Haedar Nashir: Ciri Dakwah Muhammadiyah adalah Reformis dan Modernis

Haedar Nashir: Ciri Dakwah Muhammadiyah adalah Reformis dan Modernis

Haedar Nashir: Ciri Dakwah Muhammadiyah adalah Reformis dan Modernis

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dakwah di era sekarang ini harus dinamis, kreatif dan progresif, tapi tetap berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-sunah. Ini adalah pesan dalam tulisan yang terpampang, teguh di dalam gedung Tabligh Institut yang berlokasi di Tamantirto, Kasihan, Bantul. Antik. Ini hanya satu dari tiga tulisan yang ada di lantai tiga. Jangan salah sangka, tulisan tersebut tak lain adalah pesan dari almarhum Prof Yunahar Ilyas dalam rapat kerja nasional Majelis Tabligh Muhammadiyah tahun 2016. Ia sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi tabligh mengimpikan majelis yang dipimpinya dapat menjadi pilar strategi penyebar misa Islam yang berkemajuan.

Bangunan empat lantai tersebut sejatinya sudah rampung pengerjaannya sejak 2020 lalu. Namun baru dapat diresmikan pada Senin, 14 November 2022. Peresmian dihadiri langsung Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Menko PMK Muhadjir Effendy, beberapa jajaran Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di antaranya Dadang Kahmad, Agung Danarto, hingga Agus Taufiqurrahman. Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah KH Tafsir dan Rektor UMY Gunawan Budiyanto.

Menilik sedikit tentang Tabligh Institut. Jika dilihat dari depan, kontruksi gedung cukup menarik. Di depan gedung ada taman yang tumbuh pohon sakura berwarna merah dan putih. Sebagai simbol patriotisme dan kesucian para mubaligh dalam menyebarkan dakwah Islam rahmatan lil alamin. Di atas pintu masuk gedung terdapat tulisan dengan aksara Arab yang kurang lebih memiliki makna “Masuklah dengan keselamatan dan kedamaian.” Dan masih dibagian depan terdapat kolam ikan dengan air yang selalu mengalir, sebagai tanda kehidupan yang dinamis.

Dalam sambutannya, Faturahman Kamal menyampaikan bahwa peran Majelis Tabligh sebagai salah satu pilar strategis dakwah Muhammadiyah sedang menuai tantangan yang berat. Selain diharapkan bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, juga dituntut memberikan peran maksimal di era digital yang sangat dinamis.

“Pada Muktamar di Makassar, Majelis Tabligh menginisiasi untuk menghidupkan kembali tradisi lama yang dulu pernah ada. Kulliatul Mubalighin. Oleh karena itu pada tahun 2019 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Tabligh Institut dan pada Februari 2020 dinyatakan selesai. Bangunan empat lantai tersebut akhirnya berdiri di atas lahan seluas 2000 mater,” ujarnya.

Menurut Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah itu, fenomena keberagamaan masih menjadi tantangan tersendiri yang perlu dijawab melalui pendekatan dakwah yang inklusif dengan menyiapkan generasi penerus dakwah yang tangguh, teguh dengan keimanan dan memiliki cakrawala keilmuan yang luas. Tentu hal ini tidak bisa dilakukan sendiri. Perlu ada kerja kolaboratif untuk merangkul semua pihak demi dakwah yang dapat menjangkau masyarakat yang berada gang-gang sempit kehidupan.

Dalam orasi singkatnya Haedar Nashir meminta sejarah berdirinya Tabligh Institut dapat menjadi panduan dan sekaligus semangat bagi mubaligh Muhammadiyah dalam mempraktekkan dakwah Muhammadiyah yang reformis dan modernis. Yaitu Mubaligh yang bercirikan pembaharu serta lekat dengan teknologi terkini.

“Dengan hadirnya Tabligh Institut kita perlu melakukan reorientasi dakwah Muhammadiyah yang saat ini terjadi diskontiunitas,” tuturnya.

Diskontiunitas yang Haedar maksud bahwa dalam dakwah Muhammadiyah akhir-akhir ini sering kali menunjukkan wajahnya yang garang dan keras (nahi mungkar). Sedangkan dakwah amar makruf yang lebih menonjolkan sifat mengajak serta mengayomi cenderung ditinggalkan, atau bahkan dihilangkan. Dikesampingkan. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan sepulangnya dari haji kedua, dakwahnya mengayomi siapa saja tanpa melihat status sosial dan agama.

Dalam hal ini Muhamadiyah perlu mengorientasikan Islam yang cinta damai dan sesuai dengan zaman. Karena Islam dan Muhammadiyah di masa KH Dahlan menjadi fenomena yang sangat luar biasa. Bagaimana sosok Dahlan lahir dan dibesarkan dalam kultur Jawa yang sangat kental di Kampung Kauman. Kemudian tumbuh dan keluar sebagai pembaharu Islam dengan pikiran yang melampaui zaman. “Hidup itu tumbuh, begitu juga alam pikiran warga Muhammadiyah juga harus tumbuh sebagaimana yang dicontohkan Kyai Dahlan dulu,” tegasnya.

Di tengah orasinya yang diiringi hujan di luar gedung, ada satu hal yang mengusik pikiran. Haedar khawatir, di tengah berkembangnya pikiran yang maju dan modern warga Persyarikatan, pertumbuhan itu kemudian terkunci dan tak lagi berkembang saat yang bersangkutan menjadi mubaligh. Mungkin karena terlalu terpaku kepada aspek bayani. Mengabaikan burhani dan irfani. Kemudian ada realitas sosiologis yang terbatas dan mengekang di dalam diri.

Haedar menambahkan, dalam melakukan dakwah, seorang mubaligh harus memahami sosiologi dan psikologi dakwah. Khususnya sosiologi dakwah orang-orang yang berkuasa serta orang-orang yang kaya. Haedar meminta para mubaligh memahami dan sekaligus menguasai hal ini. Jika tidak maka besar kemungkinan seorang mubaligh akan salah memposisikan diri. Ada realitas psikologi dan sosiologi masyarakat yang terfragmentasi begitu rupa yang harus dipelajari oleh para mubaligh Persyarikatan yang menjadi anak panah di Masyarakat.

“Jika kita memposisikan diri sebagai musuh, tentu dakwah kita akan tereliminasi dari arus besar kehidupan bangsa. Saya yakin dengan hadirnya Tabligh Institut dapat menjawab tantangan ini. Sebagaimana yang telah di gagas dalam Muktamar ke-46 di Yogyakarta bahwa dakwah Muhammadiyah harus bergeser dari dakwah yang bersifat konfrontatif menuju dakwah yang proaktif, konstruktif dan solutif,” tutupnya. (diko)

Exit mobile version