Mohammad Ali: Haedar Nashir Bapak Teolog dan Ideolog Bangsa

Mohammad Ali: Haedar Nashir Bapak Teolog dan Ideolog Bangsa

SURAKARTA, Suara Muhammadiyah – Hari terakhir Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah, Suara Muhammadiyah (SM) melaksanakan kegiatan launching dan buku. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Minggu (20/11). Buku yang dilaunching dan dibedah itu berjudul “Indonesia: Ideologi dan Martabat Pemimpin Bangsa” karya Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah terpilih masa bakti 2022-2027, Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi yang diterbitkan oleh Penerbit SM.

Sebagai pembedah datang dari Wakil Dekan 1 Fakultas Agama Islam UMS, Dr Mohamad Ali, SAg., MPd. Dalam tesmaknya, Ali mengatakan bahwa buku karya Prof Haedar itu membentangkan aneka problematika kebangsaan, keindonesiaan, dan keumatan yang dikupas secara tajam, terstruktur, dan komprehensif.

Menurutnya kehadiran buku ini dalam bingkai Muhammadiyah menghasilkan setidaknya mampu mencerminkan sebuah pergeseran. Yakni pergeseran dari sosok ideolog Muhammadiyah menjadi ideolog bangsa.

“Jadi dengan buku ini sebetulnya mencerminkan satu pergeseran intelektual, pergeseran konsen ketua kita dari problem-problem ideologi Muhammadiyah masuk pada wilayah ideologi keindonesiaan atau ideolog bangsa,” jelasnya.

Menurutnya buku ini dengan nakhoda Prof Haedar akan membawa bahtera Muhammadiyah berlayar melintasi samudera kehidupan di masa depan. Muhammadiyah telah dan akan terus senantiasa memberikan sumbangsih maupun memberikan panduan arah bagi keindonesiaan.

Tidak hanya itu, Ali mengatakan bahwa kehadiran buku terbarunya Prof Haedar itu mencerminkan bahwa dirinya tidak sekadar dipandang sebagai sosok agamawan yang berpengaruh di kancah dunia, bersamaan dengan itu sebagai sosok teolog sosial.

“Prof Haedar Nashir itu mau memecahkan persoalan-persoalan kebangsaan yang begitu rumit, yang begitu kompleks dari sudut seorang agamawan. Ini yang dalam beberapa referensi disebut sebagai seorang teolog,” katanya.

“Jadi dengan buku ini beliau ingin memberikan satu penjelasan bahwa beliau adalah seorang teolog yang ingin memecahkan persoalan-persolan dengan dimensi agamawi,” imbuhnya.

Menurutnya buku ini mewakili mewakili kegelisahan dan kegundahan Prof Haedar selaku bapak teolog dan idolog bangsa hal ihwal problematika kebangsaan, keindonesiaan, dan keumatan yang belum menemui jalan keluar.

“Beliau secara sabar mengurainya dengan satu demi satu. Mulai dari persoalan masyarakat sendiri dan yang lebih banyak 75 persen yang coba dipetakan terkait dengan bagaimana iktikad berbangsa terutama yang harus dimiliki oleh para pemimpin bangsa,” ujarnya.

Problem kebangsaan, keindonesiaan, dan keumatan yang paling mencolok tertuju pada praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Problem itu tak kunjung selesai setelah memasuki gerbang kehidupan pasca-reformasi bahkan hingga sekarang ini di tengah kemajuan kehidupan abad kontemporer.

“Itu mencerminkan kegelisahan beliau tentang problem-problem kebangsaan, problem-problem sosial yang ada di negara ini yang belum terurai dengan baik,” tegasnya.

Di sini sebagai ajakan kepada seluruh para pemimpin bangsa untuk kembali kepada khittah-khittah berbangsa. Yakni penekanan pada sisi nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya luhur bangsa.

“Ketiga nilai ini harus menjadi fondasi kita ketika kita berbangsa. Memang ada problem misalnya terkait problem agama. Tidak sedikit di antara kaum agamawan yang masih cara pandangnya sempit, sehingga kemudian memunculkan problem-problem sendiri dalam konteks keberagamaan,” pungkasnya.

Tidak sampai di situ, pada waktu bersamaan tatkala memandang agama seolah-olah tidak relevan yang disebut sebagai ekstrimitas. Di sini ada sederet upaya-upaya mereduksi agama. Sehingga kaum agamawan perlu hadir memberikan cara pandang beragama yang berkemajuan, cendekia dan kritis. Tetapi jangan sampai nilai-nilai agama tidak boleh sampai hilang.

Dalam konteks praktik budaya masyarakat belum mencerminkan praktik berbudaya luhur yang dikehendaki oleh Pancasila dan UUD 1945. Sehingga perlu ada proses perbaikan dalam cara pandang dan bagaimana mempraktikan budaya itu menjadi budaya adiluhung.

Lalu nilai-nilai Pancasila harus di implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Jadi tiga nilai ini harus disinergikan dan harus didealitikan untuk membangun Indonesia masa depan. Ketiganya ini tidak ada yang saling bentrok dan berseberangan, tetapi saling memperkuat. Tetapi bagaimana itu terayam sehingga kemudian bisa memberikan visi dan arah Indonesia di masa depan,” ujarnya. (Cris)

Exit mobile version