Bebaskan Pelajar dari PR Sekolah, Begini Tanggapan Kepala SD Mudipat Surabaya

Bebaskan Pelajar dari PR Sekolah, Begini Tanggapan Kepala SD Mudipat Surabaya

Bebaskan Pelajar dari PR Sekolah, Begini Tanggapan Kepala SD Mudipat Surabaya

SURABAYA, Suara Muhammadiyah – Mulai 10 November 2022 seluruh siswa SD dan SMP di Surabaya bebas dari beban mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Penghapusan PR itu bertujuan agar murid memiliki waktu lebih untuk bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya.

Ketika diwawancarai di gedung Achmad Dahlan Education Center (ADEC) lantai 2 SD Mudipat, Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang Surabaya, Edy Susanto, M.Pd. memaparkan, pembelajaran tanpa PR tersebut merupakan sebuah kemajuan pendidikan di Surabaya.

“Menurut saya itu kebijakan yang strategis dan tepat sekali. Kegiatan PR untuk anak-anak di SD Muhammadiyah 4 Surabaya sudah dihapus tahun 1995, dengan istilah pembelajaran secara total, menuntaskannya disekolah”, terang Edy.

Masih Edy, “tahun 2016 SD Mudipat saya kuatkan lagi bahwasanya siswa tidak dibebani PR, dari 1.500 siswa hanya dua yang mau ada PR”.

“Bahwa pendidikan itu tidak selalu identik dengan belajar yang namanya akademik dimana Ki Hajar Dewantara memberikan sebuah konsep pendidikan ada tiga antara lain, dikeluarga, sekolah, dan mayarakat untuk mengasah kecerdasan sosial anak”, papar Edy.

Lanjut Ketua LSBO PDM kota Surabaya, keberhasilan anak tidak hanya dari akademik, dari non akademik juga banyak, anak-anak dari life skill juga banyak yang berhasil, jadi harus dipetakan kemampuan anak.

“Bekal yang paling bagus yaitu dapat bermasyarakat dengan baik, serta kedekatan terhadap orang tua, harus ada keseimbangan untuk penguatan karakter di jenjang SD-SMP dengan pendidikan wajib 9 tahun dari SD sampai SMP harus nyambung terkait keberhasilan anak tidak hanya dari akademik,” pungkasnya.

Lanjutnya, Edy Susanto mempunyai tiga konsep keberhasilan anak di antaranya. Pertama, anak-anak harus dibekali adaptasi dengan lingkungan dan perubahan. Kedua, anak harus dapat mengendalikan diri, anak pintar namun emosinya tinggi akan gagal. Ketiga, pengembangan diri anak itu penting, bisa akademik dan non akademik (life skill).

“Sistem mengajar hanya dengan konsep akademik merupakan konsep yang kuno dan sudah tertinggal di era abad 20, sekarang kita sudah memasuki abad 21 jadi harus bisa menyeimbangkan antara akademik dan non akademik atau life skill anak,” tutup Edy Susanto. (Yuda Panuluh)

Exit mobile version