Setoran Tahfidz, Cerpen Em Hadziq

Setoran Tahfidz, Cerpen Em Hadziq

Oleh: Em Hadziq 

Lailatul Mutmainnah adalah salah satu santri di Pondok Darul Hikmah. Baru kelas satu, dan merupakan anak tunggal. Ibunya menyekolahkan di pondok karena berharap anaknya memiliki pengetahuan agama yang cukup, tidak seperti ibunya  yang hanya lulusan SMA. Miskin pengetahuan agama, sehingga sering bingung dalam menjalankan ibadah, di tengah banyaknya versi paham agama.

Laila, nama panggilannya. Anak yang ceria walaupun kadang terlalu lambat dalam memahami pelajaran.

“Jangan lupa rajin belajar “, pesan ibunya setiap berkunjung hampir tiap bulan. Disamping mengobati rasa kangen seorang ibu sekaligus memberi bekal uang saku secukupnya. Kadang ya dibawakan bakwan, makanan kesukaan Laila. Pada tahap ini bukan Laila saja yang senang, tapi kawan-kawannya sudah pada ngintip, untuk meminta bagian. Seperti menunggu komando. Sebab biasanya ibunya membawa bakwan agak banyak.

“Iya bu, insya Allah Laila rajin, doakan biar lancar”, katanya, sambil senyum seusai menerima uang saku.

“Yang penting berusaha serius, soal hasil Allah yang ngatur”, tambah ibunya, menyadari anaknya agak lambat dalam belajar.

“Apalagi sebentar lagi kan ujian tengah semester”. Laila hanya manggut manggut, sambil berjalan menghantarkan ibunya pulang sampai pintu gerbang pondok. Dan sesaat kemudian pun bakwan sudah ludes, seperti menjadi ciri khas santri pesantren ketika ada makanan. Tapi mereka gembira.

 

Ujian tengah semester santri Pondok Darul Hikmah berlangsung lancar. Tidak ada santri yang mengeluh. Sebab toh soal ujian dari materi yang sudah diajarkan. Yang menjadi momok justru paska ujian. Menunggu saat liburan. Lho kok….

“Setiap santri harus setor 1 Juz al qur’an sebagai syarat boleh pulang liburan”, Kata Ust. Wiyanto, Pembina pondok seusai sholat berjamaah Maghrib.

“Tidak ada dispensasi, sebab itu sudah sangat ringan”, katanya dengan nada ringan.

“Ringan….?’ Kata Laila sambil nglirik ke kawannya berbisik,”emang krupuk…ringan.” Celetuknya

“sttt….ntar denger lho.” Senggol Nadia ke Laila sambil nyubit lengan dibalik mukena.

“Aauww….sakit tahu.” Omel laila.

 

Hari-hari itu semua santri putra dan putri sibuk menghapal ayat-ayat alqur’an. Ada waktu  seminggu sambil nunggu rapot dibagikan sekaligus tanggal pulang ke rumah. Ada yang di pojok kelas, di bawah pohon, di teras masjid, bahkan ada yang di belakang asrama. Ada yang setoran juz 30 ada yg juz 1, 2, 29, 28, sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing.

Menghafal ayat Alqur’an perkara mudah, tapi menjaganya itu yang memerlukan ketekunan dan kesabaran. Apalagi para santri memang tidak dikhususkan untuk program tahfidz. Maka ada yang tersenyum karena tahapan setoran sudah selesai, namun ada yang bergumam cemas kalau tidak selesai.

“Gimana Laila setoran tahfidznya ?” Tanya ustadzah Ratna pada Laila seusai makan pagi, “Yang lain udah pada setor kok kamu belum ?”

“ehm…iya ustadzah, masih nanggung.’ Jawabnya malu-malu. Sebab dia merasa belum sepenuhnya hafal dua halaman. Ini adalah batas minimum setiap setoran. Juz 30 yang menjadi targetnya memang terasa berat. Memang ketika suratnya pendek-pendek terasa mudah, tapi kalau yang panjang-panjang sering mbulet kebalik-balik.

Beberapa kawan sudah menyelesaikan setorannya. Laila semakin terpacu menghafal, takut ketinggalan dengan kawan, namun menjadi terburu-buru, akhirnya justru semakin sering terbalik balik.

“Menghafal itu jangan terburu-buru, pelan tapi pasti saja”. Kata Widya kakak kelasnya, yang sudah selesai separoh dari juz 28. “iya, tapi kakak kan cepat hafalnya, kalau saya kok susah betul ya.’ Kata laila megeluh.

“Nanti kalau saya benar-benar tidak hafal, saya minta ibuku nelfon ustadzah, agar ada kemudahan, supaya tetap bisa pulang seperti kawan-kawan.” Kata laila.

“ee.. ya gak bisa gitu,” sergah Widya, “kan Pembina sudah bilang tidak ada dispensasi, ya kalau tidak hafal ya harus sampai hafal, berarti pulangnya ditunda.” Tambahnya.

“Waduh,….” Jawab laila “Gimana dong ?’

“Ya enggak gimana-gimana dong…krak andong”, gurau Widya.

Laila mau nyubit tapi Widya keburu ngacir sambil tertawa.

Terbayang sudah kawan-kawannya mengemasi barang, kawan-kawannya dijemput orang tua masing-masing. Kawan-kawannya tersenyum riang. Terbanyang kamar-kamar mulai kosong. Terbayang masjid mulai sepi. Terbayang sendirian di kamar. Inilah yang menyebabkan kegalauan fikiran. Hilang fokus. Hafalan justru makin melayang.

“ayo  Laila semangat… teruslah menghafal, nanti kalau di rumah kita main bersama ya”. Kata kawan-kawan memberi  semangat. Mereka menyadari kalau Laila yang paling berat meyelasaikan hafalan.

Beberapa kawan ikut mandampingi menghafal, tetapi karena waktu pulang ke rumah makin dekat jadi makin tidak fokus. Apalagi kawan-kawan yang mendampingi justru kadang malah mengganggu.

“Ust. Mohon anak saya kalau sudah tanggal pulang diijinkan pulang ya,” ibu Laila memohon kepada Pembina. “Laila memang agak susah menghafal.” Tambahnya melalui telephon.

“Maaf bu, ini sudah peraturan. Harus ditaati bersama, sebab kalau ada yang diberi dispensasi nanti semua minta dispensasi, kan jadi kacau. Sudah bu doakan saja supaya Laila bisa menyelesaikan setoran,” jawab ust Wiyanto, sambil menggendong anaknya.

Waktu-waktupun dihabiskan Laila untuk menghafal. Tetapi hilir mudiknya para orang tua santri yang menjemput anaknya yang sudah diijinkan pulang mengilangkan konsentrasi hafalannya. Menjadi tidak fokus, antara  iri dengan kawan dan benci dengan dirinya.

Pada malam hari Laila mulai bisa fokus. Saat kawan-kawannya tertidur. Ia menghafal dan terus menghafal. Di kamar bangun sendiran, duduk diatas ranjang, selalu berganti posisi, sambil menyelimuti kepalanya, hafalan mulai lancar, ayat demi ayat dihafalkannya, surat demi surat dilaluinya. Ia tak henti-hentinya menghafal berulang-ulang sambil merebahkan kepalanya. Terus menghafal, bibirnya mulai tersenyum. Lancar sekali hafalannya, Seperti mendapatkan kemenangan. Mampu melawan ego dirinya. Emosi kebahagian tak tertahankan,  dan seakan mau meloncat kegirangan. Berteriak sambil mengucap  keras sekali “ALHAMDULILLAH….!!!!”.

Tapi,….

BUKK…… Laila terguling dari ranjang, Jatuh bersama bantal dan selimutnya. Kawan-kawannya terbangun kaget. “Ada apa Laila…..Laila….nglindur ya ?”

Laila bangun, wajahnya bingung. “kok bisa tidur di sini ?” gumamnya

Kawan-kawannya tertawa,  dan adzan subuhpun berkumandang. Mereka bergegas untuk berwudzu dan berjamaah di masijd.

“ah …..hanya mimpi, seandainya….. ah seandainya…”. Kata Laila sambil ngeloyor ke masjid.

 

Hari itu terasa berat. Semua santri sudah mengantongi surat izin pulang dari Pembina. Artinya setoran tahfdz sudah selesai tuntas. Laila sangat bingung. Tidak ada lagi waktu yang nyaman untuk menghafal. Sebab yang terlihat adalah hilir mudik santri menyiapkan kepulangan. Asrama menjadi berisik. Tak terdengar lagi dengungan setoran tahfidz. Di halaman terlihat santri bermain bola penuh ceria. Laila tinggal sendirian yang belum rampung. Masih ada dua surat panjang yang belum hafal. Dan sepertinya mustahil diselesaikan. Maghrib itu Laila sholat khusyuk sekali, bahkan sengaja tidak pulang sampai Isya. Bukan menghafal, tetapi merenungi nasib. Ia membayangkan bila tinggal sendirian makin tidak bisa menghafal, tak ada kawan tentu menjadi kesepian. Akhirnya tekadnya justru berbeda. Bila tak diizinkan pulang lebih baik keluar pondok. Memang menyalahi harapan ibunya. Tapi daripada stres di pondok, menjadi gunjingan dan cibiran kawan. Tekadnya bulat.

Kini Sholat Isya menjadi ringan, beban seperti lepas. Walaupun bayangan kecewa dari ibunya terbayang jelas. Nampak seperti di depan mata. Laila keluar masjid terakhir, setelah duduk terpekur paling lama.

Tiba-tiba di depan masjid terlihat tamu dari Pemerintah kecamatan. Ia melihat Ust. Abdillah Pembina pondok menyambut dengan hangat.  Berbasa basi sesaat. Selanjutnya terdengar petugas kecamatan, menyampakan berita

“pak ust, mohon maaf, untuk menjaga hal hal yang tidak diinginkan, karena wabah covid belum benar-benar aman. Maka mohon semua santri dipulangkan segera. Ini keputusan Pemerintah Kecamatan berdasar petunjuk dari kabupaten. Besok semua santri pondok di wilayah ini harus dipulangkan,  dan pembelajaran berikutnya tidak boleh tatap muka, cukup melalui daring sampai pemberitahuan berikutnya. Mohon Pembina pondok memahaminya demi menjaga keselamatan bersama.” Jelasnya lebih lanjut. Terlihat Pembina Pondok manggut-manggut menyetujuinya.

Aha….yes… teriak Laila dalam hati. Setengah berlari  tersenyum riang ia kembali ke asrma.

“Terima kasih covid”, gumam Laila dalam hati, antara senyum geli dan hawatir.

Dan esok hari semua santri diharuskan pulang.

Exit mobile version