MALANG, Suara Muhammadiyah – Dalam menjalankan sebuah perusahaan, Ehime Toyota memiliki misi untuk membahagiakan masyarakat dan orang-orang yang terlibat dalam perusahaannya. Kalimat tersebut di sampaikan oleh Direktur Ehime Toyota, Hidekazu Futagami di seminar Multiculturalism for the Human Development in Asian Community. Kegitan yang digelar oleh Center For Asian Studies Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu dilaksanakan pada Rabu (12/10) lalu di Teater Dome UMM.
Lebih lanjut, Hidekazu sapaannya menjelaskan bahwa dalam rangka menebar kebahagiaan kepada sesama, Ehime Toyota telah melakukan berbagai upaya sosial. Salah satunya melalui Corporate Social Responsibility (CSR). Tak terbatas di Jepang saja, CSR ini juga dilakukan di berbagai negara yang bekerja sama dengan Ehime Toyota. Bantuan sosial yang diberikan cukup beragam, hal ini juga disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang akan dituju.
“Kami telah bekerja sama dengan Indonesia sejak tahun 2008 dan hal ini akan terus berlanjut kedepannya. Dalam perjalanannya, kami telah melakukan berbagai kegiatan sosial di Indonesia. Salah satunya adalah pemberian kendaraan darurat sebanyak 208 unit kepada 20 kota madya yang ada di Indonesia. Kendaraan darurat ini meliputi ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Hal ini kami lakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di beberapa kabupaten terpecil di Indonesia,” terangnya.
Meskipun sekarang sudah terealisasikan dengan baik, namun Hidekazu mengatakan bahwa program ini pada awalnya memiliki banyak masalah. Satu di antaranya adalah masyarakat tidak dapat menggunakan kendaraan darurat dengan baik. Kasus lain yang sangat menyedihkan adalah meninggalnya salah satu teman Hidekazu di Bantaeng Sulawesi Selatan akibat kendaraan yang tidak terawat dengan baik.
“Jujur pada awalnya saya ingin menyerah, namun saya percaya masyarakat Indonesia dapat berkembang. Oleh karenanya kami melakukan pelatihan penggunaan kendaraan darurat kepada masyarakat. Selain itu kami juga mengasah kemampuan mekanik masyarakat untuk merawat kendaraan darurat kedepannya. Berkat sistem kesehatan darurat ini, kesejahteraan masyarakat di kota madya meningkat,” ujarnya.
Dalam menghadapi masalah yang besar seperti itu, Hidekazu menjelaskan bahwa para mahasiswa harus menerapkan prinsip Kaisen. Prinsip ini memuat empat cara yaitu Plan, Do, Cek, dan Action (PDCA). Jadi dalam penerapannya, dalam menghadapi sebuah masalah para mahasiswa dituntut untuk berpikir, menyampaikan pendapat, mengambil tindakan, dan melakukan evaluasi. “Hal ini harus dilatih secara berulang agar kita dapat menghadapi masalah dengan lebih baik lagi,” kata Hidekazu.
Sementara itu, paparan menarik juga disampaikan oleh pemateri lain yakni Muhamad Salis Yuniardi, Ph.D. ia menjelaskan mengenai persepsi gangguan jiwa di berbagai negara, penyebab, serta cara penanganannya. Adapun persepsi orang normal di berbagai negara sangat berbeda. Tergantung pada aturan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat sekitar. “Orang yang dianggap normal adalah mereka yang tidak menyimpang tetapi juga tidak berlebihan atau fanatik dalam menaati ketentuan masyarakat,” tambahnya.
Kalau berdasarkan jumlah IQ, orang yang tidak normal biasanya di bawah IQ 90 atau di atas IQ 120. Namun hal ini bisa jadi sebuah masalah jika dipakai sebagai satu-satunya pengukuran. Kriteria kedua yakni disability atau disfusi yaitu ketidakmampuan untuk bekerja karena alkohol, depresi dan gangguan seksual. Adapula yang ketiga yakni jika orang tersebut melanggar norma seperti antisosial personality seperti psikopat atau pedofil.
Salis, sapaan akrabnya juga mengatakan bahwa gangguan mental di suatu tempat bisa jadi bukan gangguan mental di tempat lainnya. Tergantung bagaimana masyarakat mendefinisikan gangguan mental. Pun dengan standar bahagia di masing-masing negara yang memiliki tolak ukur berbeda.
Terkait alasan bagaimana seseorang bisa mengalami gangguan jiwa, Dekan Fakultas Psikologi UMM itu menegaskan bahwa tiap negara memiliki alasan berbeda. Misalnya di Amerika yang memandang gangguan jiwa berasal dari diri sendiri. Sementara di Cina, orang menganggap bahwa gangguan itu karena Ying dan Yang yang tak seimbang atau orang India yang melihat bahwa itu merupakan karma masa lalu.
“Kalau di Indonesia, hal yang paling mempengaruhi yakni kecemasan sosial dan kekhawatiran akan pandangan serta gunjingan orang lain. Untuk mengatasinya, perlu penanganan profesional seperti psikiater yang ahli. Bukan malah ke orang pintar,” tuturnya mengakhiri. (*)