana, Liem Ho Ho bersama pengurus Muhammadiyah-Aisyiyah Rantau mengadakan warung amal yang menjual nasi, sop, soto, mie, sate, hingga lontong. Ia juga mengerahkan anak-anaknya memanfaatkan lahan bantaran sungai untuk menanam sayuran. Hasil panen sayuran digunakan untuk kas pembangunan gedung SMP Muhammadiyah.
Menurut anaknya, Salasiah (Liem Sa Sa), Liem Ho Ho sampai menyediakan rumahnya untuk persinggahan para aktivis Muhammadiyah. Pada 1951, Buya Hamka dari PP Muhammadiyah turut menginap di rumah Liem Ho Ho.
Buku ini menceritakan detail kehidupan Liem Ho Ho yang datang dari China dan menjadi aktivis Muhammadiyah.
Muhammad Ridha Basri