SOLO, Suara Muhammadiyah – Hari kedua Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan ke-4 Maarif Institute (13/11) masih berlangsung di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Solo. Acara sesi kedua diisi oleh Zuly Qodir yang berbicara tentang “Politik Identitas, Agama, dan Warga”.
Pembicaraan tentang politik identitas dimulai dengan pendalaman konsepsi tentang identitas. Bentuk-bentuknya bisa berupa identitas agama, politik, kultur, dan gender. Yang mana dari keempat bentuk identitas tersebut adalah hak asasi manusia untuk dijaga dan diakui bersama.
Meminjam dari Avigail Eisenberg, ruang-ruang kolektif untuk menjaga hak asasi manusia tersebut, di tataran negara misalnya, diberikan dalam bentuk-bentuk pendidikan, perumahan, hingga kesehatan. Artinya, perwakilan negara pada berbagai sektor mesti menjamin pengakuan setiap identitas yang dianut warga negaranya.
Pengakuan ideologi juga seharusnya dijamin dalam ruang-ruang sosial dengan berbagai skala. Mengingat, komposisi ruang sosial selalu terdiri atas total kelompok dengan identitas mayoritas dan minoritas.
Stabilitas sosial akan menjadi masalah ketika Si Mayoritas memunculkan gelagat chauvinisme atau bentuk ekspresi diskriminatif terhadap terhadap Si Minoritas. Akibatnya, Si Minoritas akan berstrategi “menyamarkan” identitas.
Ekspresi “menyamarkan” identitas ini merupakan tanda bahwa ketidakadilan terhadap kelompok tertentu sedang terjadi. Sebab, ruang sosial yang stabil ditandai dengan kebebasan berekspresi para anggota sosialnya.
Hal ini dicontohkan oleh seorang peserta SKK ASM IV asal Palangkaraya yang berbagi cerita tentang lingkungan tempat tinggal dan keluarganya. Di mana para anggota keluarganya memiliki keragaman identitas agama, seperti awam terjadi di tetangganya.
Lalu, bagaimana dengan “politik identitas”? Mayoritas maupun minoritas sama-sama berpotensi melakukan politik identitas. Setiap kelompok pun sebenarnya memiliki hak atas politik identitas ini. Namun, permasalahannya, sering kali politik identitas lebih digunakan untuk tindakan negatif.
Contoh besar yang kita tahu adalah permainan politik identitas dalam penyelenggaraan pesta demokrasi. Tidak menutup kemungkinan justru kelompok mayoritaslah yang memainkan peran ini untuk mendulang suara dengan menciptakan “hantu-hantu lawan” politiknya.
Zuly Qodir mengingatkan, “Tidak menutup kemungkinan 2024 atau setidaknya pertengahan 2023 politik identitas kembali dimainkan dalam pemilu mendatang.” Apalagi hasutan politik identitas dalam tipu muslihat pemilu bisa menimpa siapa saja, dari berbagai golongan ekonomi, baik di desa maupun perkotaan.
Cara menanganinya adalah apa yang dikerjakan Maarif Institute ini, dengan mengisi pemahaman tentang perbedaan dan menggelar dialog-dialog antarkelompok. (yayum kumai)