Doktrin, Kesempatan, dan Militansi Islam Syariat

Doktrin, Kesempatan, dan Militansi Islam Syariat

Judul               : Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia

Penulis             : Haedar Nashir

Penerbit           : Suara Muhammadiyah

Cetakan           : 1, September 2022

Tebal, ukuran  : li + 680 hlm, 15 x 21 cm

ISBN               : 978-623-5303-11-6

 

Gerakan Islam Syariat dipahami sebagai sekelompok umat Islam yang melakukan aksi kolektif untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam secara formal dalam institusi negara di Indonesia. Buku ini menelaah gerakan Islam syariat yang diperankan secara militan oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, serta kelompok keagamaan di Aceh dan Jawa Barat.

Gerakan Islam Syariat dengan watak salafiyah ideologis ini memperjuangkan syariat Islam yang dipahami sebagai hukum jinayat atau hudud dalam institusi negara. Haedar Nashir menemukan bahwa gerakan Islam syariat ini terorganisasi dan menempuh strategi politis mengislamkan dari atas, termasuk mengubah undang-undang secara revolusioner. Mereka berbeda dengan gerakan Islam yang berjuang di lapangan ekonomi atau perbankan seperti dalam fenomena bank syariah.

Kelompok-kelompok Islam syariat ini tampak mereduksi Islam sebagai wilayah syariat, sebagai tuntunan ajaran Islam kaffah. Mereka melakukan berbagai upaya untuk melembagakan syariat Islam secara formal dalam seluruh lini kehidupan, terutama dalam institusi negara dan dalam wujud khilafah global. Kelompok Islam Syariat ini berbeda dengan gerakan Islam arus utama di Indonesia yang bergerak di ranah kultural atau pembinaan masyarakat bawah.

Meskipun kelompok Islam syariat ini merupakan arus kecil, tetapi daya militansinya yang tinggi, membuat mereka memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Militansi yang tinggi itu didorong oleh seperangkat doktrin di internal dan situasi eksternal yang memberi bahan bakar, seperti situasi deprivasi sosial dan kerentanan lainnya. Jika memperoleh kesempatan politik, mereka akan leluasa memanfaatkan situasi struktural dan kultural yang ada untuk menarik massa dan mewujudkan cita-citanya.

Keberadaan gerakan Islam syariat perlu disikapi secara proporsional, tidak dengan ketakutan yang membabi buta, juga tidak dengan optimisme yang kelewat batas. Situasi-situasi sosial politik dan keagamaan di Indonesia dan dinamika Islam transnasional di dunia global perlu dicermati sebagai variabel penting. Dinamika kontinuitas dan diskontinuitas juga perlu dipertimbangkan. Belakangan, situasi pos-islamisme tampak bergerak ke tengah dan mengalami hibridasi, sementara gerakan Islamisme global mulai kehabisan tenaga. Menurut Mahfud MD, militansi dan doktrin gerakan Islam syariat akan berubah ketika dihadapkan pada dunia nyata yang bersifat praktis dan pragmatis.

Mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII), Ken Setiawan dan Al Chaidar, menyatakan bahwa NII adalah “ibu kandung” gerakan islamisme di Indonesia. Pentolan NII, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mendirikan Jamaah Islamiyah (JI), kemudian menjadi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Pada 2008, MMI terpecah menjadi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), hingga Jamaah Ansharut Khilafah (JAK). Setelah banyak tokohnya yang wafat atau ditangkap, pergerakan mereka tampak menyusut.

Terbaru, Pemerintahan Jokowi membubarkan dua organisasi: HTI pada 19 Juli 2017 dan FPI pada 30 Desember 2020. Apakah “masalah” selesai? Tunggu dulu.

Muhammad Ridha Basri

Exit mobile version