Kedahsyatan Doa (9)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
Di dalam Kedahsyatan Doa (8) yang disajikan pada Suara Muhammadiyah edisi 2022/12/09 dipaparkan uraian dan contoh kisah nyata yang berkenaan dengan pengaruh positif doa, didoakan, dan ikhtiar terhadap beberapa orang yang berbeda profesinya dan terhadap anak. Tentu masih ada orang lain yang berprofesi lain yang merasakan pengaruh itu sesuai juga dengan profesinya masing-masing.
Pada edisi itu disajikan juga kisah nyata diperolehnya “rezeki” sesuai dengan doa yang selalu diucapkan oleh orang tua, terutama ibu, yakni anak perempuan (insya-Allah) saleh. Rezeki selanjutnya adalah rezeki yang tidak disangka-sangka, yaitu menantu. Dikatakan tidak disangka-sangka karena anaknya dan menantunya adalah teman kuliah pada program studi yang sama dan di perguruan tinggi yang sama. Tambahan lagi, mereka satu angkatan! Namun, selama kuliah, mereka tidak mempunyai hubungan khusus.
Hal yang perlu diberi penekanan kembali adalah berdoa, didoakan (lebih-lebih oleh orang saleh), dan berikhtiar untuk memperoleh anak saleh harus dimulai sejak dini, yakni sejak laki-laki dan perempuan menjemput jodoh. Bahkan, berdoa dan berikhtiar untuk menjemput jodoh bagi anaknya pun harus dilakukan sejak dini. Sekali lagi, berdoa, didoakan, dan berikhtiar agar “dikirimi” jodoh untuk dirinya dan untuk memperoleh anak saleh harus dilakukan sejak dini dan tiada henti. (Baca juga: Berlindung dari Buruknya Pendengaran Suara Muhammadiyah edisi 23 Oktober 2020). Untuk memperoleh jodoh bagi anaknya pun berdoa, didoakan, berikhtiar dimulai sejak ini, yakni sebelum anak lahir dan tiada henti pula.
Pada Kedahsyatan Doa (9) ini disajikan uraian pengaruh doa terhadap orang-orang yang berbeda profesi dan contoh kisah nyata yang belum dipaparkan pada Kedahsyatan Doa (8).
Kesalehan Profesi
Ada orang tua yang bercita-cita agar anaknya menjadi polisi, jaksa, penasihat hukum, atau hakim. Berkaitan dengan itu, mereka berdoa, didoakan, dan berikhtiar sejak dini.
Anak pun ada yang bercita-cita berprofesi yang sama dengan keinginan orang tuanya. Mereka berdoa, didoakan, dan berikhtiar sejak dini juga.
Kesamaan cita-cita dan strategi pencapaiannya tersebut memuluskan langkahnya. Mereka yang ingin mempunyai anak berprofesi sebagai polisi, keinginannya terkabul. Mereka yang bercita-cita anaknya menjadi jaksa, cita-citanya itu terpenuhi. Mereka yang mendambakan anaknya berprofesi sebagai penasihat hukum, dambaannya terwujud. Mereka yang ingin anaknya berprofesi sebagai hakim, harapannya itu terwujud juga.
Bagi orang beriman, Allah Subhanahu wa Ta’aala adalah pemberi rezeki sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur’an, antara lain, surat al-Baqarah (2): 212,
وَاللّٰهُ يَرۡزُقُ مَنۡ يَّشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ
“Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang dikehendaki tanpa perhitungan.”
Dengan dasar keimanan bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’aala adalah benar yang bersifat mutlak, mereka berdoa, didoakan, dan berikhtiar untuk memperoleh rezeki yang halal dan baik karena rezeki yang demikianlah yang diridai-Nya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat an-Nahl (16): 114,
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Maka, makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
Karena menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala adalah pemberi rezeki, profesi apa pun dijalani dengan niat beribadah. Prinsip menjemput rezeki yang demikian diyakini mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi yang dirasakannya di dunia dan di akhirat.
Kiranya kita sudah memahami bahwa banyak personal polisi yang terpuji. Meskipun mereka telah lama wafat, tetapi kebaikannya tetap dikenang sepanjang masa. Mereka tidak korupsi. Mereka menegakkan hukum dengan semangat mengabdi agar memperoleh rida Ilahi.
Padanya ada kesadaran bahwa tidak setiap orang ingin menjadi polisi. Tidak setiap orang yang ingin menjadi polisi, tercapai keinginannya itu, padahal negara membutuhkan polisi.
Ada di antara mereka yang tidak menjadi polisi, tetapi sukses pada profesi lain. Pada mereka ada pemahaman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala juga yang memberinya rezeki pada profesi itu. Oleh karena itu, mereka mensyukurinya dengan bekerja secara profesional. Kerja profesional yang dijiwai semangat beribadah membuatnya makin sukses.
Ada pula orang yang memang bercita-cita menjadi polisi. Sejak kecil cita-cita itu telah dimilikinya. Mereka berdoa, didoakan, berikhtiar untuk menjadi polisi dan cita-citanya itu terwujud.
Ada lagi: mereka sampai dua kali tidak lulus tes, tetapi tidak menyerah. Mereka terus berdoa, didoakan, dan berikhtiar. Akhirnya, mereka dinyatakan lulus sebagai polisi pada tes yang ketiga. Karena melalui perjuangan yang demikian, mereka melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sebagai wujud rasa syukurnya.
Pada profesi jaksa, ada orang tua yang berkeinginan agar anaknya menjadi jaksa. Anaknya pun berkeinginan demikian. Berkenaan dengan itu, mereka berdoa, didoakan, dan berikhtiar serius. Di antara mereka ada yang terwujud keinginannya itu.
Sebagai wujud rasa syukurnya, mereka bekerja secara profesional dengan indikator, antara lain, cermat tuntutannya; akurat dalil, pasal, dan ayatnya sehingga terang-benderang perkaranya. Mereka sangat memahami bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala adalah Mahajaksa dan Mahacermat.
Oleh karena itu, mereka selalu berdoa, didoakan, dan berikhtiar agar mampu mengemban amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Mereka pun sadar bahwa setiap saat selalu diawasi oleh Allah Yang Mahaawas. Para jaksa yang istikomah mengemban amanah itu tidak hanya ada dalam khayalan, tetapi juga ada dan kita kenal dengan baik di dalam kehidupan nyata.
Di sisi lain, diketahui ada orang yang tidak ingin menjadi jaksa. Ada pula yang ingin menjadi jaksa, tetapi keinginannya itu tidak terpenuhi. Ternyata, mereka itu sukses mengemban amanah pada profesi lain itu.
Di samping profesi polisi dan jaksa, ada profesi penasihat hukum. Jika dicapai melalui berdoa, didoakan, dan berikhtiar di jalan yang diridai Ilahi, profesi itu dijalani dengan semangat juang: maju tak gentar membela yang benar bukan membela yang membayar. Mereka mencari kebenaran bukan pembenaran. Namun, mereka sadar akan keterbatasannya.
Oleh karena itu, di dalam doanya mereka mohon ditunjukkan yang benar itu benar dan diberi kekuatan untuk menegakkannya dan mohon ditunjukkan yang salah itu salah dan diberi kekuatan untuk meninggalkannya. Mereka istikamah membantu yang lemah sebagai bagian dari ibadahnya.
Di dalam kenyataan ada orang yang tidak ingin mempunyai profesi itu. Mereka lebih memilih profesi lain misalnya pedagang meskipun berjazah sarjana hukum.
Masih ada lagi profesi lain di bidang hukum, yaitu, antara lain, hakim. Tentu ada orang yang tidak berminat sama sekali terhadap profesi itu. Tidak dapat dimungkiri ada juga orang yang ingin menjadi hakim, tetapi keinginannya itu tidak terwujud. Ada pula orang yang ingin menjadi hakim dan keinginannya itu tercapai. Jika ketiga pihak itu berdoa, didoakan, dan berikhtiar di jalan Allah Subhanahu wa Ta’aala, pasti mereka mengembalikan hasilnya kepada-Nya. Mereka rida menerima keputusan-Nya.
Mereka yang berprofesi sebagai hakim senantiasa berdoa, didoakan, berikhtiar agar dapat memutus perkara secara adil. Mereka sadar akan tanggung jawabnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Mereka memahami benar perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya tentang keadilan hukum.
Di dalam surat an-Nisaa (4): 58 Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا
“Sungguh Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Di samping itu, mereka memahami akibat yang terjadi jika berlaku tidak adil sebagaimana dijelaskan di dalam HR Ahmad, Muslim, dan Nasa’i, yang artinya,
“Apakah Anda hendak meminta “keistimewaan” dalam pelaksanaan hukum Allah? Sesungguhnya kehancuran umat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri yang lemah dan membiarkan pencuri yang elite. Demi Allah yang memelihara jiwa saya, kalaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan memotong tangan puterinya itu.”
Inti pelajaran dari uraian tersebut, baik orang yang tercapai cita-citanya maupun yang tidak, adalah jika proses pencapaian cita-citanya ditempuh melalui berdoa, didoakan, dan berikhtiar di jalan Allah Subhanahu wa Ta’aala mereka pasti rida menerima apa pun keputusan-Nya. Mereka selalu berpikiran dan bersikap positif. Mereka yang berprofesi sesuai dengan doa dan ikhtiarnya itu mempunyai kesalehan profesi.
Solusi Memilih Calon Suami/Istri
Menentukan pilihan yang terbaik dari yang baik sangat sulit. Namun, bukan berarti kita tidak dapat melakukannya. Berbeda dari memilih yang baik di antara yang buruk.
Jika menurut akal saja, banyak teori yang dapat diterapkan. Misalnya, pilihan yang diambil adalah yang kebaikannya lebih banyak. Namun, dalam masalah tertentu ada kesulitan dalam penerapan kriteria. Sering ada kendala besar, yakni subjektivitas.
Penetapan kriteria untuk memilih calon suami/istri merupakan salah satu contoh. Berikut ini disajikan contoh penetapan kriteria memilih calon suami.
Ada kisah nyata yang kiranya dapat kita jadikan renungan. Mbak Mumun (bukan nama sebenarnya) minta waktu untuk curhat.
“Boleh, curhat, Pak?”
“Boleh! Silakan! Masalah akademis atau …?” Saya bertanya demikian karena dari segi akademis, dia tergolong mahasiswa yang perlu memperoleh bimbingan lebih serius.
“Ah, jadi malu, saya!”
“Sangat pribadi?”
“Ya, Pak! Em … bagaimana, ya? Nggak enak kalau saya sampaikan di kampus.”
“Kalau begitu, di rumah saja!”
“Boleh?”
“Boleh!”
Pada hari yang disepakati, Mbak Mumun datang. Tidak ada teman yang membersamainya. Kami mulai bincang-bincang, tetapi tidak langsung membahas masalah yang dijadikan bahan curhat karena Mbak Mumun belum menceritakannya.
Setelah suasana cair, Mbak Mumun tampak berpikir sejenak untuk memulai curhatnya.
“Begini, Pak. Dulu saya bingung karena belum ada cowok yang memperhatikan.”
“Sekarang bingung karena banyak yang naksir?” Sela saya sambil tertawa.
“Kok Bapak tahu?” Dia tersipu.
“Feeling!”
“Terus bagaimana solusinya?”
Saya menyilakannya minum lebih dahulu sebelum menjawab. Saya juga menyilakannya menikmati hidangan yang sudah disiapkan ART di meja. Dia mengikuti saya.
“Em … begini, Mbak. Anda harus menetapkan kriteria mutlak dan kriteria tambahan.”
“Maksud Bapak?”
“Kriteria mutlak berarti standar atau ukuran yang wajib dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, calon dinyatakan gugur atau tereliminasi.” Saya tertawa, tetapi Mbak Mumun tampak bingung.
“Maaf, Pak. Saya belum nyambung.”
“Em … begini. Ada lebih dari dua cowok, yang naksir kan?”
“Ya, Allah! Kok Bapak tahu?”
“Ya, feeling! Anda bingung karena harus memilih satu.” Saya diam sejenak untuk mencari cara menjelaskan pengertian kriteria mutlak agar mudah dipahaminya. “Em … Anda hanya mau menikah dengan laki-laki yang seakidah atau mau juga dengan yang berbeda akidah?”
“Hanya dengan laki-laki yang seakidah!”
“Kalau ada laki-laki berpendidikan tinggi, kaya, tetapi berbeda akidah yang naksir?”
“Tidak mau.”
“Kalau orang tua Anda memaksa?”
“Saya tetap tidak mau!”
“Nah, berarti Anda menetapkan kriteria mutlak bahwa calon suami Anda harus seakidah! Bagus! Saya setuju! Hal ini berarti jika ada laki-laki yang tidak seakidah, tidak perlu Anda pertimbangkan lagi! Langsung coret saja. Jangan mengikuti pendapat orang yang membolehkan pernikahan laki-laki dan perempuan yang berbeda agama!”
“Masalahnya semua laki-laki yang pedekate seagama.”
“Kalau begitu, tentukan kriteria mutlak kedua! Misalnya berpendidikan sekurang-kurangnya sama dengan Anda.”
“Ya, Pak. Minimal S1.”
“Nah, apakah sudah ada yang tereleminasi?”
“Ah, Bapak! Seperti acara di televisi.” Dia tertawa. “Sudah, Pak.” Dia melanjutkan.
“Berapa?”
“Satu.”
“Masih harus memilih lagi?”
“Ya, Pak.”
“Silakan Anda kembangkan kriteria berikutnya, tetapi jangan terlalu banyak kriteria mutlaknya. Nanti tidak ada yang memenuhi kriteria.”
“Ya, ya, Pak.” Setelah diam sesaat, dia tampak menghadapi masalah baru. “Masalah pekerjaan, baiknya bagaimana, Pak?”
“Maksud Anda … pekerjaan calon suami?”
“Ya, Pak. Apakah harus PNS atau tidak?”
“Itu Anda yang menetapkan. Menurut Anda, calon suami harus PNS atau yang penting berpenghasilan?”
“Baiknya bagaimana, Pak? Saya mohon bimbingan.”
“Yang sebaiknya menjadi pegangan adalah berpenghasilan halal. Pasti mendatangkan keberkahan. Jangan yang berpenghasilan tetap.”
Dia tidak segera merespons. Tampak bingung. “Em … mengapa, Pak?”
“Kalau berpenghasilan tetap, berarti tidak ada kenaikan dong?” Kembali saya bercanda. Dia ikut tertawa. “Tidak harus sekarang Anda menetapkannya. Silakan Anda pikirkan dulu dengan tenang.”
“Ya, Pak. Insya-Allah.”
Bincang-bincang kami berakhir. Ada kesepakatan untuk bertemu kembali. Hari, jam, dan tempat disepakati sama.
Pada hari, jam, dan tempat disepakati terjadi perbincangan lagi. Mbak Mumun memulai perbincangan dengan mengemukakan pendapatnya bahwa calon suaminya tidak harus PNS. Baginya, yang penting berpenghasilan halal. Dia mulai memahami pengertian kriteria yang bersifat tidak mutlak atau kriteria tambahan.
Pada pertemuan ketiga perbincangan berfokus pada kriteria tambahan. Dia dengan leluasa menyebutkannya.
“Kondisi fisik calon suami misalnya tinggi badan, berat badan, wajah, kok tidak masuk kriteria? Memang tidak penting?” Sambil bercanda saya menanyainya.
“Kan … sudah masuk kriteria sehat fisik.”
“O, ya. Bagus! Dengan penerapan kriteria tambahan yang Anda sebutkan tadi, apakah sudah ada yang tereliminasi lagi?”
“Ada, Pak?”
Saya dan Mbak Mumun tertawa. Dia makin memahami pentingnya membuat kriteria lebih dulu sebelum memutuskan calon suami.
Pada pertemuan ketiga, saya tegaskan bahwa manusia mempunyai keterbatasan. Berpikir sehat sudah ditempuh sebagai ikhtiar menyelesaikan masalah, baik sejak menjemput calon suami/istri maupun setelah menikah. Namun, banyak contoh pernikahan yang berakhir dengan perceraian. Sangat mungkin, hal itu terjadi karena kurangnya, bahkan, tidak adanya doa dan ikhtiar semua pihak yang terkait.
Berdoa, didoakan, dan berikhtiar sangat penting agar memperoleh petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’aala. Ada pilihan yang menurut kita baik, tetapi menurut Dia, belum tentu.
“Nah, Anda harus mohon petunjuk pada Allah Subhanahu wa Ta’aala karena Dia Maha Pemberi Petunjuk. Kerjakan salat istikharah agar dapat memilih calon suami yang diridai-Nya. Yakinlah, apa pun yang diberikan-Nya kepada kita pasti yang terbaik.”
Semoga Mbak Mumun dikirimi calon suami yang baik menurut Allah Subhanahu wa Ta’aala. Aamiin!
Wa Allahu a’lam
Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota.