Kedahsyatan Doa (7)

muhasabah

Foto Ilustrasi

Kedahsyatan Doa (7)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Sangat banyak kisah nyata yang berkenaan dengan kedahsyatan doa. Di samping kisah nyata yang dipaparkan secara padat di dalam artikel Kedahsyatan Doa (1) s.d. Kedahsyatan Doa (6) di Suara Muhammadiyah tentu masih banyak lagi yang lain. Boleh jadi, ada kisah nyata yang dialami oleh keluarga Anda, bahkan, juga Anda sendiri. Boleh jadi pula ada pengalaman teman atau tetangga. Semestinya, kisah nyata tersebut dapat dijadikan pengingat, penguat, bahkan, pendorong peningkatan kualitas iman dan takwa.

Dikatakan menjadi sebagai pengingat karena mungkin selama ini ada yang lupa akan pentingnya doa bagi kesuksesan suatu ikhtiar, tetapi setelah membaca berbagai contoh kisah nyata pada artikel Kedahsyatan Doa menjadi ingat. Karena ingat, selanjutnya doa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari tiap ikhtiar apa pun.

Dikatakan sebagai penguat karena, bagi sebagian di antara kita, doa telah melekat pada setiap ikhtiar apa pun. Setelah membaca berbagai kisah nyata, makin kuatlah keyakinannya bahwa doa mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat.

Tidak mustahil pula pengalaman sendiri dan pengalaman orang lain yang berkenaan dengan kedahsyatan doa dapat menjadi pendorong peningkatan kualitas iman dan takwa. Hal itu ditandai dengan peningkatan kesadaran bahwa manusia sangat lemah di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’aala sehingga makin taat melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya dan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Rasul-Nya. Wujud nyata pengamalannya adalah peningkatan amal saleh, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal

Di dalam Suara Muhammadiyah edisi 2022/11/24, disajikan Kedahsyatan Doa (6). Pada edisi itu disajikan kisah nyata Mas Adi. Ucapan “aamiin”-nya dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala. Dia memperoleh rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang diperoleh teman-teman.

Bukan hanya itu; rezeki Mas Adi diperoleh dengan jalan halal. Berbeda halnya cara teman-temannya. Mereka mengambil perhiasan di bawah puing-puing toko yang terdampak tsunami. Di samping pengalaman Mas Adi yang luar biasa tersebut, disajikan pula sebagian perjalanan hidup Mas Adi.

Sejak kecil dia serius mengaji dan salat. Ketika belajar di SMA, dia aktif di Rohis. Di kampung dia aktivis remaja masjid. Dia tahu kata kunci agar doanya dikabulkan, yakni menaati perintah dan meninggalkan larangan Allah Subhanahu wa Ta’aala sebagaimana dijanjikan-Nya di dalam al-Qur’an surat ath-Thalaq (65) 2, 3, dan 4, yang artinya, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar … Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. …. Dan barangsiapa yang betakwa kepada Allah, nisca­ya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusan­nya.”

Allah Subhanahu wa Ta’aala memuliakan Mas Adi karena ketakwaannya. Apa yang kita rasakan jika dimuliakan oleh sesama manusia? Sangat senang! Apalagi, dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala!

Kita pasti ingin mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’aala karena mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’aala, pasti mulia di mata manusia. Mas Adi insya-Allah menjadi orang yang telah dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala dan dimuliakan juga oleh sesamanya, lebih-lebih keluarganya.

Sebaliknya, mulia di mata manusia, belum tentu mulia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’aala. Oleh karena itu, kita harus yakin bahwa jika kita melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan meninggalkan larangan-Nya pasti mulia di mata manusia. Tidak ada perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala yang mendatangkan keburukan. Sebaliknya, semua yang dilarang-Nya pasti mendatangkan keburukan. Banyak contoh kisah nyata yang berkenaan dengan keberkahan rezeki yang diperoleh melalui jalan halal dan ketidakberkahan rezeki yang diperoleh melalui jalan haram. Rezeki yang diperoleh melalui jalan halal mendatangkan kebahagiaan yang sebenarnya, sedangkan rezeki yang diperoleh melalui jalan haram mendatangkan kesengsaraan.

Dari uraian dan contoh yang dipaparkan pada Keadahsyatan Doa (1) s.d. Kedahsyatan Doa (6), kita ketahui bahwa berdoa, didoakan, dan ikhtiar merupakan satu kesatuan. Di dalam Islam berdoa tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Siapa pun memerlukan doa orang lain―atau didoakan orang lain― apalagi doa dari orang saleh. Ikhtiar pun wajib dilakukan karena tidak setiap orang diberi tahu oleh Allah Subhanahu Ta’aala tentang sesuatu yang akan terjadi atau akan dialaminya. Berdoa dan berikhtiar harus kita pahami sebagai ibadah karena melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya.

Pengaruh Doa terhadap Berbagai Aspek Kehidupan

Hal paling penting yang harus diyakini adalah bahwa kedahsyatan doa itu nyata. Keyakinan itu berpengaruh positif yang luar biasa pada berbagai aspek kehidupan manusia.

Pada dasarnya berdoa adalah permohonan dari manusia sebagai makhluk kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala sebagai khalik agar segala yang diinginkannya terjadi atau terwujud dan segala yang tidak diinginkannya tidak terjadi. Dengan demikian, manusia yang mau berdoa hakikatnya menyadari sepenuhnya bahwa dirinya sangat lemah di hadapan-Nya. Tidak ada daya apa pun padanya, kecuali atas pertolongan-Nya.

Sebaliknya, manusia yang tidak mau berdoa adalah manusia yang sombong. Mereka merasa dirinya mampu mengatasi segala persoalan kehidupan. Di dalam kenyataan tidak demikian halnya.

Banyak kisah nyata yang dapat kita jadikan pelajaran berharga. Yoshiki Sasai (Jepang), Alan Turning (Inggris), Wallace Carothers (Amerika), Victor Meyer (Jerman), dan David Kelly (Inggris) merupakan 5 dari sekian banyak ilmuwan masyhur yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bagi orang yang beragama, pertiswa itu menjadi bukti bahwa mereka jenius, tetapi gagal menyelesaikan masalah hidup dengan cara yang baik.

Bagaimana dengan B. J. Habibi? Kisah hidupnya ketika menimba ilmu di Jerman dapat menjadi inspirasi. Beliau taat mengamalkan Islam. Berdoa, berzikir, dan berikhtiar baginya merupakan satu kesatuan. Dengan pemahaman yang demikian, ilmunya bermanfaat bagi mayarakat luas. Beliau sudah wafat, tetapi ilmunya tetap bermanfaat.

Para pendidik yang ketika menuntut ilmu mempunyai pemahaman dan pengamalan sama dengan Habibi menyadari bahwa tanggung jawabnya tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Oleh karena itu, mereka ingin agar ilmunya bermanfaat di dunia dan di akhirat. Ilmunya itu menjadi sumber pahala yang mengalir meskipun mereka sudah wafat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

عن أبي هريرة رضي الله عنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلاَّ مِنْ ثَلاَثَةِ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh.” (HR Muslim)

Oleh karena itu, mereka tidak sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan berbagai nilai agar peserta didiknya cerdas secara utuh, yakni cerdas intelektual, emosi, sosial, dan spiritual. Mereka mendidik dengan penuh kasih sayang. Bagi peserta didiknya, mereka menjadi teladan, terutama dalam hal akhlak. Mereka menasihati dengan hati dan mencegah kemunkaran bukan dengan kemarahan. Mereka selalu mendoakan peserta didiknya agar memperoleh kesuksesan dunia akhirat.

Ada di antara mereka yang tidak sungkan-sungkan mencari informasi tentang peserta didiknya yang tidak masuk sekolah atau membolos. Dengan senang dia pun melakukan home visite. Jika memperoleh informasi dari orang tuanya bahwa peserta didik yang dicarinya tiap hari pamit ke sekolah, dia pergi ke tempat-tempat yang sering dijadikan tempat “nongkrong” ABG. Pernah juga dia berhasil menemukan peserta didik pada jam efektif belajar, tetapi malahan asyik berpacaran di terminal.

Jika diketahui bahwa peserta didiknya sering tidak masuk sekolah karena “tidak punya sangu”, dia membantunya. Bahkan, ketika dia naik kendaraan umum pun, ada peserta didiknya yang berani minta uang transpor untuk pulang, dia pun memberinya. Tentu saja, kejadian itu membuat pengemudi dan penumpang lain geleng-geleng kepala.

Sering beberapa peserta didiknya pada hari Jumat datang ke rumah. Tanpa ragu-ragu di antara mereka ada yang meminjam sarung untuk salat Jumat.  Selepas salat Jumat, mereka dijamu. Kesempatan itu digunakannya juga untuk menasihati dan mendoakannya.

Semua itu dilakukannya sejalan dengan doanya sebagaimana terdapat di salam al-Qur’an surat al-Kahfi (18): 10,

رَبَّنَآ اٰتِنَا مِنْ لَّدُنْكَ رَحْمَةً وَّهَيِّئْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا

“Ya, Tuhan kami! Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.”

Berdasarkan isi doa itu, karena pendidik, dia berusaha mengamalkan amanah sebagai pendidik secara total dengan penuh penghayatan dan bersandar pada perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya.  Untuk menguatkan hatinya di dalam pelaksanaan amanah itu, dia mohon pertolongan kepada Allah dengan doa, misalnya,

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

“Wahai, Yang Mahahidup dan Maha Terjaga, dengan rahmat-Mu aku mohon pertolongan; perbaikilah segala urusanku, dan janganlah Engkau limpahkan (semua urusan) terhadap diriku walau sekejap mata”. (HR Hakim yang disahihkan dan disetujui oleh Dzahabi)

Dia bahagia yang tidak ternilai dengan rupiah ketika usahanya mendidik mencapai tujuan, yakni terjadinya perubahan perilaku pada peserta didik: dari sering terlambat masuk sekolah menjadi tepat waktu; dari sering membolos menjadi tidak lagi; dari berpakaian tidak rapi menjadi rapi; dari berperilaku tidak sopan menjadi sopan; dari berani berbohong menjadi berani jujur.

Ada kisah nyata yang berkenaan dengan kedahsyatan doa dan ikhtiar pendidik yang disajikan di dalam Kedahsyatan Doa (7) ini dengan harapan dapat menjadi pembelajaran.

Terima Surat Cinta

Sekitar tahun 90-an. Jelas, gawai belum memasyarakat seperti sekarang ini. Komunikasi tulis lazim dlakukan melalui surat-menyurat. Untuk urusan pribadi, surat lebih lazim ditulis tangan.

Saya sangat terharu ketika ikut membaca surat yang ditulis tangan oleh murid istri saya. Dia menjadi salah seorang perajurit TNI yang memperoleh tugas PBB sebagai Pasukan Penjaga Perdamaian di Kamboja. Waktu itu terjadi konflik Kamboja-Vietnam.

Tanpa saya sadari kelopak mata sedikit demi sedikit mulai basah. Lalu, air mata itu berubah menjadi butir-butir air mata. Butir-butir air mata itu menurun pelan ke pipi. Saya belum terbiasa mengusapnya dengan tisu karena waktu itu memang belum menjadi kebiasaan umum. Sebagai gantinya, kedua telapak tangan.

Seperti ada yang berhenti di tenggorakan dan menyumbat. Tidak sepatah kata pun dapat keluar dari mulut. Istri saya pun mengalami hal yang sama.

Mas Gun, sebut saja begitu, saya bayangkan ketika menulis surat ini beberapa kali berhenti. Kertas yang ditulisnya basah karena tetesan air matanya. Lalu, digantinya dengan kertas baru. Kadang-kadang terhenti karena sulit menemukan kata-kata yang sesuai benar dengan perasaannya.

“Terima kasih, Bu Mam.” Begitu dia biasa menyapa istri saya.  “Kalau saja saya dulu tidak mau mendengarkan nasihat Ibu, saya tidak mungkin jadi begini.” Tulis Mas Gun selanjutnya.

“Alhamdulillah!” desah istri saya sambil menyeka air matanya dengan tangan.

“Inilah kekayaan guru yang tidak mungkin terbeli dengan uang. Muridnya mau mendengarkan nasihat dan menjadi orang yang pantas disyukuri dan dibanggakan.” Saya sangat terharu, tetapi ikut bersyukur dan bangga juga.

“Ya, Pak. Saya bersyukur sekali. Bangga! Semoga istikamah, ya, Pak!” Ya, selalu dari mulutnya keluar doa untuk kebaikan peserta didiknya.

“Aamiin!’ saya mengamininya.

Saya belum mengenal pragmatik. Namun, maksud Mas Gun dengan kalimat  Kalau saja saya dulu tidak mau mendengarkan nasihat Ibu, saya tidak mungkin jadi begini dapat saya pahami dengan baik. Berdasarkan konteksnya, ketika menjadi peserta didik, dia perlu mendapatkan perhatian khusus dan perlu dinasihati secara khusus pula dan dia pun mau mendengarkan nasihat itu. Setelah menjadi anggota TNI dia merasakan manfaat mau mendengarkan nasihat itu.

Kisah nyata itu kiranya baru merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kisah nyata kedahsyatan doa pendidik kepada peserta didik dan ikhtiar maksimal demi kesuksesannya. Jika dipahami dari sudut  pandangan Islam, sesungguhnya pendidik yang demikian bukanlah pendidik yang luar biasa. Memang begitulah seharusnya. Dikatakan demikian karena kebaikan yang dilakukannya pada akhirnya kembali kepada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’aal berfirman di dalam surat al-Isra (17): 7,

اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ

“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.”

Istikamah Mengajak Berbuat Kebajikan

Pendidik yang menghayati profesinya pasti selalu mengajak berbuat kebaikan dan mencegah berbuat keburukan. Mereka sadar bahwa amar makruf nahi munkar itu merupakan amanah yang wajib dilaksanakannya dengan niat beribadah. Kedua-duanya itu dilakukan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di lingkungan tempat tinggalnya. Lebih-lebih lagi, di rumahnya.

Memang tidak selalu amal kebaikannya itu dibalas dengan kebaikan juga meskipun mereka melakukannya dengan yang baik. Di sekolah mereka bermaksud baik misalnya menegakkan kedisiplinan. Mereka tidak sekadar menasihati secara persuasif peserta didiknya, tetapi juga meneladaninya, yakni menjadi teladan. Lebih dari itu, mereka mendoakan agar peserta didiknya disiplin.  Namun, ketika memberikan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku, belum tentu disikapi dengan baik oleh peserta didiknya, bahkan, oleh orang tua peserta pendidik. Lebih memprihatinkan lagi, sebagian warga masyarakat pun menyikapinya jauh dari harapan.

Pernah terjadi orang tua peserta didik justru membayar penasihat hukum untuk memolisikan pendidik yang telah memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang jelas-jelas melanggar peraturan sekolah yang sudah ditandatangani oleh orang tua peserta didik itu. Ada pula pendidik yang dirundung oleh peserta didik karena telah menasihati atau menegurnya, padahal tindakan itu dilakukannya sebagai ikhtiar mengubah dari perilakunya yang buruk agar menjadi baik.

Pendidik yang paham betul akan amanah yang diembannya, tetap bersemangat mengajak berbuat kebaikan dan mencegah berbuat keburukan. Mereka hanya berharap memperoleh rida Allah Subhanahu wa Ta’aala. Mereka sadar sepenuhnya jika berharap memperoleh balasan dari sesama manusia, lebih sering kecewa.

Ada keyakinan yang kuat bahwa balasan kebaikan dari Allah Subhanahu wa Ta’aala jauh    lebih baik sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala, antara lain, di dalam surat an-Nahl (16): 97 .

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang lebih baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Di antara pahala yang lebih baik itu ada yang langsung diterima ketika hidup di dunia, bahkan, sampai anak cucunya pun ikut menerimanya.

Ketika beliau wafat, banyak orang bertakziyah. Sampai beratus-ratus tahun, bahkan, beribu-ribu tahun setelah wafat pun dia tetap memperoleh doa kebaikan tidak hanya dari sesama manusia, tetapi juga makhluk lain . Rasulullah shallallahu ‘alaihi waasallam di dalam HR Tirmizi bersabda, yang artinya, “…. Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan penduduk bumi, hingga semut dalam lubangnya, serta ikan bersalawat kepada orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”

Pengaruh positif kedahsyatan doa dapat juga dirasakan oleh siapa pun dan berprofesi apa pun. Jika ada di antara kita yang sudah berdoa, didoakan, dan berikhtiar, tetapi belum merasakan pengaruh positif yang luar biasa,  tetaplah husnuzan kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala karena Dia Mahatahu yang terbaik buat hamba-Nya.

Exit mobile version