Prospek dan Masa Depan Ekonomi Islam

Prospek dan Masa Depan Ekonomi Islam

Prospek dan Masa Depan Ekonomi Islam

Prospek dan Masa Depan Ekonomi Islam

Oleh: M. Fathoni Yasin *)

Sebentar lagi KTT G20 akan digelar di Bali, tepatnya pada tanggal 15-16 November 2022 dengan tema “Recovery Together, Recovery Stronger”, di mana tema sentral ini dimaksudkan untuk bersama-sama bangkit dari keterpurukan negara-negara G20 akibat pandemi covid-19 yang telah berlangsung sejak hampir tiga tahun yang lalu. KTT G20 ini tentunya menjadi momentum penting bagi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia untuk bekerja sama menghadapi tantangan ekonomi dunia ke depan yang tampaknya akan tidak mudah. Bahkan di depan mata, resesi ekonomi dunia telah membayangi banyak negara, yang diprediksikan akan terjadi di tahun depan. Hal ini disebabkan terutama oleh ketidakstabilan politik akibat perang dan konflik, krisis pangan dan energi, bencana alam akibat pemanasan global, serta pandemi covid-19 yang belum benar-benar pulih.

Berbagai tantangan krisis tersebut tentunya tidak lepas dari pilihan masyarakat dunia terhadap sistem dan nilai yang telah dibangun dan diaplikasikan selama ini. Hal ini sekaligus akan menjadi ajang pembuktian tentang seberapa digdayanya pilihan sistem kapitalisme yang telah diterapkan oleh hampir semua negara dapat mengatasi setiap persoalan dunia saat ini dan tantangannya dalam beberapa dekade ke depan. Atau sebaliknya, masyarakat dunia sudah perlu mulai membuka diri dengan konsep alternatif lain yang lebih relevan dengan perkembangan dunia di masa mendatang.

Kita semua tahu, ketika Komunisme Uni Soviet runtuh dan Sosialisme tidak laku lagi, maka semua meyakini bahwa kapitalisme menjadi satu-satunya sistem nilai yang paling sempurna yang dijalankan oleh hampir seluruh masyarakat dunia saat ini. Namun dalam perjalanannya sistem ini juga tidak sesempurna yang diharapkan -kalau tidak mau disebut gagal- dalam menjalani prakteknya. Fakta yang terjadi menggambarkan bahwa kapitalisme tidak bisa mengatasi kemiskinan, ketimpangan sosial, kesenjangan, dan kejahatan ekonomi yang sistematis yang menyebabkan instabilitas politik dan kerusakan lingkungan yang masif.  Sistem kapitalisme yang “kering” dengan nilai etika dan moral yang mengedepankan kepentingan individu, menyebabkan timbulnya berbagai ekses negatif. Distribusi ekonomi yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya secara leluasa sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi semakin miskin, akibatnya terjadi kesenjangan yang semakin melebar dan masif yang tidak pernah selesai hingga hari ini.

Ekonomi Islam Sebagai Alternatif Pilihan

Islam sebagai agama yang sempurna (syamil) yang mengatur seluruh kehidupan tidak diragukan lagi, seharusnya dapat menjadi solusi yang tepat bagi semua persoalan kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Yusuf Qardhawi, dalam Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami mengatakan bahwa Islam itu lebih integral dari sekedar agama. Islam adalah agama dan dunia, ibadah dan mu’amalah, aqidah dan syari’ah, kebudayaan dan peradaban, agama dan negara. Kita tidak membahas ekonomi dari sudut agama, akan tetapi dari sudut Islam. Oleh kerena itu tidaklah mengagetkan apabila para ahli fiqih dan ahli ushul fiqih menjadikan agama (ad-dien) sebagai salah satu dari lima hal yang bersifat dharuri, yang harus dijaga dalam syariat, yaitu: agama (ad-dien), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturanan (an-nasl), dan harta (al-maal).

Jika ekonomi Islam memang benar menjadi bagian dari ajaran Islam yang itegral itu, lantas apa karakter utama sistem ekonomi ini yang membedakan dengan ekonomi konvensional? Lebih lanjut Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa ada empat nilai utama dalam ekonomi Islam, yaitu: Rabbaniyah, Akhlak, Kemanusiaan, dan Pertengahan. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian dari karakteristik syariat Islam dan keunikan peradaban Islam. Atas dasar itu, kita menyatakan dengan penuh keyakinan bahwa ekonomi Islam berbeda dengan yang lainnya. Ia adalah ekonomi ilahiyah, ekonomi berwawasan kemanusiaan, ekonomi yang berakhlak, dan ekonomi pertengahan. Makna dan nilai-nilai pokok yang empat ini memiliki cabang, buah, dan dampak bagi seluruh segi ekonomi dan muamalah di bidang harta berupa produksi, distribusi, dan konsumsi. Semuanya dibentuk dengan nilai-nilai tersebut, sebagai cerminan darinya, ataupun penegasan baginya.

Ekonomi Islam adalah ekonomi Ilaihiyah, karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Allah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Seluruh kegiatan ekonomi, baik produksi, distribusi dan konsumsi, diikatkan pada prinsip-prinsip ilahiyah. Di samping itu, yang paling fundamental dalam konteks ini adalah adanya prinsip istikhlaf (perwakilan) dalam harta, yaitu nilai yang menetapkan bahwa sesungguhnya manusia itu hanyalah “wakil” dalam mengelola harta milik Allah. Seorang muslim yakin bahwa ia adalah makhluk Allah, ia beramal dan bekerja di bumi milik Allah, dengan kemampuan yang diberikan Allah, dengan alat-alat yang dikaruniakan Allah dan harus sejalan dengan aturan-aturan dari Allah. Sedangkan apabila setelah itu seseorang memperoleh harta, maka harta itu adalah harta Allah, Dia-lah yang menciptakan dan memilikinya, manusia hanyalah wakil dan pemegang Amanah dari Allah terhadap harta tersebut.

Ekonomi Islam adalah ekonomi akhlak, karena antara ekonomi dan akhlak tidak boleh terpisahkan sama sekali, sebagaimana antara ilmu dan akhlak, antara politik dan akhlak, maupun antara perang dan akhlak. Kesatuan antara ekonomi dan akhlak akan sangat jelas pada langkah-langkah ekonomi, baik pada produksi, distribusi maupun konsumsi. Seorang muslim tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya karena semata-mata mengejar keuntungan sebab ia terikat dengan akhlak. Demikian pula dalam hal mendistribusikan maupun mengkonsumsi produk, ia juga terikat oleh akhlak dan tidak bebas nilai.

Ekonomi Islam adalah ekonomi kemanusiaan, hal ini seolah-olah terjadi paradoks dengan ekonomi ilahiyah. Sebagian orang berpendapat bahwa aspek kemanusiaan bertentangan dengan aspek ilahiyah. Hal ini tidaklah benar, antara keduanya tidak ada yang bertentangan sama sekali. Jika prinsip-prinsip ekonomi Islam berlandaskan Al-Quran dan Sunnah yang merupakan nashnash ilahiyah, maka manusia adalah pihak yang mendapatkan arahan (mukhathab) dari nashnash tersebut. Manusia berupaya memahami, menafsirkan, menjabarkan, menganalogikan (qiyas), dan menerjemahkan dalam bentuk amal, kreasi dan inovasi untuk kemaslahatan kehidupan manusia yang lebih baik.

Ekonomi Islam adalah ekonomi pertengahan. Ciri khas pertengahan ini tercermin dari keseimbangan yang adil antara hak individu, masyarakat, dan negara. Sistem ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat -terutama kaum lemah- seperti yang dilakukan oleh sistem kapitalis, tidak pula menganiaya hak-hak dan kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh sistem komunis dan sosialis. Akan tetapi pertengahan di antara keduanya, tidak menyia-nyiakan dan tidak berlebih-lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan berbagai pihak.

Pakar Ekonomi Islam, Umer Chapra, dalam Pemikiran M. Umer Chapra Tentang Masa Depan Ekonomi Islam, mendefenisikan ekonomi Islam sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi selaras dengan maqashid syari’ah, tanpa mengekang kebebasan individu. Ekonomi Islam ditetapkan bertujuan untuk memelihara kemaslahatan hidup manusia yang berkembang secara dinamis.

Chapra, dengan basis kepakarannya juga di bidang ekonomi konvensional, mampu menjelaskan pemikirannya tentang ekonomi Islam lebih rinci dengan menghadirkan kritik yang tajam terhadap kegagalan ekonomi kapitalis dengan logika pemikiran ekonomi konvensional, dan menawarkan solusi dengan pendekatan ekonomi Islam. Di antara gagasan yang ditawarkan oleh Chapra adalah: Melaksanakan prinsip-prinsip paradigma Islam yaitu: Rational economic man atau multiple ownership: di mana keinginan manusia harus berlaku secara rasional dalam menggunakan sumber daya alam karena itu milik Allah, sedang manusia hanya diberi amanah untuk mengelolanya. Keadilan (social justice): Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat dan menciptakan keseimbangan antara yang kaya dan yang miskin. Dengan keadilan, negara akan berkembang makmur karena semua memperoleh hak sesuai porsinya. Restrukturisasi ekonomi dengan cara memperkuat nilai-nilai dan moralitas dengan mereformasi sistem ekonomi demi keadilan dan stabilitas ekonomi. Intervensi negara tetap diperlukan untuk memelihara kemaslahatan yang lebih besar, dan kebijakan keuangan publik yang melibatkan zakat sebagai jaring pengaman sosial, di samping penerapan kebijakan fiskal yang adil.

Ekonomi Islam, Antara Rekonstruksi atau Dekonstruksi

Perkembangan Ilmu Ekonomi konvensiaonal sangat pesat, yang dibangun sejak abad 17 masehi hingga sekarang, sehingga memiliki struktur yang lengkap yang telah diaplikasikan oleh masyarakat di seluruh dunia. Bahkan studi di bidang ekonomi konvensional menjadi yang termaju hingga saat ini dengan berbagai riset dan study di berbagai institusi yang sangat kredibel. Sementara Ilmu Ekonomi Islam masih jauh tertinggal dan bahkan belum menemukan bentuknya yang utuh, meskipun di tataran normatif kita meyakini bahwa ekonomi Islam adalah solusi yang paling sempurna bagi kehidupan pada hari ini dan masa mendatang. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan bangunan ekonomi Islam yang kokoh dan sempurna itu sehingga dapat dioperasionalkan dengan baik dalam mengelola perekonomian kita? Pilihannya apakah dengan melalui cara rekonstruksi, yaitu dengan tetap mengambil hal-hal baik yang ada di bangunan ekonomi konvensional kemudian menyempurnakan dengan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, atau dengan cara dekonstruksi, yaitu dengan meruntukan semua bangunan ekonomi konvensional yang ada dan mengganti seluruhnya dengan bangunan baru ekonomi Islam?

Dalam kaidah fiqih dikenal dengan istilah al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah, yaitu melestarikan hal-hal yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Maka dengan pijakan kaidah ini, konstruksi bangunan ekonomi konvensional yang sudah sangat lengkap itu dapat diperbaiki dengan cara merekonstruksi dengan nilai-nilai Islam yang selama ini diabaikan dalam ekonomi konvensional.

Ketika ditanya mengenai apakah Islam memiliki sistem ekonomi ataupun politik sendiri yang berbeda dengan sistem lainnya, baik dalam sistem atau aturannya, Qardhawi menyatakan: ”Jika yang dimaksud dengan sistem atau aturan dalam bentuk terurai yang mencakup cabang, rincian, dan cara pengaplikasian yang beranekaragam tentang ekonomi Islam, maka saya menjawab ‘tidak ada’. Tetapi jika yang dimaksud adalah gambaran secara global yang mencakup pokok-pokok petunjuk, kaidah-kaidah pasti, arahan-arahan prinsip yang juga mencakup sebagian cabang penting yang bersifat spesifik, maka saya jawab ‘ada’”.

Dari sini dapat kita lihat bahwa Islam memberikan ruang yang luas untuk berkreasi dan berinovasi untuk kemaslahatan kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi, sepanjang hal-hal yang prinsip yang telah diatur dalam Islam tidak ditinggalkan. Dengan demikian cara yang paling rasional adalah bukan dengan dekontruksi, yaitu membangun sistem ekonomi yang baru dari nol dan meninggalkan semua bangunan ekonomi konvensional seluruhnya, akan tetapi dengan melakukan rekonstruksi terhadap ekonomi konvensional terutama dalam meletakkan fondasi nilai-nilai moral dan etika ekonomi Islam separti telah di bahas di atas. Sedangkan tools dan kelengkapan teknis operasional yang secara prinsip tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar nilai ekonomi Islam dapat terus digunakan. Tantangan terbesarnya adalah sejauh mana kemampuan para pakar ekonomi Islam dapat mendetailkan konsep-konsep ekonomi Islam tersebut sehingga siap dioperasionalkan, bukan saja dalam aspek ekonomi mikro seperti di dunia perbankan saja, tetapi juga pada aspek ekonomi makro yang lebih luas, sehingga dapat meyakinkan para pemangku kepentingan termasuk pemerintah, sehingga mendapatkan dukungan secara politik untuk diimplementasikan.

*) Pegiat Sociopreneurship, Kader Aktif Muhammadiyah Kota Depok.

Exit mobile version