Dilematik Purifikasi Dalam Sisi Progresifisme dan Konservatisme
SURAKARTA, Suara Muhammadiyah — Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah, Dr KH Tafsir, MAg melakukan launching buku terbarunya. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah berjudul “Dilema Purifikasi Muhammadiyah: Antara Progresifisme & Konservatisme” di launching di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sabtu (19/11).
Dalam pemaparannya, Tafsir mengatakan bahwa buku ini awal mulanya berasal dari kumpulan tulisan yang lahir dari kegelisahan intelektual dari dalam jiwanya pada tahun 2010. Waktu itu, buku diberi judul “Jalan Lain Muhammadiyah” oleh kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Sepanjang waktu berlalu dan terjadi transformasi kehidupan ada pemikiran jernihnya mengonfirmasi bahwa terjadi ketidaksesuaian di rahim Muhammadiyah.
“Sebagai orang yang terlibat langsung di Muhammadiyah, kemudian studi di pemikiran Islam saya melihat bahwa dalam tanda kutip menurut saya “ada yang tidak pas” di Muhammadiyah dalam praktik yang sekarang ada,” terangnya.
Pendirian Muhammadiyah oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada 18 November 1915 secara substansi ingin melawan kejumudan dalam rangka memberantas taklid buta. Tetapi alam pikir sang Tafsir berikut disertai dengan pengalamannya berkecimpung di organisasi Islam modernis itu, dirinya justru melihat ada sebagian kalangan Muhammadiyah yang terjebak oleh puritan buta.
“Jadi Muhammadiyah itu, mau melawan taklid buta tapi justru menjadi puritan buta. Maka yang terjadi sama-sama butanya. Dari buta ke buta,” katanya.
Hakikat puritan buta dalam tesmak Tafsir ketika saling menjustifikasi ihwal kebid’ahan. Sehingga disini mencerminkan dalam pandangan orang lain bahwa Muhammadiyah diidentikan sebagai organisasi Islam yang nirbudaya dan tradisi. Bahkan lebih anti kepada metode tafsir dan interpretasi.
“Semua dibabat habis atas nama bid’ah. Artinya Muhammadiyah menjadi gerakan yang anti budaya. Bahkan anti tafsir (interpretasi). Jadi menjadi Islam yang anti interpretasi. Dari itu kemudian dibakukan dalam ideologi organisasinya kepribadian Muhammadiyah di dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) seolah-olah menjadi kitab sucinya Muhammadiyah,” tuturnya.
Dilematiknya ketika yang di mafhumi di dalam MKCHM itu sebagai Islam yang autentik dan murni. Dari situ menyebabkan Muhammadiyah menjadi Islam minus tafsir (interpretasi).
“Sehingga semua buku dari teks. Kalau kita coba wawancara itu, yang namanya purifikasi identik dengan tekstualisasi. Kalau tidak ada, langsung ‘kullu bid’atin dholalah. Ini bagi saya kemunduran Muhammadiyah.
Bukan semakin maju tapi semakin konservatik. Sehingga purifikasi Muhammadiyah yang terekspresikan lewat al-taltalkis lam yang asli dan murni dalam MKCHM menimbulkan pemahaman yang sempit, tekstual, anti budaya (interpretasi). Menurut saya ini bertentangan dengan semangat awal Muhammadiyah berdiri,” katanya.
Dalam anggaran dasar Muhammadiyah pertama yang terbit 1914 dan diusulkan 1915 yang disusun pada era kepemimpinan Kiai Haji Ahmad Dahlan, ada dua kata kunci utama. Yakni kata memajukan dan menggembirakan.
“Jadi semangat progresif, semangat kemajuan itu adalah semangat awal Muhammadiyah didirikan. Sehingga tidak ada kata pemurnian, kata purifikasi pada masa awal berdirinya Muhammadiyah. Karena semangatnya adalah semangat kemajuan,” katanya.
Semua itu menyempit ketika MKCHM dimafhumi secara parsial tidak utuh dan komprehensif. Akibatnya, Muhammadiyah menjadi gerakan Islam yang anti budaya dan anti interpretasi.
“Itulah yang kemudian saya sebut Muhammadiyah bukannya menghasilkan Islam yang progresif tapi dari konservatif mau memberantas konservatif tapi dirinya menjadi konservatif juga. Berniat untuk memberantas taklid buta, tapi kemudian terjebak pada puritan buta,” jelasnya.
Semua itu menjadi acuan dari penulisan buku terbarunya ini. Sehingga dibutuhkan penamaan lain di dalam pemahaman purifikasi di Muhammadiyah. Dan yang terpenting adalah cara menggabungkan dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.
“Melihat ini sama sekali bahwa purifikasi bukan tekstualisasi, tapi itu tidak mudah bagi grassroot awal Muhammadiyah, purifikasi bukan tekstualisasi. Inilah yang kita butuh semacam reorientasi baru di dalam Muhammadiyah,” ujarnya.
Purifikasi menurut Tafsir sebagai mencari Islam yang autentik bukan Islam sekadar teks. Perlu diketahui bahwa autentik menegaskan bagaimana paradigma Islam yang sejati dan bagaimana Islam yang murni.
Kemudian, bagaimana cara merespons terhadap budaya. Sebagai gerakan puritan yang kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah Maqbullah. Nyatanya Muhammadiyah menghasilkan tiga dokumen resmi ideologi kebudayaan Muhammadiyah. Yakni apa itu dakwah kultural Muhammadiyah, seni budaya Islam, pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah (PHIWM).
“Melihat ini maka purifikasi dalam budaya bukan penghilangan budaya. Tapi kehilangan nilai-nilai sakral di dalam budaya. Sehingga purifikasi adalah desakalarisasi dalam konteks budaya. Sehingga tidak ada masalah Muhammadiyah akrab dengan budaya. Yang dihilangkannya bukan budaya, tapi nilai sakralnya,” tukasnya. (Cris)