Belajar pada Kata dan Peristiwa (1)
Oleh : Mohammad Fakhrudin
Menasihati dengan hati
mencegah kemunkaran
dengan keramahan
bukan dengan kemarahan
Dalam komunikasi dengan media bahasa, penyampaian maksud (pesan) dapat dilakukan secara langsung dan dapat pula secara tidak langsung. Di dalam kajian pragmatik, kedua tindak tutur itu dikenal dengan tindak tutur langsung (direct speech act) dan tindak tutur tidak langsung (indirect speech act).
Orang menyuruh tidak selalu dengan tuturan imperatif. Dia dapat menggunakan tuturan tanya atau berita. Orang menolak tidak selalu dengan tegas menyatakan penolakannya itu dengan kata-kata.
Tuturan Wow! Bersih sekali lantainya! Pasti sudah disapu! dapat saja digunakan oleh penutur untuk menyampaikan maksud menyuruh mitra tutur (selanjutnya disebut petutur) agar menyapu lantai jika keadaan lantai yang sebenarnya masih kotor. Jika tuturan itu digunakan oleh ibu kepada anaknya dan anaknya dapat menangkap maksud ibu, dia mungkin menjawab, Sebentar, Bu sehingga terjadi percakapan sebagai berikut:
(1)
- Ibu : “Wow! Bersih sekali lantainya! Pasti sudah disapu!”
- Anak : “Sebentar, Bu!”
Berikut ini disajikan contoh lain.
(2)
- Ibu : “Bisa ngantar Ibu ke pasar?”
- Zul : “Bagaimana kalau Tiar saja, Bu?”
Di dalam contoh percakapan (2), penyampaian maksud, baik di dalam tuturan Ibu maupun tuturan Zul, dilakukan secara tidak langsung. Dengan tuturan (01) itu sebenarnya Ibu menyuruh Zul agar mengantarnya ke pasar. Pada sisi lain, dengan tuturan (02) Zul sebenarnya menolak atau tidak bersedia mengantar Ibu ke pasar. Kenyataan seperti pada contoh percakapan (1) dan (2) sering terjadi.
Kadang-kadang penutur bermaksud menyuruh petutur, tetapi dia menggunakan tuturan deklaratif sebagaimana terdapat pada contoh (3) berikut ini.
(3)
01.Ibu : “Wah, tas saya tertinggal.”
02.Nur : “Kalau begitu, Ibu tunggu di sini. Saya akan mengambilnya.”
Pada percakapan (3) Nur mefafsirkan maksud Ibu tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga memerintah secara tidak langsung agar Nur mengambilkannya. Oleh karena itu, Nur bertutur (02).
Boleh jadi, Ibu tidak bermaksud demikian. Namun, Nur berakhlak mulia. Dia ingin berbuat kebaikan kepada Ibu. Oleh karena itu, dia bertutur (02).
Untuk kepentingan tertentu, misalnya kesopanan (atau kesantunan), sering penutur menyampaikan maksudnya justru dengan memilih cara tidak langsung. Pada masyarakat tertentu, berlaku pemahaman bahwa makin tidak langsung (penyampaian maksud), makin santun.
Berikut ini disajikan contoh percakapan yang dilakukan oleh sopir bus dan penumpang pelanggan. Mereka orang Jawa.
(4)
Sopir Bus: “Nuwun sewu. Jendelanipun!” (‘Maaf. Jendelanya!’)
Tuturan sopir bus itu ditujukan kepada penumpang laki-laki yang ritsleting celananya masih terbuka. Penumpang tersebut memahami maksud sopir bus karena ibu jari sopir tidak mengarah ke jendela bus, tetapi mengarah ke ritsleting celananya. Oleh karena itu, dia langsung menutup ritsleting celananya. Hanya penumpang tertentu dan dalam jumlah yang sangat sedikit yang memperhatikan tuturan, gerak tangan sopir bus, dan penumpang tersebut.
Apa yang terjadi jika sopir bus itu menggunakan tindak tutur langsung, Maaf! Itu ritsletingnya terbuka? Tentu tuturan itu membuat penumpang tersebut malu. Dalam hubungannya dengan kesantunan berbahasa, pada dasarnya kesantunan berbahasa dimaksudkan agar petutur terhindar dari rasa malu.
Pada masyarakat lain mungkin saja justru berlaku sebaliknya. Makin langsung penyampaian maksud, makin santun.
Bagaimana penyampaian perintah dan larangan di dalam al-Qur’an? Ada perintah yang disampaikan secara langsung misalnya perintah membaca, belajar, atau menuntut ilmu yang terdapat pada surat al-‘Alaq (96): 1, sedangkan perintah agar berilmu yang disampaikan secara tidak langsung misalnya terdapat pada surat al-Mujadilah (58): 11.
Ada juga larangan yang disampaikan secara langsung dan tidak langsung di dalam al-Qur’an. Larangan yang disampaikan secara langsung misalnya makan dan minum berlebihan terdapat, antara lain, pada surat al-A’raf (7): 31, sedangkan larangan yang disampaikan secara tidak langsung misalnya berprasangka buruk terhadap Allah Subhanahu wa Ta’aala terdapat pada surat al-Fath (48): 6.
Di dalam hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam demikian juga. Ada perintah dan larangan yang disampaikan dengan kata-kata yang secara langsung dapat dipahami maknanya dan ada pula perintah atau larangan yang disampaikan melalui peristiwa.
Perintah secara langsung misalnya “Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat” (HR al-Bukhari). Perintah secara tidak langsung misalnya perintah yang ditujukan kepada seseorang yang meninggalkan tempat duduk untuk sementara, jika kembali, agar dia kembali ke tempat duduk semula dan orang lain tidak boleh menempatinya, “Apabila salah seorang dari kalian berdiri dari tempat duduknya kemudian kembali lagi ke tempat itu, maka dia lebih berhak atas tempat itu.” (HR Muslim).
Di dalam kehidupan sehari-hari banyak kata dan peristiwa yang harus kita pahami hikmahnya, yakni makna yang terkandung di dalamnya. Agar tidak gagal paham, kita memerlukan bekal berupa hikmah sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’aala di dalam surat al-Baqarah (2): 269 berikut ini.
يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yanag dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.”
Di dalam Belajar pada Kata dan Peristiwa (1) ini disajikan kisah nyata yang berkenaan dengan belajar pada kata dan peristiwa. Semoga kisah nyata yang disajikan berikut ini dapat menjadi salah satu referensi yang dapat mencerahkan pikiran dan hati; juga menginspirasi.
Gegara Celetukan
Seperti biasanya, kuliah saya mulai dengan berdoa. Setelah itu, saya mengajak mahasiswa mensyukuri berbagai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’aala. Sampailah pada ajakan agar mahasiswa bersyukur berkenaan dengan terpilihnya salah seorang dosen IKIP Muhammadiyah Purworejo― sejak tahun 1999 berubah menjadi Universitas Muhammadiyah Purworejo―sebagai dosen teladan Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah.
“Mari secara khusus kita bersyukur atas terpilihnya dosen di kampus kita ini sebagai dosen teladan tingkat Kopertis Wilayah Jawa Tengah.”
“Nyate, Pak!” celetuk seorang mahasiswa dengan suara cukup keras.
“Mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’aala itu tidak harus dengan berpesta. Memperbaiki yang belum baik menjadi baik; meningkatkan yang sudah baik menjadi lebih baik itu pun mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’aala!” saya menimpalinya.
Sejak itu, dia tidak pernah mau berbicara dengan saya. Kalaupun mau, kiranya merasa terpaksa karena saya mengucapkan salam. Dia juga tidak mau lagi bertemu dengan saya.
Sementara itu, saya tetap berusaha sering menemuinya dan mengucapkan salam. Saya bertekad tidak akan marah apalagi mendiamkannya.
“Kalau saya mendiamkannya, apa beda saya dengan dia. Saya kan dosen. Dia mahasiswa.” saya menasihati diri sendiri.
Setelah hampir satu bulan hubungan kami kurang sehat, tiba-tiba dia menemui saya.
“Boleh minta waktu, Pak?” tanyanya agak ketus.
“Boleh! Silakan!” jawab saya dengan penuh semangat dan bahagia.
“Saya ingin bicara, tapi em … bagaimana kalau tidak di sini?”
Waktu itu kami berada di ruang dosen. Rupanya dia merasa tidak nyaman jika ada teman dosen yang ikut mendengar pembicaraan.
“Boleh. Baik! Mari kita cari ruang yang tidak dipakai untuk kuliah.”
Hampir satu jam dia curhat. Diceritakannya bahwa dia menyatakan takluk pada saya karena saya tidak pernah memarahinya dan tetap saja menyapanya dengan salam dan mengajak bicara walaupun diperlakukan tidak baik.
Saya berusaha menjadi mitra curhat yang baik. Saya dengarkan curhatnya dengan sesekali meresponnya, baik dengan ucapan maupun dengan gerak-gerik air muka. Dia menceritakan antara harapan dan kenyataan yang dihadapinya dengan penuh kejujuran dan semangat. Saya mulai menangkap sebagian masalahnya. Namun, waktu tidak cukup lagi untuk melanjutkan curhatnya karena hari sudah sore.
“Em … boleh nggak, Pak saya dan teman-teman main ke rumah Bapak?”
“Tentu! Silakan! Kapan?”
“Nanti akan bicara dulu dengan teman–teman.”
“Baiklah! Silakan!”
Di Balik Kata dan Air Mata
Dua hari kemudian dia dengan dua orang temannya jadi datang ke rumah saya. Kami berempat naik bus umum. Dia duduk di sebelah saya. Sepanjang jalan Purworejo-Magelang dia melanjutkan curhatnya. Saya pun kembali menjadi mitra curhat yang baik.
Sampai di rumah, istri saya sudah siap menyambutnya karena sudah saya kabari. Tiga orang mahasiswa diciumnya satu per satu setelah berjabat tangan.
Mereka bermalam. Selepas salat duhur berjamaah di musala rumah, ketika saya akan menyampaikan nasihat, dia mengusap kelopak matanya. Rupanya butir-butir air matanya mengalir pelan di pipinya. Beberapa kali dia menghela nafas.
Saya menyuruh anak-anak dan pembantu rumah tangga (waktu itu belum populer istilah asisten rumah tangga) untuk meninggalkan kami. Tinggal saya, istri saya, dia, dan dua orang temannya yang ada di musala. Semua terdiam. Hening.
“Suasana seperti ini sesungguhnya yang saya harapan” dia mulai bicara pelan memecah keheningan setelah beberapa kali menghela nafas. “Salat berjamaah dan ayah menjadi imam. Namun, apalagi salat berjamaah dengan ayah sebagai imam, makan bersama pun tidak pernah” dia melanjutkan dan sesekali mengusap kelopak matanya. Juga hidungnya dengan tangannya.
Kami semua khusyuk mendengarkannya. Makin banyak lagi informasi yang saya ketahui: tentang ayah dan ibunya dan hubungan antara dia dengan orang tuanya.
“Ayah saya sangat sibuk dengan tugasnya sebagai penatar nasional. Ibu saya sering menemaninya. Ya, sih, kebutuhan materi dapat saya peroleh dengan mudah. Tapi, lama-lama … saya merasa …” mulai tidak lancar dia berbicara.
Dia merasa kurang memperoleh perhatian dari orang tuanya. Ayah dan ibunya sangat sibuk. Mereka sering pergi ke luar kota.
Sementara itu, dia sendiri tidak tahu cara yang sangat baik untuk mendapatkan perhatiannya yang utuh. Masalah itu dibawanya ke kampus.
Dalam usahanya memperoleh perhatian dari dosen dan temannya di kampus, berbagai cara dilakukannya meskipun akibatnya kadang-kadang merugikan dirinya. Dia menjauhi dosen yang dirasa membuatnya tidak nyaman. Bahkan, dia memilih nongkrong di warung atau basecamp Unit Kegiatan Mahasiswa daripada mengikuti kuliahnya. Saya pun menjadi sasaran ketidaksukaannya karena dianggap mempermalukannya di kelas.
“Anda harus mulai. Apa yang seharusnya dikerjakan oleh anak, lakukan! Misalnya, menyapu lantai dan halaman rumah, mencuci pakaian sendiri dan pakaian orang tua, dan menyiapkan minum untuk mereka. Jika dapat memasak, masaklah kesukaan mereka. Jika dapat membuat cemilan kesukaan mereka, buatlah. Jika mereka, apalagi ibu, tampak lelah, tawarkan kesiapan untuk memijitnya. Jika ibu duduk sendirian di ruang tamu atau di teras, mintalah izin untuk menemani. Jangan lupa juga: berbicaralah dengan sopan! Pendek kata, lakukan yang sebanyak-banyaknya dan yang sebaik-baiknya untuk mereka.” Saya menasihatinya.
Tampak dia merasa menghadapi tantangan yang sangat berat. Namun, tampak juga dia siap memulainya.
“Baik, Pak. Insya-Allah saya akan melakukannya.”
.“Bagus! Mulailah dari yang ringan-ringan dulu. Jangan lupa, lakukan dengan niat ibadah, ya! Pasti Allah Subhanahu wa Ta’aala membuat Anda senang melakukannya.”
Komunikasi kami pada hari-hari berikutnya sangat intensif. Kejadian sekecil apa pun diceritakannya kepada saya. Diceritakannya bahwa komunikasi dengan urang tuanya mulai berjalan cukup baik. Orang tuanya mulai sadar bahwa yang dibutuhkan oleh anaknya bukan hanya uang.
Ada perubahan perilaku dan bicaranya yang cukup signifikan di kampus. Kuliah diikutinya cukup serius. Tidak ada lagi perasaan terpaksa. Tidak merasa terpaksa harus taat pada peraturan. Akhlaknya pun berubah. Dia berusaha hijrah secara total!
Tiba saatnya wisuda. Seperti kisah di sinetron. Peristiwanya terjadi sebelum dia dan kedua orang tuanya naik ke auditorium untuk mengikuti prosesi wisuda.
“Pak!” teriaknya.
Saya hafal betul suaranya. Saya menoleh. Dia menggandeng kedua orang tuanya.
“Bapak dan Ibu saya mau ketemu sama Bapak!”
Saya menemui mereka. Ini pertemuan pertama saya dengan orang tuanya. Perkenalan yang sangat hangat.
“Terima kasih, Pak Udin. Terima kasih, Pak.” Kedua orang tuanya secara bergantian mengucapkannya. Mereka tampak senang sekali.
“Sama-sama, Pak. Bu.”
“Anak saya cerita banyak tentang Bapak.”
Lalu, kami foto bersama.
Alhamdulillahi rabbil’aalamiin
Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Magelang Kota