Oleh Dr. Mukhtar Hadi, M.Si
Sesaat setelah kaum muslimin membaiat Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai khalifah Rasyidah pasca wafatnya Nabi SAW, Abu Bakar menyampaikan pidato untuk pertamakalinya sebagai pemimpin kaum muslimin. Isi pidatonya sebagai berikut:
“Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bila mana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mematuhiku. Berdirilah (untuk) shalat, semoga rahmat Allah meliputi kamu”.
Pun demikian dengan Khalifah Rasyidah kedua, Umar bin Khatab. Untuk pertamakalinya sebagai khalifah Umar menyampaikan pidato yang sangat menggetarkan. Beberapa bagian dari pidatonya adalah sebagai berikut:
“Saudara-sudara! Aku hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Abu Bakar) aku enggan memikul tanggungjawab ini. Ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Ya Allah aku sangat lemah, maka berikanlah kekuatan. Ya Allah aku ini kikir, jadikanlah aku dermawan bermurah hati. …Bacalah Al-Qur’an, dalami, dan bekerjalah dengannya. Jadilah salah satu umatnya. Timbang dirimu sebelum menimbang, hiasi dirimu untuk persembahan terbesar pada hari ketika kamu dipersembahkan kepada Allah SWT. … Allah telah menguji kalian dengan diriku dan menguji diriku lewat kalian…”
Para sahabat Nabi memaknai jabatan dan beban amanah kepemimpinan bukan sebagai kemuliaan diri, bukan kehormatan bagi keluarga dan bukan sebagai anugerah. Mereka memaknai jabatan dan posisi kepemimpinan sebagai musibah yang sangat berat tugas dan tanggungjawabnya. Menjadi pemimpin tanggungjawabnya bukan hanya duniawi semata tetapi juga ukhrawi, dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT kelak. Sebab itu mereka sangat hati-hati kalau berkaitan dengan amanah kepemimpinan. Kebanyakan para sahabat tidak memaksa untuk meminta jabatan. Tidak ambisius untuk meraih jabatan. Bahkan saling menghindar untuk menolaknya.
Bimbingan Nabi soal jabatan dan kepemimpinan memang sangat jelas, yaitu agar umat Islam tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang meminta (ambisius) suatu jabatan tertentu.
“Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan maka tanggungjawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika kamu diangkat tanpa permintaan, maka kamu akan diberi pertolongan.” (HR. Muslim)
Bukan berarti persoalan kepemimpinan tidak penting. Persoalan kepemimpinan sangat penting. Kedudukannya fardhu kifayah, dimana setiap manusia akan berdosa apabila tidak adanya seorang pemimpin di tengah-tengah umat. Namun akan gugur dosa itu jika sudah ada yang tampil sebagai pemimpin. Sampai-sampai Nabi mengingatkan bahwa setiap manusia sesungguhnya adalah seorang pemimpin, bagi dirinya dan bagi yang lainnya serta akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.
Justru karena pentingnya persoalan kepemimpinan itu maka Rasulullah SAW mengingatkan tentang kehati-hatian dalam memilih pemimpin. Hanya orang-orang yang terpercaya dan dipercaya, serta dinilai punya kemampuan saja yang layak diangkat menjadi seorang pemimpin. Orang-orang yang dinilai lemah dan tidak cakap tidak boleh dipaksakan menduduki suatu jabatan.
Dahulu Abu Dzar pernah menyampaikan maksud dirinya untuk diangkat dalam suatu jabatan, sebagaimana dialognya dengan Rasulullah: Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat). Abu Dzar berkata, “Kemudian Beliau (Rasulullah) menepuk bahuku dengan tangan,” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan Hak dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR.Muslim)
Begitulah tuntunan Nabi mengenai kepemimpinan dalam Islam. Perspektif Islam mengenai kepemimpinan menempatkannya dalam bingkai nilai-nilai kezuhudan atau nilai-nilai asketik yang merupakan ruh dalam ajaran Islam. Memandang kepemimpinan sebagai bagian dari pengejawantahan nilai-nilai luhur ajaran agama yang menuntunkan dalam persoalan jabatan dan kepemimpinan harus diperoleh semata-mata untuk menggapai keridhaan Allah SWT. Bukan diniatkan untuk kehormatan diri apalagi keluarga atau kelompoknya, apalagi untuk tujuan-tujuan pragmatis lainnya seperti kekuasaan, materi dan kebanggaan status sosial.
Kepemimpinan yang terintegrasi dengan nilai-nilai asketik ini pulalah yang mengilhami Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bi Abi Thalib mau dan berani mengemban amanah kekhalifahan. Juga yang mendasari Umar bin Abdul Azis, salah seorang dari Khalifah Bani Umayyah, memegang amanah kepemimpinan dengan sangat hati-hati karena khawatir kalau-kalau ia tidak bisa bersikap adil, tidak bisa jujur dan tidak bisa melayani yang dipimpinnya dengan segenap jiwa dan raga.
Kepemimpinan di Muhammadiyah
Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke 48 di Surakarta, banyak yang bertanya siapa calon terkuat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah? Pertanyaan ini wajar karena umumnya kalau ada ormas besar akan melaksanakan perhelatan pergantian pimpinan, dinamika suksesi calon pimpinan selalu menghangat. Muncul bursa calon mana yang kuat dan mana yang tidak kuat, mana yang didukung pemerintah mana yang tidak. Terkadang ada yang bikin kelompok dukungan dan kasak kusuk kesana kemari. Dan segala macamnya.
Namun bagi yang memahami kultur kepemimpinan di Muhammadiyah yang mengedepankan kolektif kolegial (ko-ko), maka tarik menarik untuk memperebutkan jabatan di Muhammadiyah nyaris tidak pernah terjadi. Dalam beberapa pergantian kepemimpinan persyarikatan di banyak tingkatan terkadang malah semua tidak mau menjabat sebagai ketua umum. Saling menyorongkan, yang satu menyorongkan yang satu dan yang lainnya menyorongkan yang lainnya lagi.
Tradisi yang dibangun dan telah menjadi kesadaran kolektif di internal Muhammadiyah adalah jangan meminta-minta jabatan namun ketika diberi amanah jabatan seseorang tidak boleh menolak. Model kepemimpinan seperti inilah yang membuat Muhammadiyah menjadi ormas Islam yang kuat, mandiri dan bebas dari intervensi manapun. Menghindari ambisi yang berlebihan untuk satu jabatan menjadikan para pimpinan Muhammadiyah adalah orang-orang yang ikhlas berjuang dalam menggerakkan roda dakwah Islam karena semata-mata berharap ridha Allah SWT.
Mekanisme pergantian pengurus Muhammadiyah memang tidak untuk memilih Ketua tetapi memilih Pimpinan Muhammadiyah. Pada tingkat Pimpinan Pusat, Pimpinan Muhammadiyah itu terdiri dari 13 orang. Mereka dipilih oleh anggota muktamar (muktamirin) secara langsung dari calon-calon tetap yang sudah disahkan. Jadi setiap anggota muktamar memilih 13 orang dari calon tetap menjadi pimpinan persyarikatan. Untuk menentukan siapa calon ketua umum, maka 13 orang terpilih tersebut yang menentukan. Tidak harus suara terbanyak yang ditetapkan, semua anggota formatur terpilih berpeluang menjadi ketua umum.
Begitulah sistem yang sudah menjadi ketetapan persyarikatan dalam pergantian kepemimpinan. Sistem ini telah mengarungi beberapa periode kepemimpinan dan mampu menghindarkan Muhammadiyah dari perpecahan dan perselisihan. Sistem ini juga telah membawa Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang istiqomah dalam pengamalan ajaran islam mengenai praktek kepemimpinan. Mengutip pernyataan Abdul Mukti, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Kepemimpinan di Muhammadiyah ditentukan oleh Sistem dan bukan ditentukan oleh Sinten (orang)”. Sistem yang yang dibangun itu dilandaskan kepada ajaran dan nilai-nilai Islam.
Wallahu a’lam bishawab.
Dr. Mukhtar Hadi, M.Si/Anggota BPH UM Metro