Tadabur Al-Qur’an, Kesehatan Spiritual, Dan Perempuan Islam Berkemajuan

Tadabur Al-Qur’an, Kesehatan Spiritual, Dan Perempuan Islam Berkemajuan

Ilustrasi

Tadabur Al-Qur’an, Kesehatan Spiritual,

Dan Perempuan Islam Berkemajuan

Oleh: Nurcholid Umam Kurniawan dan Wildan

 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,

dan silih bergantinya malam dan siang terdapat

tanda-tanda bagi orang yang berakal budi. (Yaitu) orang-orang

yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau

dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang

penciptaan langit dan bumi : “Tuhan kami, tiadalah Engkau

menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci  Engkau, maka

peliharalah kami dari siksa neraka. Tuhan kami, sesungguhnya

siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh

telah Engkau hinakan dia, dan tidak ada bagi orang-orang

yang zalim satu penolongpun”.

(QS Ali ‘Imran [3] : 190 -192).

 

Menurut Salman bin Umar as-Sunaidi (2008).dalam bukunya  yang judul aslinya “ Tadabbur al-Qur’an” diterjemahkan dengan judul : ‘Mudahnya Memahami Al-Qur’an”, adapun makna tadabur dari segi bahasa, yaitu memperhatikan kesudahan perkara serta memikirkan artinya. Memperhatikan  dan memikirkan pangkal dan ujungnya, kemudian mengulanginya beberapa kali.

 

Selanjutnya, makna tadabur al-Qur’an, yaitu memahami arti dari lafazh-lafazhnya, merenungkan apa yang ditunjukkan oleh ayat-ayatnya secara eksplisit, apa yang masuk dalam kandungannya, dan apa yang makna-maknanya tersebut tidak akan utuh kecuali dengannya, yang tidak disebutkan (secara eksplisit) oleh lafazh berupa isyarat dan suatu peringatan.

 

Bahwa tadabur al-Qur’an  adalah meliputi hal-hal berikut : 1) Mengetahui makna kosa kata serta maksudnya; 2) Merenungkan apa yang ditunjukkan oleh satu atau beberapa ayat, yang dipahami dari konteks maupun susunan kalimat; 3) Peran akal budi  adalah mengambil pelajaran dari hujjah-hujjahnya, serta tergeraknya jiwa (pikiran, perasaan dan perilaku) untuk mengamalkannya dan meninggalkan larangan-larangannya dan 4) Tunduk kepada perintah-perintahnya dan yakin dengan berita-beritanya.

 

Menunjuk pada kutipan ayat terrsebut di atas, menurut M Quraish Shihab (2012), Allah menguraikan sekelumit dari penciptaan-Nya itu serta memerintahkan agar memikirkannya, menjadi manusia yang Ulul Albab. Mereka adalah orang-orang yang baik lelaki maupun perempuan, yang terus-menerus mengingat Allah, dengan ucapan dan atau pikiran dalam seluruh situasi dan kondisi saat bekerja atau istirahat, sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, atau bagaimana pun dan mereka memikirkan tentang penciptaan, yakni kejadian dan sistem kerja langit dan bumi. Pendek kata , menjadi manusia yang ulul albab adalah manusia baik lelaki maupun perempuan, yaitu manusia yang punya pemikiran yang mendalam. Dengan kata lain, manusia yang berakal budi adalah manusia yang mempunyai budi pekerti. Dengan budi (otak depan), manusia menjadi manusia yang berhati nurani. Tanpa budi yang didapatkan hati zulmani, hati yang gelap tidak nurani, tidak bercahaya. Sayangnya, hati zulmani belum masuk dalam kosa kata bahasa Indonesia (Madjid, 1998).

 

Dalam Surah al-A’raf [7] ayat 179, Tuhan memberi petunjuk, gunakan kalbumu (otak depan) untuk memahami ayat-ayat Allah, gunakan matamu (otak belakang)  untuk melihat kebesaran Allah, dan gunakan telingamu (otak samping) untuk mendengar ayat-ayat Allah. Jika manusia lalai, akibatnya perilaku manusia seperti perilaku binatang ternak, bahkan bisa sesat lagi, sehingga dengan mudah manusia digiring masuk ke neraka !

 

Menurut Syahrur (1991), dalam bahasa Arab al-qalb (dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kalbu atau hati nurani) berasal dari akar kata qa-la-ba. Huruf qaf, lam dan ba mempunyai dua asal makna. Makna yang pertama, menunjukkan pada sesuatu yang murni atau istimewa. Makna yang kedua, adalah berbolak-baliknya sesuatu dari satu sisi ke sisi yang lain.

 

Dari makna yang pertama, muncul istilah al-qalb, yaitu organ yang terdapat pada manusia dan juga mahluk lainnya. Yang murni dan paling istimewa dari segala sesuatu adalah qalb-nya. Kitab Suci secara umum menggunakan istilah al-qalb untuk merujuk sesuatu atau organ yang dianggap yang paling istimewa dalam tubuh manusia. Organ ini adalah “otak”, yang merupakan sesuatu yang paling berharga bagi manusia, sehingga disebut sebagai al-qalb. Fungsi al-qalb ada dua, ialah untuk berpikir (ya’qilu), dan untuk memahami (yafqahu). Untuk membedakan antara al-qalb (yang digunakan untuk berpikir dan memahami) dengan jantung (yang berada di dalam rongga dada dan merupakan organ pemompa darah), maka kita gunakan istilah al-qalb untuk otak, dan istilah al-‘adhlat ul-qalbiyah untuk jantung. Otak-lah yang paling berharga dan ini dapat disimpulkan dari fakta bahwa kematian terjadi dengan berakhirnya proses otak (brain death), bukan dengan berakhirnya proses jantung atau heart death.

 

Makna kedua adalah berbolak-baliknya sesuatu dari satu sisi ke sisi yang lain. Ini menunjuk kepada jantung yang secara simbolik menunjuk pada emosi atau perasaan. Oleh masyarakat Indonesia pada umumnya, letak emosi atau perasaan dianggap ada di dalam hati (yang merupakan terjemahan salah kaprah dari kata “heart” yang sebenarnya berarti jantung, maka broken heart bukan patah hati, mestinya patah jantung). Sesungguhnya letak emosi di otak pada sistem limbik.

 

Tuhan menciptakan manusia dengan penuh kecintaan. Dengan demikian, sudah sepatutnya dan selayaknya manusia juga membalas cinta Tuhan dengan penuh rasa cinta kepada-Nya. Oleh karena itu, tanda-tanda bahwa orang itu beriman (Surah al-Anfal [8] : 2) adalah apabila disebut nama Allah berdebar-debar jantungnya (bukan bergetar hatinya), karena saking cintanya kepada Allah. Selain itu, apabila mendengar ayat-ayat Allah akan bertambah-tambah imannya (karena makin bertambah cintanya kepada Allah). Iman diterjemahkan dengan percaya. Kata percaya berasal dari kata cahaya. Dengan demikian, orang yang beriman kepada Allah, wajahnya memancarkan cahaya cinta, meskipun jidatnya tidak hitam.

 

Otaklah yang membuat manusia menjadi manusia (Robert Levingstone, 1967 dalam Aswin, 1995). Otak adalah organ paling penting dalam diri manusia. Oleh karena itu, sabda Nabi Saw. yang berbunyi : “ Sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka semua anggota tubuh akan baik. Apabila segumpal daging itu buruk, maka semua anggota tubuh akan menjadi buruk pula. Segumpal daging itu adalah hati (mestinya jantung)” (HR Bukhari dan Muslim). Jika jantung rusak, maka otak pun akan menjadi rusak, akibat otak kekurangan darah.

 

Otak dibentuk oleh 172 milyar neuron (sel syaraf) dan nonneuron. Dengan berat 1,5 kg. otak mampu mengontrol fungsi organ lainnya secara keseluruhan. Karena itu, otak dapat mengatur segala aktivitas hidup manusia (Machfoed, 2016). Meskipun berat otak kira-kira 2% dari berat badan, tapi sekitar 18% dari volume darah seluruhnya beredar dalam sirkulasi darah otak. Otak juga menggunakan sekitar 20% dari oksigen yang dihirup melalui paru. Otak sangat memerlukan oksigen dan glukosa, dimana kebutuhan ini terpenuhi bila aliran darah ke otak normal (Bahrudin, 2016). Ketika manusia dalam posisi sujud saat melakukan ibadah salat, maka darah akan menggenangi otak secara sempurna. Dengan demikian, kesehatan otak manusia makin meningkat ! Maka, ritual salat adalah anugerah Tuhan  agar manusia senantiasa terpelihara kesehatan otaknya !

 

Menurut Andi Hakim Nasoetion, Guru Besar Statistika dan Genetika Kuantitatif Institut Pertanian Bogor, dalam kata pengantar buku “Konkordansi  Qur’an”, Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Qur’an, karangan Ali Audah (1991), yang diberinya judul : “Renungan Seorang Pengamat Kelahiran Buku Ini”, menulis : Di dalam Islam tidak ada pendeta. Setiap Muslim dan Muslimah bebas berhubungan batin secara langsung dengan Tuhannya. Akan tetapi hal itu berakibat bahwa seorang pemeluk agama islam fardu ain mempelajari agamanya. Di samping itu fardu kifayah baginya untuk mempelajari satu bidang pengetahuan sesuai dengan kemampuannya agar dapat membawa manfaat bagi seluruh umat.

 

Dahulu, seluruh penganut agama islam adalah penutur bahasa Arab. Lagi-lagi pengetahuan duniawi yang diperlukan tidak serumit sekarang. Karena itu orang tua hanya perlu mengajari anak lelakinya berkuda, mengendarai unta, berenang, membela diri, bercocoktanam, beternak, dan mungkin berniaga, serta anak perempuannya memasak dan mempersiapkan diri untuk pekerjaan rumahtangga. Semuanya ini dilakukan pagi dan siang hari. Karena itu malam hari menjadi kesempatan yang baik untuk mendalami agama melalui  penghafalan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Karena semuanya penutur bahasa Arab, menghafal akhirnya artinya juga adalah memahami makna yang dihafal itu.

 

Sekarang ini pemeluk agama Islam yang terbanyak bukanlah penutur bahasa Arab. Pengetahuaqn yang diperlukan untuk dapat bertahan hidup di dunia ini sebagai pribadi, sebagai masyarakat, dan sebagai bangsa pun semakin banyak dan semakin rumit. Tidak mungkin lagi setiap orang dapat menguasai semua bidang ilmu, apakah itu ilmu aqliah atau ilmu naqliah, sama kuatnya. Karena itu timbulnya gejala baru di kalangan umat Islam dunia modern ini yang tidak mungkin terjadi di abad ketujuh tarikh Masehi. Di satu pihak ada orang yang sangat menguasai ilmu agama tetapi kurang paham ilmu dunia. Di pihak lain ada orang yang demikian dalamnya pemahamannya tentang ilmu dunia akan tetapi mengalami hambatan memahami agamanya karena ia tidak paham bahasa Arab, baik dari segi penuturan maupun dari segi ilmu bahasanya. Di samping itu lagi kesibukannya tidak memungkinkannya berguru secara teratur kepada seorang guru agama. Apalagi di dalam pendidikannya ia sudah demikian terlatihnya untuk mempelajari sendiri apa saja yang ingin diketahui olehnya, apalagi ia sudah tergerak ingin mendalaminya, termasuk juga pengetahuan agama.

 

Semasa kecil saya dalam zaman Hindia Belanda dan zaman pendudukan Jepang, pelajaran agama Islam tidak diajarkan di sekolah. Dalam zaman pendudukan Jepang saya sempat belajar di pesantren di sore hari selama dua tahun. Semua buku pelajaran apakah itu mengenai tauhid, fikh, ataupun hadis ditulis dalam bahasa Arab dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Semuanya harus dihafalkan di luar kepala. Hal itu sama sekali tidak saya sukai karena menghafal memang bukan metode belajar saya. Terus terang saja pengalaman itu membuat saya menjadi sama sekali tidak tertarik mempelajari agama Islam. Bagi saya sudah cukup apabila dapat menjalankan ritual agama yang fardu. Keinginan untuk mendalami isi Kitab Suci al-Qur’an justru timbul dalam diri saya ketika sedang mengembara jauh dari tanah air. Di perpustakaan pusat Universitas Negara bagian Carolina Utara di Raleigh, rak buku-buku  filsafat letaknya berdekatan dengan rak buku untuk Genetika dan Metodologi Penelitian. Di dalam rak buku untuk filsafat sains itulah saya temukan tafsir Qur’an karangan Abdullah Yusuf Ali yang diedarkan di Amerika Serikat sebagai hadiah Pemerintah Arab Saudi. Terjemah dan tafsir itulah yang pertama saya pelajari, terutama mengenai ayat-ayat kauniah yang ada kaitannya dengan Genetika yang saya pelajari sebagai bidang ilmu kedua.

 

Sekembalinya di Indonesia pada tahun 1965 saya merasa sangat menyesal tidak berusaha membeli buku itu untuk dibawa pulang ke Indonesia. Ternyata pada ketika itu agak sulit bagi saya menemukan terjemah lengkap dan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia. Mungkin bukunya ada tetapi tidak saya ketahui di mana harus dibeli atau dipinjam. Barulah pada awal tahun-tahun tujuhpuluhan saya dapat memiliki terjemah dan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Salah satu kesulitan saya adalah mencari ayat tertentu kalau salah satu katanya atau sebagian maknanya saya ketahui, karena walaupun di berbagai buku itu penyusunnya sudah berupaya membuat penggolongan dan indeks, bentuknya belum lengkap.

 

Kemudian saya coba membeli kitab Muhammad Fuad Abdul Baqi dan Fathurahman, akan tetapi karena saya hanyalah seorang putus pesantren, membolak-balik kedua buku itu memerlukan keberanian dan ketekunan yang luar biasa yang sama sekali tidak saya miliki,  karena semuanya itu mengembalikan kenangan saya ke berbagai trauma yang saya alami sebagai “tilmizun” di pesantren. Apalagi setelah pada tahun 1979 kami sekeluarga pindah ke kompleks perumahan Bogor Baru, saya merasa sangat beruntung mendapatkan Saudara Ali Audah sebagai teman berjalan-kaki di pagi hari. Kesempatan itulah yang saya gunakan untuk menambah pengetahuan agama saya. Kalau saya bertanya mengenai suatu ayat, biasanya jawabannya langsung saya dapat peroleh ketika itu juga di jalan, atau pada pagi itu juga melalui telepon. Hanya kalau pertanyaan saya menyangkut hadis diluar apa yang dirawi asy-Syaikhan Bukhari dan Muslim, jawabannya kadang-kadang baru diperoleh keesokan harinya. Beliau mengatakan bahwa kalau kita memahami bahasa Arab, indeks untuk melacak ayat-ayat Qur’an sudah tersedia dengan lengkap. Demikian pula dengan hadis dari dua kitab utama tetapi tidak cukup bersistem untuk hadis dalam keempat kitab lainnya dari Kitab yang Enam.

 

Pada ketika itulah terlontar ucapan saya bahwa sesungguhnya Saudara Ali Audah itu tahu banyak akan tatabahasa Arab dan tatabahasa Indonesia. Oleh karena itu akan sangat berjasa beliau bagi orang-orang seperti saya ini, yang telah terlalu lama meng’ainkan sesuatu yang fardu kifayah dan mengkifayahkan sesuatu yang seharusnya adalah fardu ‘ain, apabila dapat menulis suatu konkordansi Qur’an untuk penutur bahasa Indonesia. Saya rasa ucapan saya itu hanya ucapan main-main saja. Alangkah kaget bercampur gembiranya saya setelah beberapa hari kemudian beliau menyatakan niat untuk membuat konkordansi itu. Waktu itu pula dalam tahun 1983 saya katakan pada beliau bahwa kalau benar-benar sudah pasang niat seperti itu, harus juga didampingi niat untuk mengerjakannya dengan bantuan komputer. Jadilah waktu jalan-kaki kami di pagi hari suatu usaha belajar dua arah. Saya mendapat kuliah subuh dari Saudara Ali dan beliau belajar teknik pengoperasian komputer dari muridnya. Singkat cerita, akhirnya terwujudlah buku itu.

 

Agama,  Kesehatan Spiritual dan Korupsi

Dengan ilmu hidup menjadi mudah. Dengan agama hidup menjadi terarah. Dengan seni hidup menjadi indah” (HA Mukti Ali, 1923 – 2004).

 

Agama dari kata gam (bahasa Sanskerta) yang artinya pergi, sebagaimana kata go (dalam bahasa Inggris) yang juga punya arti yang sama yaitu pergi. Karena kedua bahasa itu merupakan cabang dari pohon bahasa yang sama, yaitu bahasa Proto-Eropa. Kata gam kemudian dapat awalan dan akhiran a yang lalu berubah arti menjadi jalan. Maka, kata agama berarti jalan menuju Tuhan (road to Allah).

 

Manusia menurut al-Qur’an adalah ciptaan Allah yang diberi tugas untuk menjadi khalifah (QS al-Baqarah [2] : 30) di atas Bumi. Untuk menjalankan fungsi kekhalifahan ini, manusia tidak dibedakan latar belakang kesukuan maupun jenis kelamin, semuanya setara di hadapan Allah dan diberi kebebasan untuk berpikir dan bertindak. Namun agar fungsi kekhalifahan ini berjalan sesuai dengan yang dikehendaki Allah, maka Allah memberikan rambu-rambu petunjuk, yang dalam kisah tentang proses penciptaan Adam disebut dengan istilah “kalimat” (QS al-Baqarah [2] : 37). “Kalimat” ini, meminjam istilah Nurcholis Madjid (dalam Abu Hafsin, 2006), berfungsi sebagai “spiritual safety net” (jaring pengaman spiritual), yang akan selalu menjadi pembimbing atas kebebasan yang diberikan Allah. Kalau demikian, maka istilah “kalimat” tidak lain dari agama.

 

Lebih lanjut Abu Hafsin (2006) menulis, keyakinan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka Bumi jelas akan melahirkan dua sisi implikasi, yakni implikasi internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan implikasi internal adalah keyakinan kita sebagai umat Islam akan kebenaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai peerwujudan dari “kalimat” yang tidak lain dari agama. Mengapa? Karena dalam Islam keseluruhan ajaran agama ini dapat dipelajari melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Apa yang ditulis dalam al-Qur’an dan dipraktikkan oleh Rasulullah merupakan pembimbing bagi manusia agar kebebasan yang diberikan Allah sejalan dengan fungsi kekhalifahannya.

 

Implikasi yang kedua dari keyakinan bahwa manusia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka Bumi ini sifatnya eksternal. Hal ini berkait erat dengan bagaimana kita memandang orang lain yang tidak percaya dengan al-Qur’an, namun fungsi kekhalifahan sebagaimana dikehendaki al-Qur’an ada pada mereka. Inilah pertanyaan yang jelas memerlukan reinterpretasi ayat-ayat tentang dakwah maupun ayat-ayat tentang jihad.

 

Sebagaimana dijelaskan di atas, Islam memandang bahwa fungsi kekhalifahan manusia tidak mungkin terwujud dengan baik, atau dalam bahasa lebih singkat, bumi ini akan rusak manakala hak-hak dasar kemanusiaan tidak terjaga dengan baik. Jadi undang-undang tentang perlindungan Bumi itu sangat berwatak Qur’ani dan manusiawi, tertib lalu lintas itu sangat Qur’ani dan manusiawi, karena jelas yang dituju adalah keselamatan nyawa. Kebiasaan untuk antri serta kesetaraan gender yang sejalan dengan alam atau qodrat kewanitaan juga sangat Qur’ani dan manusiawi. Mengapa? Karena telah memandang dan menempatkan manusia dalam posisinya sebagai “manusia”. Jadi yang dilihat bukan sebagai “orang penting” atau “ orang yang kurang penting”, bukan pula wanita sebagai sebuah “jenis” tetapi wanita sebagai “manusia”.

 

Jika agama mengajarkan pada para penganutnya untuk menghormati orang lain, hidup berdampingan dengan harmonis dan semua itu sejalan dengan spirit humanisme, maka kekerasan atas nama agama bisa jadi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara semangat keberagamaan dan kemampuan untuk memahami ajaran agama. Semangat keberagamaan yang tinggi tanpa disertai pemahaman yang mendalam akan dimensi esoteris dari agama dapat mengarahkan manusia pada sikap fanatik (fanatical attitude), sikap keberagamaan yang sempit (narrow religiousity) dan fundamentalisme.

 

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya (Lirik Lagu Kebangsaan RI, WR Soepratman, 1928). Memang, kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada maknanya, “Health is not everything but without it everything is nothing” (Arthur Schopenhauer, 1788 -1860). Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (rohani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

 

“Bahasa menunjukkan bangsa”, demikian kata pepatah. Sayang bahasa Indonesia kita itu miskin, hanya mengenal dua kosa kata yang berkaitan dengan kesehatan, yaitu sehat jasmani dan rohani ! Mestinya sehat jasmani, nafsani, rohani dan mujtama’i. Akibatnya, pasien gangguan jiwa (mental disorder) dianggap sakit rohani, dianggap  akibat kurang beribadah, menyeleweng dari petunjuk agama, berbuat dosa.

 

There is no health without mental health”, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa (Prince et al., 2007). Menurut Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Dengan demikian, cakupan masalah kesehatan jiwa sangat luas, merentang dari Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) sampai dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

 

Merujuk pada buku Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, bahwa gangguan jiwa didapatkan adanya gejala klinis yang bermakna, yang berupa : sindroma (kumpulan gejala), pola perilaku atau pola psikologik, gejala klinis itu menimbulkan distress (penderitaan), antara lain dapat berupa : rasa nyeri, tidak nyaman, tidak tenteram, terganggu, disfungsi organ dll. Dan gejala klinis tersebut menimbulkan disability (ketidakmampuan) dalam aktivitas kehidupan sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup, seperti mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll. Dengan demikian, membantu pasien gangguan jiwa itu amal saleh, sebaliknya membantu “pasien” koruptor untuk ikut korupsi itu amal salah

 

Penyebab gangguan jiwa itu multifaktorial (organobiologik), psikoedukatif dan sosiokultural). Oleh sebab itu, imunisasi untuk mencegah munculnya gangguan jiwa hingga saat ini belum ditemukan. Oleh karena itu, gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Bisa menimpa dari sinden sampai presiden, dari dukun sampai dekan, dari selebriti sampai politisi maupun polisi.

 

Jadi, gangguian jiwa itu tidak cuma gila (psikosis) ! Pasien dengan gangguan psikotik atau (maaf) edan lebih mudah diobati daripada “pasien” yang ngedan ! Contohnya, para  koruptor ! Mereka itu tidak sehat spiritual ! Tidak menggunakan akal budi, tanpa budi, akalnya di-pake untuk ngakali dan akal-akalan anggaran, baik APBN atau APBD , KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), korupsi berjamaah antara penguasa dengan pengusaha ! Lalu, apa bedanya maling dengan koruptor? Jika pencuri itu ada niat dan peluang atau kesempatan. Koruptor itu ada niat, peluang dan kekuasaan ! Ing ngarso mumpung kuasa,  ing madya numpuk banda, tur wuri hanjegali lan hanggemboli, di depan mumpung berkuasa, di tengah menumpuk harta, di belakang men-jegal dan (sibuk) memasukkan (duwit) dalam kantung (bank di luar negeri) !

 

Bahwa perkembangan kepribadian seseorang adalah proses spiritual (Maslow, 1997). Spiritualitas dari bahasa Latin, dari kata spiritus yang berarti menyalakan, membuat terang. Dalam kehidupan, spiritualitas mewujudkan dari dalam upaya mencari makna hidup (the meaning of life). Memang belum ada definisi konkret tentang kesehatan spiritual. Namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa orang yang sehat spiritual adalah orang yang perilakunya bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia.

 

Menurut Prof. Dr. dr. Syamsulhadi, Sp. KJ (K), Guru Besar Psikiatri FK-UNS, bahwa spiritualitas tidak dapat dipisahkan dari agama (religiositas). Dengan demikian, orang yang sehat spiritual adalah orang yang mengejawantahkan nilai-nilai moral (moral values) yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci. Lewat Kitab Suci Tuhan melakukan pengajaran (transfer of knowlegde) dan pendidikan (transfer of values). Misalnya, jangan mencuri apalagi korupsi !

 

Lewat Kitab Suci Tuhan mengingatkan umat manusia agar tidak mengulangi perbuatan kakek-nenek umat manusia Adam-Hawa, dihukum Tuhan dikeluarkan dari surga karena pelajaran dari Tuhan tidak digunakan ! Berbuat salah itu manusiawi. Dalam bahasa Latin ada kalimat hikmah, “Erare humanum est” (Manusia adalah pembuat kesalahan). Mempertahankan kesalahan itu perbuatan ibllis. Sudah tahu itu perbuatan salah, lalu mengajak orang lain untuk ikut berbuat salah itu perbuatan setan ! Setan itu kata sifat, bukan kata benda, maka setan dapat berwujud manusia atau jin.

 

Korupsi berjamaah itu kumpulan setan-setan, andaikata Kanjeng Nabi Ibrahim masih hidup, bisa jadi para “setan” (koruptor) itu dilempari batu pada jidatnya ! Mengapa ? Karena otak dibalik jihat (prefrontal cortex atau otak budi, otak yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, hewan tidak) tidak digunakan sebagaimana yang dikehendaki Tuhan.. Dengan akal budi manusia menjadi homo humanus, manusia humanistik. Tidak menggunakan akal budi, manusia menjadi homo barbarus, manusia biadab ! Hidup itu pilihan, Tuhan memberikan kebebasan pada manusia, bebas membuat pilihan (free choice), bebas berkehendak (free will) dan bebas bertindak (free act) ! Agar manusia tidak membuat pilihan yang salah, Tuhan menganugerahkan agama !

 

Arti Islam. Pentingnya Agama itu dinamakan Islam, karena menunjukkan hakikat dan esensi agama itu. Arti kata “Islam” adalah “masuk dalam perdamaian”, dan seorang “Muslim” adalah orang yang “membikin perdamaian dengan Tuhan dan dengan manusia”. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh secara menyeluruh kepada kehendak-Nya, dan damai dengan manusia tidak berarti meninggalkan pekerjaan jelek dan menyakitkan orang lain, tetapi juga berbuat baik kepada orang lain. Kedua makna “perdamaian” itu merupakan esensi dari agama Islam. Dengan itu, maka Islam pada asasnya adalah agama perdamaian, dan ajarannya yang pokok adalah keesaan Tuhan dan keesaan seantero umat  manusia (Ali, 1991).

 

Adalah menjadi tugas Islam untuk menciptakan perdamaian di dunia ini dengan menegakkan persaudaraan semua agama di dunia, menghimpun kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam agama-agama yang dulu, membetulkan ajaran-ajarannya yang salah, mengganti yang palsu dengan yang benar, mengajarkan kebajikan abadi yang dulu belum pernah diajarkan karena keadaan-keadaan khusus dari tiap-tiap ras, dan masyarakat dari tingkat perkembangannya, dan akhirnya mengajarkan tuntunan-tuntunan moral dan spiritual bagi kemajuan umat manusia (Ali, 1991).

 

Menurut Shihab et al. (2000), al-Qur’an sebagaiu Kitab Suci terakhir dimaksudkan sebagai petunjuk, bukan saja bagi anggota masyarakat tempat kitab ini diturunkan. Tetapi juga bagi anggota masyarakat manusia hingga akhir zaman. Kitab ini memuat tema-tema yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, seperti pola hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minaallah), hubungan antar sesama manusia (hablun minannas), dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablun minalalam). Adapun menjaga kesehatan adalah termasuk menjaga hubungan dengan dirinya sendiri (hablun minafsihi).

 

Sebagai Kitab Suci yang menghadapi masyarakat dengan kebudayaan dan peradaban yang terus berkembang dan maju, di dalamnya terdapat ayat-ayat kealaman (sciences) dan kemasyarakatan. Ayat-ayat ini dapat dijadikan pedoman, motivasi, dan etika rekayasa masyarakat (social engineering) dan rekayasa teknik (technical engineering).

 

Rekayasa masyarakat adalah penciptaan tatanan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi obyektif setiap komunitas masyarakat dengan tetap bersendi kepada prinsip-prinsip umum yang ditetapkan al-Qur’an. Substansi ajaran al-Qur’an tidak bermaksud masyarakat seragam di seluruh bumi dan sepanjang masa, tetapi memberikan prinsip-prinsip umum yang memungkinkan terwujudnya pola keseimbangan hidup di dalam masyarakat tertentu, dan pada gilirannya suasana ketenteraman di bawah ridha Tuhan, atau menurut istilah al-Qur’an terciptanya baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur.

 

Perempuan islam Berkemajuan

Lewat Kitab Suci Tuhan mengingatkan umat manusia tentang pentingnya peran para perempuan. Surah pertama al-Fatihah, subtansinya bahwa Tuhan itu Maha Esa (tauhid). Surah kedua al-Baqarah, agar manusia tidak menyekutukan Tuhan dengan sapi, peristiwa ini masih terjadi di zaman now, yang Maha Suci itu cuma Tuhan. Surah ketiga Ali ‘Imran, agar umat manusia mencontoh keluarga ‘Imran yang sukses melakukan pendidikan dan pengajaran rohani-tauhid kepada keluarganya. Surat keempat, an-Nisaa, Perempuan, Tuhan mengingatkan dan menyadarkan umat manusia pentingnya peran perempuan dalam pendidikan dan  pengajaran tauhid kepada anak-anaknya.

 

“Perempuan dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan, dan bahwasanya yang dikata kemajuan dan kesempurnaan itu ialah menurut batas-batasnya sendiri-sendiri”, demikanlah pidato Siti Munjiah yang mengangkat tema “Derajat Perempuan” dalam Kongres Perempuan Indonesia I 1928, dan di muat di  “Soeara Moehammadijah”.

 

Menurut Ida Fitri (2022), Peneliti ICRS Yogyakarta, dalam tulisannya yang berjudul : “Siti Munjiah : Srikandi Penceramah dari ‘Aisyiyah”,  pidato Siti Munjiah terbilang menarik untuk dibahas karena memancing perdebatan di antara peserta yang hadir. Perempuan berperawakan tinggi-besar dan berkerudung ini selain mumpuni dalam berceramah, juga berpengalaman dalam berorganisasi sehingga dipercaya sebagai Vice-voorzitter atau Wakil Pimpinan Kongres. Kelak ia memimpin ‘Aisyiyah selama lima tahun dari 1932 sampai 1937. Dalam pidatonya, ia menyampaikan tiga derajat atau kemuliaan perempuan yaitu tinggi budi, banyak ilmu, dan baik kelakuannya.

 

Ketiga hal tersebut perlu diperjuangkan mengingat ketertinggalan peerempuan dibandingkan laki-laki. Terutama ketinggalan dalam hal ilmu yang berdampak pada ketidakadilan yang dialami perempuan. Wujudnya berupa peminggiran, subordinasi, stereotip negatif, kekerasan, dan pemberian beban berlebih kepada perempuan. Sehingga ia menekankan pada upaya mendapatkan hak dan layanan pendidikan yang sama bagi laki-laki dan perempuan.

 

Dalam organisasi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah yang melingkupinya, upaya ini telah dirintis oleh KH Ahmad Dahlan dan isterinya Nyai Walidah. Kedua tokoh pembaharu tersebut beranggapan bahwa kemajuan kaum perempuan merupakan sebuah keniscayaan, ketika kaum laki-laki tak mungkin maju sendiri tanpa keberadaan kaum perempuan. Untuk itu keduanya mengorganisir para perempuan muda agar mendapat pelajaran keislaman dan berorganisasi sebagai persiapan kader pimpinan. Sejak 1913 suami-isteri ini mengirimkan para peerempuan bersekolah, baik sekolah umum (Sekolah Netral atau Neutrale Meisjes School) dan sekolah agama (Diniyah Ibtidaiyah).

 

Demikian juga dengan Siti Munjiah yang mendapatkan pendidikan di Madrasah Diniyah dan Qismul Arqa, yaitu pendidikan untuk menjadi pendakwah. Kelak Qismul Arqa mengalami perubahan menjadi Pondok Muhammadiyah, lalu Kweekschool Islam, Kweekschool Muhammadiyah, Mu’allimin Muhammadiyah, sampai akhirnya terpisah menjadi Mu’allimat untuk kaum puteri. Sehingga pidato yang disampaikannya menggambarkan tingkat pendidikannya yang tinggi dan wawasan pengetahuannya yang luas.

 

Dalam pidato tersebut ia menggunakan rujukan-rujukan peristiwa di belahan dunia lain, yaitu Jepang, Cina, Arab, India, Eropa dan Amerika Serikat, untuk memperkuat argumennya tentang permasalahan-permasalahan perempuan kontemporer pada saat itu.

 

Selain itu, dari uraian pidatonya yang meyakinkan tersebut tercermin pula kepribadiannya yang inklusif, yaitu menghormati penganut agama lain dan terbuka dengan pandangan dari tokoh-tokoh agama lain. Pertama terlhat dari kalimat pembukaannya ketika menukik pada pandangan dalam lingkungan Islam.

 

Ia mengatakan bahwa dirinya tak memaksa supaya pendengar masuk ke agama (pandangan) Islam. Kedua, ketika ia menyatakan beruntung ada tokoh-tokoh agama lain yang memberi nasihat baik, seperti St. Bernardus, St. Antonius, St. Bonaventura, St. Jerome,  St. Gregorius Agung, dan St. Ciprian.

 

Sifatnya yang inklusif juga tampak pada pernyataannya dalam pidato mengenai kerinduan merundingkan permasalahan perempuan bersama dengan kelompok-kelompok lain. Ia memandang pentingnya upaya mempererat barisan persaudaraan yang kokoh dalam mewujudkan cita-cita memajukan perempuan Indonesia.

 

Namun di sisi lain Munjiah menekankan pada kewaspadaan terhadap kemajuan ala Barat yang melewati batas. Pada intinya, ia mendorong agar perempuan Indonesia berkemajuan dan berpendidikan seperti perempuan-perempuan di Barat, tetapi jangan sampai kehilangan sifat keperempuannya dan ketimurannya dengan adat-istiadat yang khas. Di akhir pidatonya, ia menghimbau kepada para perempuan yang memperjuangkan kehidupan perempuan hendaknya mempelajari suatu masalah dengan saksama agar dapat menimbang yang baik di antara yang buruk.

 

Kongres tersebut telah membuat para aktivis keluar dari ranah domestik dan kepentingan organisasinya, untuk memperjuangkan hal yang lebih besar yaitu kehidupan perempuan Indonesia secara luas. Kelak kongres ini menjadi pijakan yang kuat bagi penggerak perempuan untuk melangkah lebih progresif melalui kongres-kongres berikutnya yang secara gradual menyentuh perkara politik.

 

Andaikata Ibu Siti Munjiah masih hidup di zaman now, tentu beliau sangat bangga, karena bapak bisa jadi presiden, ibu pun bisa, bapak bisa jadi ketua DPR  ibu pun bisa, bapak jadi ketua partai politik ibu pun bisa, dan seterusnya. Bapak bisa korupsi, ibu pun tak mau kalah juga bisa korupsi ! Perempuan Indonesia Berkemajuan ?!

 

Dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/ 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dalam pasal 4 disebutkan : “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden”.

 

Korupsi itu memiskinkan. Korupsi bisa menghalangi anak-anak mendapatkan pendidikan. Korupsi bisa mengurangi bantuan bagi mereka yang tertimpa bencana. Korupsi itu membuat orang banyak mati kelaparan, mati perlahan-lahan dengan rasa pedih.

 

Gerakan reformasi antikorupsi di Indonesia sedang dalam arus balik. Ketika demokrasi menjadi transaksional, jadilah demo-crazy (= edan).  Korupsi terjadi karena niat, kesempatan dan kekuasaan. Uang dipakai untuk cari kekuasaan. Setelah dapat kekuasaan dipakai untuk cari uang lebih banyak lagi untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi agar dapat uang lebih besar lagi. Lagi-lagi demikian seterusnya. “Sila” pertamanya adalah Keuangan yang maha kuasa, bukan Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, guna mewujudkan “sila kelima” Keadilan sosial bagi diri sendiri, keluarga dan para kroni !

 

Akhirnya,

Wal-‘Ashr, sesungguhnya manusia di dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh serta saling berwasiat tentang kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran” (QS al-“Ashr [103] : 1 -3).

 

Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD

Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul

Exit mobile version