Buka Muktamar NA ke-14, Haedar Nashir: Tua dan Muda adalah Satu Kesatuan
BANDUNG, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan selamat atas dilangsungkanya pembukaan Muktamar Nasyiatul Aisyiyah ke-14. Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam sambutannya meyakini bahwa Muktamar Nasyiatul Aisyiyah kali ini adalah muktamar yang sesuai dengan tema “Memajukan Perempuan, Menguatkan Peradaban” (3/12/2022).
“Saya percaya bahwa Muktamar NA kali ini akan sukses sebagaimana Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah di Surakarta. Menjadi muktamar yang bermarwah, penuh dengan uswah hasana, dan tentu muktamar yang berkemajuan,” ujar Haedar di Gedung Budaya Sabilulungan Bandung.
Mungkin karena tempat pembukaan Muktamar Nasyiatul Aisyiyah ke-14 berada di Gedung Budaya Sabilulungan, Haedar pun kemudian menyinggung dan mengartikan Sabilulungan sebagai narasi persatuan seluruh warga bangsa, yang mengandung semangat gotong royong dalam misi-misi kebaikan.
“Bangsa ini bisa bersatu karena ada banyak pilar yang bersatu. Masing-masing membawa semangat ukhuwah dan gotong royong. Pilar-pilar ini lahir dan kemudian menempuh perjalanan panjang yang dipenuhi ketulusan,” katanya.
Semangat kepemimpinan inilah yang terus dibangun oleh Muhammadiyah. Semangat peryarikatan yang dapat menghadirkan hikmah dalam penghidmatan. Memadukan antara nilai agama yang memajukan peradaban dengan agama yang membangun nilai-nilai peradaban itu sendiri.
Menurut Imam Al-Malabi dalam al-Ahkam as-Sultaniyah ia mengatakan bahwa kepemimpinan dalam perspektif Islam adalah proyeksi dari fungsi kerisalahan Nabi berupa kepemimpinan protektif (pengabdian). Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan nilai-nilai agama dalam kehidupan.
Menurutnya, nilai-nilai agama bukanlah sesuatu yang inplisit dan terbatas hanya untuk umat Islam. Sebagaimana Islam hadir untuk memastikan nilai-nilai luhur tetap terjaga. Seperti menjaga jiwa, akal, keturunan, dan harta benda, termasuk harta kekayaan Indonesia yang perlu dirawat secara bersama-sama. Dengan karakter kepemimpinan seperti inilah agama Islam hadir sebagai lentera pencerahan.
Selain membawa kepemimpinan yang berorientasi pada pengabdian, Islam juga turut hadir mengatur urusan keduniaan melalui jalan politik yang berwibawa. Semangat inilah yang harus mengalir di dalam denyut nadi kepemimpinan siapa pun.
“Kita semua perlu mengaktifkan kepemimpinan yang penuh dengan keteladanan, kepemimpinan yang mencerahkan dan memajukan kaum perempuan,” ujarnya.
Ciri-ciri dari kepemimpinan seperti ini sangat jauh dari sifat pragmatisime politik. Dimana kepemimpinan yang berwibawa tidak bisa dibaca hanya sekedar dengan ilmu dan pendekatan normatif atau sebaliknya. Tapi harus dibaca secara mendalam dengan penuh penghayatan nurani. Kepemimpinan ini juga memandang bahwa segala aspek yang seolah saling berlawanan memiliki posisi dan peran masing-masing yang sebenarnya saling menguntungkan.
“Tua itu penting, muda juga penting. Tua dan muda itu satu kesatuan. Keduanya bukan satu oposisi biner yang harus dipertentangkan. Dan itu hidup dan mendapat tempat di Muhammadiyah,” tegasnya.
Begitu juga laki-laki dan perempuan, keduanya tidak berada dalam oposisi biner sebagaimana pendekatan-pendekatan feminisme liberal. Apalagi jika laki-laki dan perempuan berada dalam pertempuran tiada henti. Capek dan menguras banyak tenaga. Lalu yang akan terjadi adalah perebutan kekuasaan di rumah, di masyarakat, di bangsa dan lain sebagainya. Dalam hal ini Haedar berpendapat, siapa saja yang menjadi pemimpin, baik laki-laki maupun perempuan merupakan bagian dari sunatullah.
Memajukan perempuan tidak lain adalah usaha untuk memajukan umat, memajukan bangsa, dan memajukan semesta. Komitmen memajukan perempuan ini terus dijaga dan dipelihara oleh Nasyiatul Aisyiyah melalui program-program nyata.
Haedar menambahakan bahwa dalam membangun peradaban diperlukan komitmen yang panjang dan berkesinambungan. Menurut banyak literatur, peradaban adalah puncak dari kebudayaan. Sedangkan kebudayaan adalah sistem kolektif manusia sebagai masyarakat yang membangun hidupnya tahap demi tahap. Ketika kebudayaan yang di dalamnya mengandung berbagai unsur dan sistem seperti ekonomi, politik, dan pendidikan menjadi baik, maka ia akan bertarnformasi menjadi sebuah peradaban.
“Indonesia sudah saatnya untuk naik kelas, dari membangun kebudayaan menjadi membangun peradaban. Di situlah Muhammadiyah bersama seluruh komponen bangsa bersama-sama menyongsong peradaban yang berkemajuan,” ungkapnya.
Haedar menegaskan, ketika seluruh elemen bangsa bekerjasama dan berkolaborasi, hal tersebut bukan hanya akan memperkokoh persatuan bangsa, tapi juga membawa kepada kemajuan Indonesia demi tercapainya peradaban dunia yang damai dan sejahtera. (diko)