Kedahsyatan Doa (10)

Berdoa, Berpikir Cerdas, dan Berakhlak Mulia

Kedahsyatan Doa (10)

Kedahsyatan Doa (10)

Kedahsyatan Doa (10)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Kedahsyatan Doa (9) yang disajikan pada Suara Muhammadiyah edisi 2022/12/15 berisi uraian tentang pengaruh positif yang sangat dahsyat dari doa terhadap orang-orang yang berprofesi di bidang hukum. Mereka mempunyai kesalehan profesi.

Pada edisi itu disajikan juga kisah nyata seorang cewek yang harus memilih satu di antara lebih dari tiga cowok yang naksir. Kenyataan tersebut berkebalikan dengan sebelumnya, yakni tidak memperoleh perhatian khusus dari seorang pun cowok.

Solusi yang perlu diberi penekanan kembali adalah kesadaran bahwa ikhtiar berpikir cerdas sangat penting. Namun, solusi penentunya adalah petunjuk yang diperoleh melalui salat istikharah dan berdoa. Pilihan yang dilakukan berdasarkan salat istikharah dan berdoa yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala dan Rasul-Nya tidak keliru.

Pada Kedahsyatan Doa (10) ini disajikan uraian tentang husnuzan, yang merupakan salah satu perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala, yang bagi kebanyakan umat Islam sangat berat dan sulit dilakukan. Di samping itu, disajikan pula contoh kisah nyata perpaduan antara berdoa, berpikir cerdas, dan berakhlak mulia sebagai ikhtiar menjemput rida Allah Subhanahu wa Ta’aala. Semoga uraian tentang husnuzan dan kisah nyata ini dapat dipertimbangkan sebagai salah satu referensi, baik bagi orang tua maupun anaknya.

Tinggalkan Suuzan, Amalkan Husnuzan

Sudah kita pahami bahwa salah satu syarat terkabulnya doa adalah mematuhi perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala (QS al-Baqarah [2]: 186). Dari Kedahsyatan Doa (1) s.d. Kedahsyatan Doa (9) belum diuraikan perintah husnuzan.

Berkenaan dengan perintah husnuzan, perlu kita pahami dengan sebaik-baiknya firman Allah Subhanu wa Ta’aala di dalam al-Qur’an surat al-Hujurat (49): 12,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ١٢

“Wahai, orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.”

Dari ayat tersebut kita ketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala melarang kita berprasangka buruk terhadap sesama manusia. Dengan demikian. kalau kepada sesama manusia pun kita dilarang berprasangka buruk, apalagi kepada-Nya!

Orang-orang yang berprasangka buruk terhadap-Nya mendapat azab. Firman Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam surat al-Fath (48): 6,

وَّيُعَذِّبَ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْمُنٰفِقٰتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكٰتِ الظَّاۤنِّيْنَ بِاللّٰهِ ظَنَّ السَّوْءِۗ عَلَيْهِمْ دَاۤىِٕرَةُ السَّوْءِۚ وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًا ٦

“… dan Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (azab) yang buruk dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka serta menyediakan neraka jahanam bagi mereka. Dan (neraka jahanam) itu seburuk buruk tempat kembali.”

Sangat buruk akibatnya manusia berprasangka buruk pada Allah Subhanahu wa Ta’aala! Mereka dimasukkan ke neraka jahanam, tempat kembali yang  paling buruk. Nauzubillah!

Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam Hadis Riwayat Ahmad bersabda, yang artinya, “Aku sesuai dengan persangkaan baik hamba-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sebagaimana yang ia mau.”

Di dalam kehidupan sehari-hari perintah mengerjakan sesuatu sering disampaikan dengan larangan mengerjakan sesuatu. Misalnya, tuturan, “Jangan jadi anak durhaka!” Dengan tuturan itu, penutur pada dasarnya bermaksud menyuruh agar anak berbakti kepada orang tua.

Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, orang beriman dilarang suuzan lebih-lebih lagi kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Dilarang suuzan berarti diperintah husnuzan.

Husnuzan merupakan perintah yang sangat sulit dilaksanakan, terutama terhadap orang yang mengecewakan atau mengingkari janji. Karena kita diperintah untuk husnuzan, berat pun kita lakukan.

Agar terasa ringan, kita berdoa agar diberi kekuatan beristikamah untuk husnuzan. Jika kita lakukan dalam rangka menjemput rida Allah Subhanahu wa Ta’aala, apa pun yang berat diringankan dan apa pun yang sulit dimudahkan-Nya.

Membalas Keburukan dengan Kebaikan

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’aala yang perlu memperoleh penekanan kembali adalah membalas keburukan dengan kebaikan. Sungguh sangat berat dan sulit membalas keburukan dengan kebaikan. Namun, kita diperintah melakukannya. Oleh karena itu, kita wajib husnuzan pasti ada jaminan bahwa kita dapat melakukannya. Kita tidak dibebani melakukan sesuatu di luar kemampuan kita dan ada doa agar kita dapat mengerjakannya (QS al-Baqarah [2): 286). Di samping itu, pasti ada jaminan kemudahan (QS surat al-Insyirah [94]: 5 dan 6). Ada pula jaminan hikmah yang besar.

Di dalam surat ar-Ra’ad (13) 22: Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman,

وَالَّذِيْنَ صَبَرُوا ابْتِغَاۤءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنٰهُمْ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً وَّيَدْرَءُوْنَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِۙ ٢٢

“Dan orang-orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).”

Sementara itu, Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam surat Fushilat (41): 34 berfirman,

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ ٣٤

“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik sehingga orang yang di antara kamu dan dia tadinya ada rasa permusuhan denganmu, seolah-olah teman yang sangat setia.”

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, kita diperintah agar membalas keburukan dengan kebaikan. Di dalam Tafsir Al Azhar karya Hamka (hlm. 6472-6473) dijelaskan bahwa kebaikan itu tidak hanya substansinya, tetapi juga caranya. Contoh yang dikemukakannya adalah kisah Abu Sofyan bersyahadat.

Tokoh Quraisy ini memusuhi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbagai siasat licik ditempuhnya. Malang baginya. Ketika mengintai tentara muslim yang berjumlah 10.000 orang, dia ditangkap dan dimasukkan ke dalam tawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dia diawasi oleh Abbas. Pada awalnya dia tetap saja keras kepala dan meremehkan tentara muslim. Dia menyebut tentara muslim sebagai tentara dari kerajaan anak Abbas. Namun, Abbas menjelaskan bahwa tentara muslim itu adalah tentara Allah.

Selama di dalam tawanan, dia diperlakukan dengan baik. Setelah berhadapan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dia merasakan bahwa Islam memerintah umatnya agar  membalas keburukan dengan kebaikan. Akhirnya, dia mendapat hidayah sehingga bersyahadat.

Kisah tersebut merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kisah balasan kebaikan atas keburukan. Dari substansinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kebenaran Islam, sedangkan dari caranya, beliau menggunakan cara yang baik.

Memperoleh yang Lebih Baik

Keyakinan bahwa kebaikan yang kita lakukan pasti dibalas oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala dengan yang lebih baik harus tertanam kuat di hati tiap muslim. Sayang, masih cukup banyak orang yang ingin  sekarang berdoa dan berikhtiar, sekarang juga terpenuhi. Jika bersikap demikian, apakah tidak berarti masih ada keraguan terhadap kebenaran janji-Nya?

Di dalam al-Qur’an surat, antara lain, an-Nahl (16): 97, Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman, yang artinya,

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang lebih baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Boleh jadi, balasan kebaikan itu berupa terbukanya hati orang-orang yang diperlakukan dengan baik. Mereka ikut berdoa untuk kebaikan keluarga kita.

Banyak pengalaman hidup yang membuktikan hal itu. Suatu keluarga memperoleh kebaikan yang berlipat ganda karena kebaikannya, sedangkan orang yang membalas kebaikan dengan keburukan memperoleh keburukan.

Di dalam kenyataan kehidupan memang tidak selalu kebaikan memperoleh balasan kebaikan dari sesama manusia. Orang yang diperlakukan baik, belum tentu membalas kebaikan itu dengan kebaikan pula. Malahan, ada orang yang membalas kebaikan dengan makian, sumpah serapah, atau fitnah!

Jika dibuat perbandingan, tentu lebih banyak orang yang dapat membalas kebaikan dengan kebaikan. Hal ini tidak berarti selalu ada kesamaan wujud kebaikan. Misalnya, ada orang yang tergolong duafa dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan uang, mereka memperoleh bantuan uang. Lalu, mereka berterima kasih kepada orang yang telah menolongnya. Mereka pun mendoakannya. Hakikatnya mereka membalas kebaikan dengan kebaikan juga.

Ada orang yang membalas kebaikan dengan ucapan atau tindakan yang lebih baik. Ketika mendengar ucapan salam misalnya, ucapan tersebut dibalas dengan yang lebih baik. Ucapan assalamu’alaikum dibalas dengan wa’alaikumussalam warahmatullah, atau bahkan, dengan  wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Ada lagi: buah tangan dari tamu yang harganya sekitar seratus ribu rupiah dibalas dengan jamuan dan balasan oleh-oleh yang harganya lebih dari itu. Bahkan, tuan rumah mendoakan keselamatan tamunya dan beroleh keberkahan atas silaturahimnya.

Sementara itu, ada orang yang sebaliknya. Saudara, teman, atau tetangga membalas kebaikan dengan ucapan dan/tindakan yang buruk. Ketika sangat memerlukan bantuan, dia datang dengan wajah memelas. Bicaranya formal dan halus. Janjinya meyakinkan. Namun, dia tidak dapat melaksanakannya.

Pada awalnya, tiga hari sebelum waktu yang dijanjikannya, dia datang atau berkirim kabar lewat WA atau menelepon untuk meminta maaf karena belum dapat melaksanakan janjinya. Dia pun berjanji lagi. Meyakinkan! Orang yang membantunya pun memakluminya. Dia husnuzan!

Janji yang kedua tidak dapat dipenuhinya. Mulai terjadi perubahan perilaku. Dia tidak lagi memberi tahu sebelumnya. Dia baru memberi tahu setelah waktu yang dijanjikannya lewat. Tidak tertinggal dikatakannya juga berbagai alasan yang rasional. Orang yang membantunya tetap memakluminya dan husnuzan.

Janji ketiga tidak dipenuhi juga. Tidak ada pemberitahuan sama sekali. Bahkan, ketika ditelepon, dia tidak segera merespons. Setelah nyambung, dia berbicara sangat tergesa-gesa. Lalu, komunikasi terhenti!

Janji keempat lewat! Tidak ada kabar sama sekali. Ketika terjadi komunikasi, dia bukannya minta maaf. Dia malah seperti menyalahkan orang yang meminjaminya uang. Namun, orang yang menolongnya tidak berubah: tetap husnuzan! Malahan, mereka makin yakin bahwa Allah Subhanahu wa Ta’aala telah menyiapkan ganti yang jauh lebih memuliakannya.

Berdoa, Berpikir Cerdas, dan Berakhlak Mulia

Tiba-tiba Kusuma tampak tidak seceria biasanya. Anak ini memang jarang sekali curhat kepada orang tuanya sekalipun.  Namun, kali ini dia harus berbicara dengan orang tuanya. Dia tahu betul rida Allah Subhanahu wa Ta’aala bergantung pada rida orang tua.

Beberapa hari dia berusaha untuk berani, tetapi niatnya tertahan di tenggorokan dan akhirnya diurungkannya. Dia khawatir ibunya sangat kecewa sebab ibunya sangat senang dengan pekerjaaan anaknya sebagai tenaga pengajar di dua perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, bahkan di Indonesia. Banyak alumni kedua perguruan tinggi itu yang menjadi pejabat pemerintah tingkat tinggi.

Dari perguruan tinggi yang pertama ada alumni yang pernah menjadi menteri. Kemudian, ada pula yang menjadi Wakil Presiden RI pada era pemerintahan 1909-1914. Bahkan, ada alumninya yang menjadi Presiden RI sejak 1914-2019 dan 2019-(jika sesuai dengan periodenya) hingga 2024. Dari perguruan tinggi kedua, ada yang pernah menjadi menteri, misalnya Menteri Agama RI pada era pemerintahan 1973-1978.

Memang Kusuma belum berstatus sebagai dosen tetap. Namun, perjuangan untuk menjadi tenaga pengajar di kedua perguruan tinggi itu bukan hal enteng. Sejak akan mendaftarkan diri untuk kuliah, tes masuk, hingga selesai, kedua orang tuanya, terutama ibunya, tidak pernah berhenti mendoakannya agar dia sukses dalam rida Allah Subhanahu wa Ta’aala. Berkenaan dengan itu, dia “dikondisikan” agar pintar dalam arti seluas-luasnya.

Ibunya menasihati jika Kusuma ingin jadi dosen, kuliah harus pintar. Pintar pula bergaul tidak hanya dengan masyarakat kampus, tetapi juga dengan masyarakat kampung tempatnya indekos. Harus sopan dan hormat kepada siapa pun lebih-lebih kepada dosen.

Di samping itu, ada nasihat khusus yang berkenaan dengan berpakaian. Kusuma diwajibkan berhijab sesuai dengan ketentuan syar’i. Kusuma sangat patuh.

Ketika ada kesempatan memperoleh beasiswa, tidak dengan serta merta dan senang dia menerimanya, tetapi peduli pada temannya yang lebih memerlukannya. Hal itu disampaikannya kepada pihak yang berkompeten sehingga temannya itulah yang mendapatkannya.

Oleh dosen dan tenaga kependidikan, dia dikenal sebagai mahasiswa yang santun. Dia dipanggil atau disapa oleh staf tenaga kependidikan dengan sapaan, “Jeng.” Di dalam bahasa Jawa, kata sapaan bernilai-rasa hormat. Sapaan itu digunakan kepada perempuan yang lebih muda usia.

Di kampung tempat indekosnya, dia menjadi aktivis keputrian di salah satu masjid dekat kampus. Berbagai kegiatan diadakan bersama temannya.

Dia lulus dengan predikat Cum Laude. Ada dosen yang menyebutnya bahwa dia bukan hanya cerdas. Dia hebat!

Ketika menikah, tidak hanya tenaga kependidikan dan teman dosen satu program studi yang hadir, tetapi juga jamaah masjid tempat dia aktif semasa kuliah dan orang-orang desa tempat dia melaksanakan Kuliah Kerja Nyata. Mereka mendoakan agar pernikahannya memperoleh keberkahan.

Semua itu diyakini oleh ibunya sebagai hasil berdoa, didoakan, dan berikhtiar di jalan Allah Subhanu wa’aala. Tanpa pertolongan-Nya, anaknya tidak mungkin dapat melakukan berbagai kebaikan dan diperlakukan dengan sangat baik.

Pamit Mendampingi Suami

Akhirnya, Kusuma memberanikan diri untuk minta izin pada ibunya. “Em … kalau saya mendampingi Mas An di Batam boleh, Bu?”

Ibunya terkejut. Seperti tidak percaya. Namun, dia berusaha menutupinya. “Em … lalu, mengajarmu?”

“Ya, tidak lanjut.”

“Sudah istikharah?”

“Alhamdulillah. Sudah!”

“Kalau demikian kemantapan hatimu, silakan. Insya-Allah itu petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’aala. Kamu memang wajib mendampingi suami di mana  pun dia bertugas.”

Sesaat kemudian Kusuma ragu. Dia belum berbicara dengan bapaknya. “Em … Bapak boleh nggak, ya, Bu?”

“Pasti boleh. Asal kamu katakan sudah istikharah, pasti boleh!”

Benar! Beberapa saat kemudian, atas “rida” orang tuanya, Kusuma mengundurkan diri sebagai pengajar di kedua perguruan tinggi itu dengan niat beribadah sebagai istri. Tidak lama dia mendampingi suaminya di Batam karena suaminya mengikuti pendidikan di Jakarta.

Kusuma memilih kembali ke rumah orang tuanya. Tidak mungkin dia kembali mengajar di perguruan tinggi yang telah ditinggalkannya. Lalu, dia mengajar di perguruan tinggi terdekat dengan rumah orang tuanya.

Selesai pendidikan di Jakarta, suaminya mendapat tugas baru di Gorontalo. Lagi-lagi dengan niat beribadah sebagai istri, Kusuma mendampingi suaminya.

Balasan Kebaikan dari Allah Subhanahu wa Ta’aala

Ada kesempatan mengikuti tes CPNS. Atas hasil musyawarah dengan suaminya, Kusuma siap mengikuti tes. Kesempatan itu dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.

Dipelajarinya dengan cermat formasi yang tersedia di berbagai instansi pemerintah. Dia memilih formasi di instansi yang diyakininya memberinya peluang untuk berkompetisi secara terbuka. Dia tidak memilih formasi dosen di perguruan tinggi tempat mengajar yang terakhir karena sudah ada dosen yang berstatus sebagai dosen tidak tetap. Menurut pertimbangannya, jika atas izin Allah Subhanahu wa Ta’aala, dia lulus tes, sedangkan dosen yang berstatus sebagai dosen tidak tetap tidak lulus, berarti dia telah menggusurnya. Langkah itu ditempuhnya sebagai ikhtiar agar tidak merugikan orang lain.

Makin intensif dia berdoa. Juga seluruh keluarganya. Suasana rumah pada sepertiga malam terakhir seperti layaknya Ramadan. Ada kesamaan strategi dan ada juga kebersamaan.

Tiba saatnya tes tahap pertama. Ketransparanan diberlakukan. Skor pun dapat dilihat melalui layar monitor.

Banyak orang tua, yang mengantarkan anaknya, secara serius melihat skor peserta tes melalui layar monitor. Di antara mereka ada yang sangat cemas karena skor anaknya di bawah jauh dari skor peserta lain.

Tes berakhir. Peserta tes keluar dari ruang. Bu Ratih (sebut saja begitu) langsung menemui peserta tes.

“Mbak Kusuma itu mana, ya?” dia penasaran.

Kusuma ikut penasaran juga. Ada apa, ya?Adakah yang salah? Bisiknya di dalam hatinya.

“Saya, Bu.” Perasaannya tidak menentu.

“Mbak Kusuma ndaftar di mana?”

Tanpa ragu Kusuma menyebutkannya. Bu Ratih tiba-tiba tampak ceria. Kecemasan hilang sama sekali.

“Alhamdulillah! Bukan saingan anak saya.”

Rupanya Bu Ratih khawatir akan anaknya. Skor yang dicapai anaknya jauh di bawah skor Kusuma.

Suasana menjelang tes kedua, aktivitas tahajud, berzikir, dan berdoa sepertiga malam terakhir di rumah Kusuma makin intens. Beberapa hari kemudian dilangsungkan tes kedua.

Pada tes kedua Kusuma diantar ayahnya. Ketransparanan tes tetap terkondisikan dengan baik. Semua pengantar dapat melihat skor yang dicapai oleh peserta tes melalui layar monitor. Ayahnya melihat sendiri skor Kusuma di atas peserta yang lain. Kusuma dan ayahnya optimistis.

Kusuma lulus tes CPNS. Dia diterima di salah satu instansi pemerintah yang berkantor di Bogor. Kata teman-temannya yang sekantor, dia lulus dengan nilai tertinggi. Alhamdulillah!

Masih ada balasan kebaikan lain yang diperolehnya. Anaknya yang pertama berusia hampir enam tahun. Sudah pantas dia mempunyai adik. Namun, belum ada tanda-tanda. Ketika orang tuanya akan beribadah haji, Kusuma curhat pada ibunya tentang hal itu. Diceritakannya bahwa menurut ilmu medis, dia tidak sedang dalam keadaan subur. Namun, ibunya meyakini secara total bahwa masalah keturunan itu ilmunya Allah Subhanahu wa Ta’aa. Apa pun dapat terjadi meskipun bagi ilmu manusia mustahil.

Dengan keimanan itu, ibunya ketika di tanah suci minta bantuan teman-temannya agar ikut mendoakan Kusuma dianugerahi anak kedua. Teman-temannya pun mengamini.

Subhanallah! Alhamdulillah! Allahu akbar! Sepulang ibunya dari beribadah haji, Kusuma dengan penuh rasa syukurnya memberi tahu ibunya bahwa “tamu rutinnya” tidak datang lagi.

Wa Allahu a’lam

 

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, Tinggal di Magelang Kota

 

 

Exit mobile version