Menyusun Pameran: Catatan Sederhana Tim Museum Muhammadiyah

Menyusun Pameran: Catatan Sederhana Tim Museum Muhammadiyah

Menyusun Pameran, Catatan Sederhana Tim Museum Muhammadiyah

Oleh: Yayum Kumai*

“Iki kapal opo?” tanya pengunjung terheran-heran. Atau pertanyaan lain yang lebih tidak terduga, “Kapal Van der Wijck ya ini!?” Ungkapan-ungkapan tersebut kerap saya dengar ketika menghadapi pengunjung Museum Muhammadiyah tiba di lantai dua.

Dari pertanyaan-pertanyaan penuh gumam penasaran itulah justru dimulainya momen obrol-obrol antara edukator dan pengunjung museum. Voila, dari sanalah juga bisa dipastikan bahwa pesan cerita pameran bisa tersampaikan.
Memang miniatur kapal uap, yang sebenarnya berukuran lumayan besar, menjadi magnet tersendiri. Apalagi letaknya yang berada langsung di ujung koridor.

Tentu peletakan, perancangan, dan instalasi ini bukan tanpa alasan. Bukan juga sekadar alasan estetika. Instalasi kapal uap merupakan satu dari keseluruhan rangkaian narasi pameran.

Lalu, bagaimanakah cara membuat pameran yang enak dilihat sekaligus bisa menyampaikan maksud cerita secara terang? Semoga ceritera di bawah ini bisa membantu.

Menyusun Cerita dan Meriset

Pekerjaan menyusun cerita sudah pasti satu paket dengan melakukan penelitian. Apabila kebutuhan pamerannya adalah untuk museum sejarah, maka pekerjaan riset menggunakan segenap metode penelitian sejarah.

Begitu pun dengan segala bentuk isi cerita yang ingin disampaikan di museum, baik cerita perjalanan, etnografi, ataupun gabungan dari berbagai jenis narasi.

Ketika menyusun cerita untuk kebutuhan pameran coba bayangkan bahwa narasi itu selayaknya sebuah drama. Dalam sebuah narasi besar pameran, kita bisa membaginya menjadi beberapa babak. Penting diingat, setiap pembabakan ini tetap harus berada dalam rangkaian narasi besar.

Jika keseluruhan pameran dimaksudkan menjadi pameran sejarah, maka pembabakan ceritanya bisa didasarkan atas periodisasi cerita. Ambil contoh ialah Diorama Arsip Jogja yang bercerita sepanjang masa Mataram Islam sampai Yogyakarta hari ini.

Apabila kebutuhannya pamerannya berisi narasi sejarah, etnografi, dan pameran produk teknologi yang disatukan, maka tiga jenis cerita tersebut dibagi menjadi tiga babak besar. Selanjutnya, bisa lagi dipecah menjadi cerita-cerita kecil di setiap babak.

Sebagaimana cara penceriteraan, seperti dibayangkan ketika menulis cerpen atau buku, kita mengenal pembukaan, isi, dan penutup.

Bagian pembukaan berisi penjelasan tentang latar kondisi, latar masalah, atau fondasi nilai-nilai yang ingin disampaikan. MuseumMu menerapkan bagian pembuka pameran ini lewat penegasan nilai-nilai kemuhammadiyahan.

Lalu, pada bagian isi cerita dimulailah penarasian intrik-intrik yang terjadi antartokoh atau komponen-komponen pembahasan secara multidimensional. Isi cerita merupakan bagian yang kompleks. Di sinilah letak pembabakan yang disinggung sebelumnya.

Alangkah menariknya, jika narasi pameran di setiap pembagian babak-babak memperhatikan naik-turun emosi di dalam isi cerita. Dengannya, cerita bisa menjadi lebih hidup dan kesan yang akan dituangkan dalam instalasi pameran bisa lebih mudah diwujudkan.

Terakhir, bagian penutup. Di sini kita bisa mengisi narasi dengan konklusi seluruh cerita dan refleksi atas nilai-nilai keseluruhan cerita.

Meskipun kita mengandaikan penulisan cerita pameran sebagai sebuah naskah prosa, seluruh informasi dan konstruksi emosi yang disajikan seharusnya dikerjakan dengan riset ilmiah. Sebab, segala isi narasi mesti bisa dipertanggungjawabkan. Terlepas dari segala kemungkinkan subjektivitas yang sedikit-banyak memang melekat pada karya manusia.

Dalam kajian sejarah, pembuktian narasi lewat arsip dan artefak primer adalah penting. Jika pun memang terbatas pada sumber sejarah lisan dan tradisi lisan, maka ini perlu menjadi catatan yang dituliskan di narasi.

Menentukan Tema

Hal ini sering dianggap sepele dan sering juga semata dijadikan simbolisasi. Bagaimana tidak! Kalau kita mengikuti acara-acara yang diselenggarakan pemerintah, temanya akan selalu susah dibaca, berbunga-bunga tidak jelas, dan tidak sinkron dengan isi acaranya.

Namun, dalam urusan pameran, beda lagi. Tema yang lugas menjadi patokan penting bagi para seniman untuk mengimajinasikan karyanya. Dalam Museum Muhammadiyah, tema yang ditentukan adalah “pencerahan”.

Menentukan Audiens

Tahap ini ada baiknya dikerjakan di awal karena akan berpengaruh pada pakem-pakem proses kerja seniman. Semakin banyak audiens yang ditargetkan untuk menonton, semakin rumit pula pemolaan irisan-irisan indikatornya.
Audiens usia anak-anak tentu tidak diperkenankan menyajikan visual-visual berbau kekerasan, sedangkan audiens dewasa kurang terhubung dengan ilustrasi “imut”. Itu baru soal irisan antara audiens berbeda usia, belum lagi berbeda agama, latar sejarah, etnis, dll.
Inilah yang dimaksud bahwa semakin banyak target pengunjung, akan semakin banyak kecil juga ruang irisannya.

Menyusun Anggaran

Bagian ini agaknya tidak perlu dijelaskan. Kita sudah awam bahwa keleluasaan finansial dapat memungkinkan pameran bereksplorasi lebih “liar”, walaupun tidak menutup kemungkinan hal sebaliknya.

Menyusun Tim

Pembagian kelompok-kelompok dan tugas tim sebenarnya fleksibel. Artinya, satu orang bisa saja merangkap lebih dari satu tugas pekerjaan. Semuanya berdasarkan ketersdiaan budget dan sumber daya manusia yang dimiliki.
Jadi, susunan keorganisasi pameran yang disampaikan di bawah ini lebih didasarkan atas pengalaman selama menyusum MuseumMu. Mari kita bedah!
Pertama, kurator dan art director. Tugas keduanya bisa dipisah atau disatukan. Seorang kurator bekerja untuk mengkurasi karya-karya seni pameran. Pengkurasian dilakukan berdasar nilai-nilai seni, ekonomi, sejarah, dll yang terkandung di dalam sebuah karya.
Di sisi lain, peran art director dalam organisasi pameran bisa jadi mirip dengan kurator. Dialah yang berada di posisi tertinggi sebagai penentu arah jalannya instalasi pameran, termasuk pula menentukan karya seni yang akan ditampilkan.

Kedua, seniman. Sudah teranglah di sini siapa dan apa tanggung jawab yang dikerjakan seniman. Komposisi seniman di dalam organisasi pameran bisa perupa, pelukis, komposer musik, fotografer, videographer, dll. Semua seniman di dalam satu organisasi pameran haruslah mengikuti pakem dan narasi pameran yang sudah disusun sebelumnya.

Ketiga, grafis. Peran divisi grafis di antaranya adalah menyiapkan logo dan poster museum, layout papan-papan informasi, tata letak caption panel pameran, dan masih banyak lagi.
Keempat, penulis. Sudah cukup jelas bahwa tim yang bekerja di bagian ini akan berhubungan dengan segala macam keperluan tulis-menulis museum. Di antara kebutuhan tulis-menulis ialah narasi cerita pameran, caption artefak atau karya seni, narasi video, katalog pameran, konten website, dan papan-papan informasi.

Ada perbedaan penting dalam menulis narasi cerita pameran. Menulis cerita dalam pameran bukan sekadar memberikan segudang informasi terkait tahun, nama tokoh, tempat, ataupun penjelasan-penjelasan kaku. Lebih penting adalah menyuarakan emosi dari arterak atau karya seni yang menjadi bagian dari instalasi pameran.

Di samping itu, keseluruhan tulisan narasi pameran mestilah kontinu dan bergerak dalam rangkaian cerita sebagaimana dibangun ketika proses menyusun cerita di tahap awal. Tujuannya tentu saja supaya penikmat pameran bisa menikmati cerita dan nilai pameran secara utuh. Lalu, soal gaya penulisan yang lebih emosional, ini dimaksudkan agar pengunjung tidak terjerembab dalam tumpukan informasi yang tidak hidup. Kita ingin membawa pengunjung menikmati sajian satu pameran secara emosional dan lebih imajinatif. Sebab, urusan informasi sebenarnya mudah dicari di internet namun pesan dan nilai tidak mudah didapatkan.

Bagaimana cara kita menulis dengan gaya lebih hidup? Pada jenis pameran atau museum sejarah dan etnografi, hal ini bisa didapatkan dengan menghadirkan suara native atau suara zaman. Kutipan-kutipan, pemaknaan, ungkapan-ungkapan yang nyastra, dan ditambah dengan pewujudan karya seni yang reflektif menjadi formula ciamik untuk menghidupkan pameran.

Contohnya, di Museum Muhammadiyah, upaya untuk menunjukkan pemikiran-pemikiran yang mengilhami gerakan Kiai Ahmad Dahlan diwujudkan dengan menghadirkan kutipan-kutipan maknawi tiga tokoh pembaruan Islam serta lukisan wajah ketiganya.

Justru dengan cukup menyajikan 2-4 kalimat punchline dari pokok pemikiran pembaruan Islam tokoh tersebut, pengunjung bisa seakan-akan mendengar langsung “suara” mereka serta menyelami ide-idenya. Jadi, tidak perlu panjang-lebar menceritakan biografi intelektual tokoh pembaru Islam.
Kelima, pencari dan pengelola arsip dan artefak. Keterampilan manajemen sangat dibutuhkan pada tim ini.

Pada proses pengumpulan ertefak, penting sekali bagi tim ini untuk memetakan tempat di mana arsip dan artefak bisa didapat. Selain itu, kepekaan insting untuk mencocokkan narasi pameran dengan jenis artefak yang dicari juga penting dimiliki.

Tanggung jawab berikutnya ialah mengelola arsip dan artefak. Prosesnya bukan saja melakukan klasifikasi berdasar narasi pameran, tetapi juga mengelola penyimpanan arsip dan artefak agar tidak rusak.

Keenam, administrasi. Pekerjaan bagian ini meliputi urusan surat-menyurat, legalitas, sampai manajemen keuangan seluruh kerja pameran.

Ketujuh, konstruksi. Di tangan para pekerja konstruksi inilah semua rancangan pameran terwujud. Pekerjaannya tidak saja membangun material instalasi pameran, tetapi juga membangun jaring kelistrikan dan penerangan pameran.

Demikianlah tujuh pembagian tim pameran berdasarkan fungsinya. Semua bagian tim yang terlibat di dalam keorganisasian pameran ini mesti saling berkoordinasi. Komunikasi yang tidak baik akan berakhir pada kekacauan.

Mengukur Ruangan dan Tata Letak

Bentuk dan ukuran ruangan sangat berpengaruh terhadap imajinasi seniman dalam mewujudkan karyanya. Maka dari itu, pengukuran ruangan sebaiknya dilakukan di awal.

Setelah itu, barulah art director bisa mengarahkan hal-hal, seperti banyaknya panel yang akan diinstalasi, alur pameran, pencahayaan, pemasangan audio, kelistrikan, dll.

Bentuk dan luas ruangan dengan bentuk instalasi pameran haruslah proporsional. Jangan sampai instalasi pameran memaksakan isi yang terlalu banyak, sehingga pameran terlihat sesak. Begitu pun sebaliknya.

Membuat Instalasi Pameran

Di sinilah proses penerjemahan narasi menjadi instalasi pameran terjadi. Mulai dari penggodokan ide di kepala seniman, kemudian koordinasi dengan art director, sampai tahap pembangunan bersama dengan para pekerja konstruksi.

Membuat Katalog

Segala bentuk instalasi seni yang dibuat, kemudian di dokumetasikan dalam bentuk tulisan dan foto yang disusun bersama menjadi katalog.

Menyiapkan Edukator

Hal terakhir ini mungkin bagi sebagian orang akan diabaikan. Padahal, fungsi edukator dalam pameran sama krusialnya. Dialah yang akan ada di “garda depan” menyambut pengunjung dan menyampaikan nilai dan pengetahuan pameran, sehingga pameran atau museum bisa berinterasi secara dua arah—antara pengunjung dan pameran.

Di tangan edukator ini jugalah pengembangan ide dan wawasan untuk pameran bisa terjadi, baik bagi pengunjung maupun pihak museum dan pamerannya sendiri.

*Yayum Kumai, Pegiat Museum Muhammadiyah 

Exit mobile version