Saat Haedar Nashir Membedah Keindonesiaan Melalui Perspektif Pemikiran Ahmad Syafii Maarif

Saat Haedar Nashir Membedah Keindonesiaan Melalui Perspektif Pemikiran Ahmad Syafii Maarif

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketika berbicara tentang Indonesia, kita perlu merekonstruksi kembali bagian-bagian dari keindonesiaan yang berangkat dari keinginan untuk saling bersama dan bersatu, berangkat dari kesamaan cita-cita dan sejarah. Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif di UMS (12/11/2022).

Menurut Haedar, ketika Buya Syafii mengkritik tentang keislaman dan keindonesiaan, kita tidak boleh membiarkannya berserakan begitu saja. Kita perlu membangun kembali kritik-kritik itu dan menghadirkan solusi. Muara pemikiran Buya adalah membangun Indonesia milik bersama. Bukan yang dikuasai oleh salah satu kelompok atau golongan, bukan juga Indonesia yang chauvinis.

“Sebuah bangsa itu hadir dan terbentuk karena keinginan untuk bersatu dan bersama,” kata Haedar menyebut pokok pikiran Buya Syafii yang juga disuarakan oleh Soekano hingga Ernest Renan. Indonesia lahir dari kesamaan sejarah dan cita-cita. Indonesia mengalami dinamika pembentukan yang panjang, dari sebuah kehidupan masyarakat Nusantara. Di sana terjadi proses saling bertemu, konversi agama-agama, hingga dialektika suku-suku.

Pada era kebangkitan nasional, pembentukan bangsa ini mengalami proses institusionalisasi yang terus mengerucut pada pembentukan institusi politik. Haedar menyebut beberapa penanda kesadaran ini. Ada Kongres Perempuan yang menjadi kebangkitan perempuan untuk kemerdekaan. Ada Kongres Pemuda yang menyatakan komitmen kebangsaan. Semua itu menuju kepada peneguhan kebangsaan.

Dalam soal keagamaan, Haedar melihat belakangan terjadi ortodoksi keagamaan. Dalam akidah dan ibadah, semestinya berlaku prinsip pemurnian, kembali kepada teks. Sementara dalam urusan muamalah, semestinya berlaku prinsip bahwa semua boleh kecuali yang dilarang. Tugas para tokoh keagamaan untuk menyikapi masalah ortodoksi ini.

Haedar juga melihat masalah lainnya adalah respons sektarianisme keagamaan yang menguat, sehingga melahirkan sisi negatif agama. Padahal, energi positif agama jauh lebih banyak dibanding energi negatif. Belakangan ketika agama masuk ke wilayah kebijakan negara, semua menjadi ruwet. Sebab itu, perlu ada rekonstruksi atas permasalahan-permasalahan sosial keagamaan.

“Belakangan, kita sudah cukup sering menggelorakan semangat kebhinnekaan, tetapi jarang merayakan kesatuan.” Perlu ada keseimbangan antara kebhinnekaan dan kesatuan. Akibatnya, misalnya dalam pembelahan politik yang tajam. Ada yang menggemborkan antipolitik identitas, tetapi mempraktekkan politik identitas dalam kenyataan. Semestinya setiap selesai kontestasi politik, perlu ada upaya rekonsiliasi atau deklarasi. Tidak hanya dalam wujud formalistik, tetapi juga mempraktekkan dalam kekuasaan, untuk berlaku adil, terhadap yang mendukung dan yang mengkritik.

Dalam pandangan Haedar Nashir, tidak ada yang salah ketika kekuatan-kekuatan agama atau tokoh agama masuk ke wilayah politik atau kekuasaan. Namun kekuatan agama perlu konsisten dan membuktikan bahwa ketika sudah berada dalam kekuasaan, ia bisa membuktikan nilai-nilai agama yang rahmatan lil alamin.

“Problem keadilan sosial masih menjadi masalah Indonesia,” kata Haedar. Yang dapat menyelesaikan masalah ini sebenarnya adalah negara. Negara punya semua perangkat untuk menyelesaikan kesenjangan sosial. Ketika ada sosok pemimpin yang telah selesai dengan dirinya, dia semestinya bisa untuk menjadi solusi, lepas dari ketersanderaan politik. Memanfaatkan kekuasaan untuk sebesar-besarnya menyelesaikan hajat hidup orang banyak.

Abdul Rohim Ghozali, Direktur Maarif Institute menyebut bahwa kegiatan Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif ini merupakan bagian dari upaya merawat pemikiran dan melanjutkan perjuangan Buya. Kita terdiri dari berbagai latar belakang agama, suku, ras, dan seterusnya. Jika tidak hati-hati, akan menimbulkan konflik. “Seorang Islam yang baik, ia menjadi warga Indonesia yang baik dan pengamal Pancasila.”

Mewakili Pembina Yayasan Fajar Riza Ul Haq menyatakan, merawat pemikiran Buya tidak hanya berarti mengawetkan pikiran yang telah ada, tetapi merawat dengan mendiskusikan kembali dan melakukan otokritik atas gagasan-gagasan Buya Syafii tentang keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan universal. (Ribas/foto: Agus)

Exit mobile version