IKHLAS, Cerpen Erwito Wibowo

IKHLAS, Cerpen Erwito Wibowo

Setelah sembuh dari sakitnya, sebagai ungkapan rasa syukur bu Sumarah ingin menunaikan ibadah haji memilih ONH plus. Bu Sumarah sudah mengiris sebagian tanah yang dimiliki untuk membayar selama opname di rumah sakit selama dua bulan. Seluruh anak anaknya yang berjumlah 9 orang menyambut gembira penuh rasa syukur terpantul di lubuk hati masing- masing anaknya.

Untuk melunasi biaya naik haji, ia ingin mengiris kembali tanah yang masih dimiliki. Rencana ini perlu disampaikan kepada anak-anaknya, agar menerima dengan ikhlas keputusan yang dilakukan. Beberapa anak bisa menerima, tapi ada juga yang belum bisa menerima dengan ikhlas rencana bu Sumarah.

“Saya keberatan dengan rencana ibu ini,” ungkap salah satu anaknya.

“Kenapa kamu tidak bisa menerima ?” tanya anak lainnya.

“Saya berbeda dengan kamu. Kamu di antara anak anak yang sudah mapan, sedangkan saya belum mapan,” jelas anak yang merasa keberatan dengan rencana bu Sumarah.

“Terus maunya apa kamu ?” tanya saudaranya yang dianggap sudah mapan secara sosial dan ekonomi.

“Saya ingin janganlah ibu mengiris sisa tanah yang masih dimiliki itu,” jawabnya anak yang tidak menyetujui rencana ibunya.

“Toh tanah itu masih merupakan hak ibu,” tangkis saudara lainnya.

“Tapi begini,” bela saudara lainnya yang sependapat dengan yang menolaknya, “sebaiknya dicari jalan keluar lainnya, karena kita juga tidak boleh meninggalkan salah satu keluarga kita yang lemah di bidang ekonomi sehingga secara sosial akan semakin tertinggal jauh. Kita tidak boleh meninggalkan keturunan yang lemah di bidang ekonomi, sehingga sampai tidak berpendidikan, tertinggal pengetahuan. Menjadi generasi yang lemah.”

“Betul. Saya merasa terwakili dengan pandangan seperti itu,” ujar anak yang menentang memperoleh pembelaan dari saudaranya yang memiliki pandangan yang sama.

“Bagaimana dengan pendapat ibu kita, coba kita ingin mendengarnya,” usul salah satu anak yang lain.

“Saya sesungguhnya juga mengerti kesulitan ekonomi beberapa anak saya. Dan juga mengerti bahwa saya tidak boleh meninggalkan keturunan yang lemah secara ekonomi sosial,” ungkap bu Sumarah.

“Nah itu ibu tahu dan sadar betul,” kata anaknya yang tidak menyetujui.

“Tapi……”

“Tapi apa bu ?” kejar anak yang menyetujui rencana bu Sumarah.

“Saya terlanjur bernadzar, “jelas bu Sumarah.

Saya   “Nadzar ? bagaimana bu?” kejar anak lainnya.

“Sewaktu terbaring di rumah sakit, belum memperoleh kepastian kapan bisa sembuh. Di lingkupi rasa khawatir dan cemas, hembusan nafas tinggal sepenggal. Rasa putus asa belum memiliki bekal amalan yang istimewa. Sampai menjelang shubuh, saya bernadzar, di sisa hidupku kalau masih bisa sembuh dari penyakit asma yang saya derita ini, saya ingin menunaikan ibadah haji,” jelasnya panjang.

“Kalau itu nadzar, mesti harus dilaksanakan,” timbrung anak yang menyetujui rencana bu Sumarah.

“Dan rencana satu satunya, untuk melaksanakan nadzar itu, saya harus mengiris tanah kembali,” jelas bu Sumarah lebih lanjut.

“Bagaimana pendapat atau ada solusi lainnya ?” tanya seorang anak yang menyetujui rencana ibunya.

Suasana ruang keluarga nampak hening. Jeda sejenak. Dinding-dinding ruang keluarga makin sunyi. Jarum panjang penunjuk penanda detik, jelas terdengar detaknya. Detaknya mengisi ruang hati masing- masing anaknya. Detak iramanya nampak tenang bagi anak-anaknya yang bisa menerima rencana bu Sumarah. Detak jam dinding yang memiliki irama yang teratur, terasa riuh gemuruh di hati anak-anaknya yang menolaknya. Risau. Semua isi kepala anak-anaknya berputar mencari kemungkinan berdasarkan sikap  pendirian dan pandangan masing-masing. Sejurus kemudian, bu Sumarah berkata.

“Saya meminta keikhlasan anak-anakku yang tidak sependapat dengan rencana saya.”

“Nah, bagaimana dengan  pendapat yang lain ? Ibu minta keikhlasan kalian, karena ini semua dilakukan untuk melunasi nadzarnya,” ungkap salah satu anaknya.

“Dan jangan salahkan, kenapa ibu waktu itu bernadzar ?” timpal anaknya yang menyetujui rencana bu Sumarah.

“Kamu jangan memprovokasi saya, dengan kalimat itu. Seakan-akan saya menyalahkan, kenapa ibu bernadzar seperti itu, ” tangkis seorang anaknya yang tidak menyetujui rencana ibunya.

“Ya tidaklah. Barangkali, kemungkinan itu ada di lubuk hati,” tangkis seorang anak lainnya.

“Begini saja. Di ruang keluarga ini, saya meminta maaf. Sekali lagi saya minta maaf telah bernadzar tanpa persetujuan dengan seluruh anak-anak. Maafkanlah aku. Berilah maaf atas kelancangan saya. Semua sudah terlanjur. Dan saya harus menunaikan nadzar saya, dengan melakukan ibadah haji,” jelas bu Sumarah.

“Ya saya menerima dengan berat hati, ” jawab anak bu Sumarah yang paling keras menentang.

” Janganlah menerima dengan berat hati. Aku menginginkan kerelaan kamu,” pintu bu Sumarah.

“Boleh saya tinggalkan ungkapan dengan berat hati. Saya menerima rencana ibu dengan terpaksa, ” ujar anaknya yang tidak menyetujui rencana ibunya.

“Janganlah kamu mengambil kalimat seperti itu. Sekali lagi maafkanlah kelancanganku. Tapi kali ini saya minta keikhlasan kalian, ” ujar bu Sumarah.

“Begini saja,” kata salah satu anaknya yang tidak menyetujui rencana ibunya, ” Saya akan menerima dengan ikhlas, permohonan kami, tolong doakan kami di tempat segala doa akan terkabulkan, agar kami memperoleh rejeki yang datangnya tidak terduga, agar keluarga saya bisa mapan sebagaimana keluarga anak anak ibu lainnya,” jelasnya.

“Itu gampang. Ibu bisa mendoakan, ” jawab anak lainnya.

” Aku ingin jawaban dari ibu sebagai janji kepada saya,” tukas anak yang menentang rencana ibunya.

“Baiklah, ujar bu Sumarah menjawab keinginan anaknya yang tidak menyetujui rencana ibunya, ” saya akan mendoakan sekaligus mengungkapkan penyesalan saya terhadap hak-hak anak-anak saya.”

“Nah semua sudah ikhlas ? Sebaiknya memang harus begitu. Meskipun melepaskan keikhlasan itu sulit.”

Ungkap anak lainnya.

“Sudahlah saya sudah menerima dengan ikhlas, tidak perlu ditekankan dengan ungkapan bahasa yang cuma basa basi seperti itu. Selesai.” Jawab anak yang menentang rencana bu Sumarah.

Semua rencana bu Sumarah sudah matang dengan segala persiapan. Bu Sumarah mengambil ONH plus. Bu Sumarah sudah terbang, anaknya memantau melalui hp. Bu Sumarah setiap saat mengabarkan proses perkembangan tahap-tahap rukun ibadah haji yang harus dan sudah dilalui.

Tiba-tiba anak-anaknya di tanah air mendengar kabar buruk menyertai musim haji tahun itu. Terjadi kecelakaan yang tidak terduga, berupa runtuhnya crane alat berat menimpa jamaah haji. Saat itu memang Masjidil Haram sedang dikepung 78 crane alat berat yang berdiri dan mengangguk-angguk ke kiri dan ke kanan untuk membangun trap-trap berundak perluasan yang menanjak naik dan melebarkan kompleks Masjidil Haram. Dari sekian banyak crane alat teknis berat, ada yang runtuh dan mengenai beberapa jamaah haji.

Seluruh keluarga besar anak anak bu Sumarah telah mengikhlaskan kepergian ibunda. Termasuk keikhlasan menerima takdir. Bu Sumarah termasuk jamaah haji yang mati syahid tertimpa crane alat berat. Anak yang paling menentang rencana bu Sumarah juga sangat menyesal melepas kepergian dengan ikhlas secara tertunda bahkan mendesak ibunya memohon untuk mendoakan di tempat segala doa terkabulkan. Seluruh anak anak bu Sumarah mendengar kabar meninggalnya bu Sumarah akan memperoleh santunan sebesar 3 Milyar. Santunan itu merupakan keinginan doa anaknya agar bu Sumarah mendoakan semoga anak-anaknya memperoleh rejeki yang datangnya tidak terduga.

Anaknya yang menentang merasa paling berdosa terhadap keadaan ini.

 

Kotagede, 26 Agustus 2021

Exit mobile version