Pemimpin Ideal Muhammadiyah Jatim

Pemimpin Ideal Muhammadiyah Jatim

Pemimpin Ideal Muhammadiyah Jatim

Pemimpin Ideal Muhammadiyah Jatim

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – “Islam adalah agama yang luas dan luwes.” Itulah pesan yang pernah disampaikan oleh seorang tokoh Muhammadiyah terkemuka, Abdul Malik Fadjar. Maksud pernyataan beliau adalah, kita sebagai aktivis Muhammadiyah mesti menjadikan ajaran Islam sebagai landasan dalam membangun dan mencerahkan masyarakat yang beragam.

Dengan begitu, keberagaman di Indonesia justru semakin memperkuat integrasi. Prinsip hidup berbhinneka ketika dipadukan dengan ajaran Islam yang bergembira dan menggembirakan, sangat berpotensi melahirkan berbagai buah kebajikan dan kemajuan.

Karena itu, Muhammadiyah sebagai gerbong besar pembangunan peradaban, harus digerakkan oleh nahkoda yang memiliki pandangan, wawasan dan karakter yang luas dan luwes, serta berkemajuan. Sebagai pemimpin, ia bukan hanya arif dan bijaksana, serta memiliki semangat mengayomi, namun juga punya ilmu agama yang mumpuni dan penguasaan sosial humaniora yang pro keragaman sekaligus mereka yang terpinggirkan.

Dalam konteks Musyawarah Wilayah (Musywil) Muhammadiyah Jawa Timur, sosok pemimpin yang ideal seperti itulah yang sangat diidam-idamkan.

Berikut adalah wawancara reporter kami, Muhammad Salim dengan Nazaruddin Malik Fadjar, putera Pak Malik Fadjar, yang membicarakan tentang kepemimpinan Muhammadiyah di Jatim dan kontribusinya dalam pembangunan peradaban kemanusiaan yang luhur.

Mengapa Islam mesti dipahami sebagai agama yang luas dan luwes?

Islam pada hakikatnya adalah agama yang berkemajuan. Maju ajarannya, maju spiritnya dan maju dorongan ruhaniahnya. Maju maksudnya punya orientasi transformatif. Berkepentingan merubah keadaan menuju ke situasi dan kondisi yang lebih baik. Seperti kata al-Qur’an, “wa la al-akhirah khair al-laka min al-ula” (bukankah hari akhir di masa yang akan datang nanti adalah sesuatu yang lebih baik dari saat ini).

Kalau sudah berpikiran berkemajuan seperti itu, maka urusan muamalah duniawiyah diletakkan di tempat yang tepat, bukan dijunjung terlalu tinggi, bukan pula diabaikan. Dengan begitu, orang tidak terperangkap oleh jerat nafsu dunia. Ia akan memiliki hati yang bersih, pikiran yang luas dan perilaku yang luwes.

Pak Malik di sepanjang hidupnya selalu menekankan pentingnya hal ini. Saya sendiri selama menjadi saksi kehidupannya, itulah yang beliau jadikan sebagai prinsip, terutama dalam ber-Muhammadiyah.

Hasil dari Muktamar ke 48 di Makassar lalu adalah Risalah Islam Berkemajuan. Risalah itu menekankan pentingnya perkhidmatan di ranah keumatan, kebangsaan, dunia global dan masa depan. Bagaimana Pak Nazaruddin menanggapi hal ini?

Adanya Risalah Islam Berkemajuan merupakan upaya persyarikatan untuk memberikan pemahaman yang utuh mengenai Islam berkemajuan kepada warga Muhammadiyah. Dan Risalah ini sebenarnya mengandung berbagai penjelasan mengenai “cara pandang” dan “perkhidmatan”. Ini penting.

Hanya saja, di tingkat wilayah dan bahkan di tingkat cabang dan ranting, cara pandang dan perkhidmatan yang dimaksud harus membumi. Artinya, harus ada upaya kontekstualisasi, sehingga menjadi program-program dan gerakan-gerakan kebajikan yang kreatif sekaligus berdampak positif.

Nah, di Jawa Timur misalnya, tentu punya berbagai isu strategis. Terutama berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan dan pelayanan kemanusiaan. Kita harus mampu menciptakan program dan gerakan yang secara konkret dan berkelanjutan menjamin terwujudnya nilai-nilai seperti kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan seterusnya.

Dengan itu semua, maka program dan gerakan yang diupayakan bisa diukur indikator dan capaiannya, bagaimana progress-nya, termasuk pula bagaimana evaluasi dan strategi pengembangannya. Dalam soal ekonomi misalnya, selama ini berapa amal usaha yang dimiliki PWM Jatim dan bagaimana kemajuan yang dicapai setiap tahunnya, serta seberapa besar kontribusi amal usaha itu pada kesejahteraan umat dan seterusnya.

Berarti harus ada agensi untuk membumikan Islam Berkemajuan?

Persis begitu. Harus ada pemimpinan yang mampu menggerakkan dan merubah keadaan. Transformasi itu memerlukan tangan dingin seorang leader yang mampu merangkul semua. Di samping itu, ia tidak sungkan untuk berkolaborasi, bergotong-royong, atau bahasa agamanya adalah ber-ta’awun dengan siapa saja yang bervisi sama. Terakhir, ia harus berani mengambil resiko untuk mengeksekusi.

Jadi, kuncinya adalah tiga hal. Kepemimpinan yang merangkul semua (connected leadership), mau bekerjasama (collaboration) dan berani berkiprah dalam kehidupan yang konkret (execution).

Saya kebetulan menulis buku trilogi kepemimpinan transformatif, sebagai catatan sekaligus refleksi intelektual ketika mengabdi untuk persyarikatan dan memimpin amal usaha Muhammadiyah (Universitas Muhammadiyah Malang).

Dalam konteks Muswil Muhammadiyah Jatim ke 16 di Ponorogo, bagaimana gambaran sosok pemimpin yang ideal?

Mestinya seperti KH Saad Ibrahim. Ia ulama yang punya ilmu agama yang mumpuni sekaligus punya kualitas leadership yang baik. Ia tegas tapi juga bijaksana.

Masalahnya adalah ada lebih banyak calon pemimpin yang mampu ber-tabligh, tapi minim karakter keulamaan. Sebaliknya, para calon yang berlatar-belakang ilmu-ilmu keislaman belum teruji kemampuan kepemimpinannya. Penting sekali seorang pemimpin yang punya pengalaman yang kaya, teruji dan tahan banting. Sebab yang dihadapi saat ini adalah masalah-masalah yang berat, rumit dan menguras energi.

Terakhir, pemimpin itu harus sehat secara jasmani dan ruhani. Rajin shalat, puasa dan berbagai ritual lainnya, harus diimbangi dengan istirahat yang cukup, olah raga yang teratur dan mengonsumsi makanan yang sehat, halal dan bergizi. Intinya sehat wal afiat.

Agar lebih konkret, apa sebenarnya yang harus direspon di Jatim?

Begini, saya mau bilang bahwa Islam Berkemajuan itu harus dibumikan. Maksudnya harus berdampak pada kemajuan Jatim. Itu konkret.

Karena itu, untuk memajukan Jatim, hal-hal yang harus disentuh sebagai prioritas adalah isu-isu strategis keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan universal. Kalau diturunkan, itu berarti kita harus memajukan potensi perekonomian Muhammadiyah Jatim. Berkaitan dengan masalah pendidikan, kita perlu mengembangkan sekolah Muhammadiyah unggul secara massif dan signifikan. Lalu kita perlu meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan mahir dalam mengimplementasikan big data Muhammadiyah Jatim.

Pertama soal ekonomi. Kita ini belum punya perusahaan yang besar dan kuat. Kita harus bangun itu. Ini akan benar-benar terwujud ketika bersinergi dengan PP Muhammadiyah, PDM, PCM dan PRM, sekaligus dunia industri yang sudah tangkas dan berpengalaman bermain di dunia bisnis.

Kedua soal sekolah unggul, kita akan tingkatkan kemampuan berbahasa Inggirs dan Arab sebagai bahasa internasional bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sekaligus kemahiran dalam teknologi digital. Hal ini ditambah dengan ciri khas dan jati diri kita, yakni Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.

Ketiga, mengenai peningkatan layanan kesehatan, kita perbaiki kualitas manajemen rumah sakit kita. Lalu, juga kualitas jasa dan produk, infrastruktur, sumber daya manusia dan akreditasi rumah sakit.

Terakhir, yang keempat, implementasi big data Muhammadiyah. Kita harus mampu memastikan sinergi kelembagaan (PWM, PDM, PCM, PRM), pengurus (anggota aktif dan simpatisan), AUM dan aset yang dimiliki. Dengan sinergi itu, kita terus-menerus melakukan pemutakhiran data dan informasi yang dimiliki. Dengan kekuatan data dan informasi yang valid, akurat dan accessible, kita bisa memproyeksikan secara lebih baik mengenai kemajuan yang kita inginkan.

Apa pesan-pesan Pak Nazaruddin untuk Musyil Muhammadiyah Jatim?

Mari kita bergembira dan kita gembirakan Musywil Muhammadiyah Jatim di Ponorogo. Kita bersinergi, berkolaborasi dan bersama-sama mengeksekusi berbagai program kebajikan yang kita upayakan. Mari kita apresiasi pesan Pak Malik bahwa Islam itu luas dan luwes. Dengan begitu, insya Allah Muhammadiyah Jatim akan semakin maju. Bismillah. [Muhammad Salim]

 

 

 

Exit mobile version