WAJAH PADA CERMIN, Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

WAJAH PADA CERMIN, Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

Foto: Rendra Purnama/Republika

WAJAH PADA CERMIN, Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

“Bercerminlah, jika engkau ingin mengenali dirimu,” kata Ibu. Dan, kata-kata itu tidak hanya sekali diucapkannya, tapi berkali-kali tiap aku pamit untuk berangkat bekerja. “Bercerminlah tiap kali engkau merasa kehilangan dirimu.”

Kata-kata itu tidak hanya memiliki makna biasa, seperti sekadar bercermin untuk merias wajah, merapikan rambut dan baju. Tapi, bercermin untuk melihat diri sendiri, siapa sesungguhnya diri kita agar tidak lupa pada asal dan tujuan.

Aku jadi ingat pada Khalifah Harun Alrasyid yang dicintai rakyatnya, karena dikenal adil dan bijaksana, sehingga cukup lama memimpin negerinya. Konon, itu karena sang khalifah memiliki cermin rahasia. Tiap menjelang tidur ia selalu bercermin, sehingga selalu ingat siapa dirinya, dari mana asal usulnya dan ke mana tujuan hidupnya. “Kalau kelak engkau jadi pemimpin, teladanilah khalifah Harus Alrasyid,” kata Ibu.

Seperti yang dipesankan Ibu, aku selalu ingin meneladani khalifah Harun Alrasyid, meskipun aku baru pemimpin kecil-kecilan yang hanya memiliki 25 anak buah. Aku mencoba adil dan bijaksana, mencoba memimpin mereka dengan rasa cinta. Bukan memeras tenaga mereka, apalagi menindas. Aku dorong mereka untuk bekerja keras dan berprestasi dalam tugas masing-masing. Aku menghargai mereka dengan pujian dan reward  sesuai peraturan perusahaan tiap  bawahanku menunjukkan prestasi yang bagus. Bekerja adalah ibadah, bahkan jihad. Tapi, adalah zalim jika tidak menghargai prestasi mereka secara professional, pikirku.

“Bercerminlah agar engkau mengenali dirimu sendiri,” kata-kata Ibu terngiang di telingaku.

Tetapi, pada suatu malam, aku menjadi sangat terkejut dan ketakutan ketika melihat wajahku tiba-tiba berubah menjadi seekor kucing. Ya, benar-benar wajah seekor kucing dengan kumis-kumis putih mencuat panjang dari atas mulut dan kedua alisku. Karena tidak percaya pada apa yang kulihat, berkali-kali kuusap dan kuraba wajahku. Rasanya masih normal seperti biasa. Tapi, pada cermin, wajahku tetap tampak seperti kucing.

“Ibu, kenapa wajahku tampak seperti kucing?” kataku sambil mendatangi ibuku yang sedang membaca surat kabar di ruang tamu.

“Kucing bagaimana? Wajahmu masih seperti biasa. Tidak berubah.” Kata ibuku meyakinkan.

“Betul, Bu. Tapi di cermin tampak seperti kucing.”

“Memangnya apa yang kau lakukan di kantor sehari-hari?”

“Bekerja seperti biasa, Bu. Tidak ada yang aneh.”

“Mungkin itu halusinasi.”

“Halusinasi.”

“Kau ingat Danau Pengilon di desa kita dulu?”

“Ya ya, ingat.”

Ya. Di desa kami dulu memang ada danau kecil yang disebut oleh warga desa sebagai danau pengilon (danau cermin). Sebuah danau di sebelah barat desaku yang selalu hadir dalam dongeng-dongeng ibuku. ‘’Nama itu datang dari seorang perwira Mataram,’’ kata ibuku, suatu malam, sambil mengantar tidurku. “Mereka tersesat ke danau itu ketika akan kembali ke Mataram, setelah kalah berperang melawan Kompeni di Batavia.”

Ketika aku kecil, Ibu selalu dapat merangkai kisah-kisah baru tentang danau itu, dan hampir tiap malam menceritakannya padaku. Aku tidak pernah bertanya, apakah cerita-cerita Ibu benar-benar terjadi  atau hanya rekaan belaka. Yang kuingat, cerita-cerita itu selalu menarik dan membuatku sulit untuk melupakannya. Sehingga, tiap kali bercermin aku sering berhalusinasi seperti melihat bayangan wajahku bergoyang-goyang di permukaan danau.

‘’Danau itu dapat membaca sifat dan perilaku manusia,’’ kata Ibu.

‘’Membaca bagaimana, Ibu?’’ tanyaku.

‘’Orang yang ingin tahu sifat dan kelakuannya dapat bercermin pada danau itu,’’ jawab Ibu.

‘’Apa danau itu bisa bicara, Ibu?’’

‘’Tidak. Tapi, orang dapat melihat wajahnya sendiri seperti apa. Orang yang suka mencuri, wajahnya akan tampak seperti musang. Kamu tahu, kan, musang itu suka mencuri ayam?’’

‘’Kalau orang yang malas, seperti apa, Bu?’’

‘’Ya seperti kucing itu, seharian kerjanya cuma tiduran.’’

Pada suatu malam Ibu bercerita tantang seorang kepala desa yang melihat wajahnya seperti musang dan sempat dilihat oleh beberapa koleganya, sehingga ia merasa malu dan bunuh diri mencebur ke danau itu. Pada kali yang lain cerita Ibu lain pula, seperti tiada habis-habisnya. ‘’Orang tak dapat menyembunyikan wajah aslinya di danau itu,’’ kata Ibu.

***

Sampai aku menjadi besar dan keluargaku pindah ke kota, aku tidak dapat memecahkan misteri danau pengilon itu. Aku ingat ketika suatu sore aku mencoba datang sendiri dan bercermin di danau itu. Aku terkejut dan ketakutan, karena pada permukaan air danau itu wajahku tampak seperti wajah anak kucing, bergoyang-goyang pada permukaan danau. Aku berlari pulang dan melaporkannya pada ibuku. Tapi, Ibu hanya menjawab ringan, “makanya jangan jadi pemalas dan kebanyakan tidur.”

Aku tidak tahu apa hubungan danau itu dengan cermin di kamarku, atau pengalaman masa kecilku itu dengan pengalamanku saat ini? Apakah keduanya memang halusinasi, atau karena suatu keajaiban? Kalau ibuku dulu beranggapan bahwa orang tidak dapat menyembunyikan wajah aslinya di permukaan danau itu, apakah demikian juga dengan cermin besar yang aku bawa dari kampung di kini terpampang di kamarku? Atau, apakah aku memang memiliki karakter kucing: dulu ketika aku masih kecil wajahku tampak sebagai kucing kecil di danau itu dan kini tampak sebagai kucing besar di kamarku?

“Ibu, apa sesungguhnya yang terjadi denganku?”

“Engkau sendirilah yang tahu, anakku. Cermin itu hanya pantulan apa yang ada dalam dirimu. Tanyakanlah pada dirimu sendiri.”.

Aku tahu maksud Ibu, tapi aku tidak dapat memahami diriku sendiri? Pada bagian manakah, atau sifatku yang manakah, yang seperti kucing? Rasanya semua baik-baik saja. Aku sangat rajin bekerja, bahkan lebih keras dari yang lain. Aku juga tidak pernah mencuri ikan seperti kelakuan kucing, apalagi korupsi. Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi pada diriku?

“Hanya engkau sendiri yang tahu. Tanyakanlah pada dirimu sendiri!” kata-kata Ibu terngiang di telingaku. “Bercerminlah, jika engkau ingin mengenali dirimu!”

***

Ya, aku sudah bercermin dan selalu bercermin. Tapi, kenapa yang kutemukan selalu kucing dan kucing?

“Ha…, itu dia kucingnya!” teriak kawan-kawanku ketika aku masuk kantor agak terlambat dan beberapa kawan sudah berkumpul di ruanganku, termasuk beberapa anak bauhku, entah mereka sedang membicarakan apa?

“Kenapa kalian menyebutku kucing?” sahutku.

“Karena Pak Dhani main kucing-kucingan,” celetuk anak buahku.

“Lho, kucing-kucingan bagaimana?”

“Hubungan Bapak dengan Rukmi itu lho! Bapak sendiri melarang kami berpacaran dengan kawan sekantor, kok Bapak melakukannya secara sembunyi-sembunyi.”

Aku merasa tertohok, tapi mau marah bagaimana, kenyataannya memang begitu. Rupanya selama ini mereka memata-mataiku. “Kan peraturannya memang begitu,” kilahku.

“Kok Bapak melakukannya.”

“Saya serius kok. Saya akan segera menikahinya.”

“Gitu dong, Pak. Isu-isunya sudah menyebar lho!”

Rupanya itu misteri wajah kucing pada cermin kuno di kamarku. Sehabis skandal cintaku terbongkar, sepulang kerja, akupun kembali bercermin. Kali ini bukan wajah kucing yang tampak, tapi muka badut dengan jidat benjol. “Diamput!” umpatku dalam hati.***

Exit mobile version