Kurang Satu
Oleh: Joko Intarto
Alhamdulillah. Sudah terbayar lunas pembelian enam ekor kambing untuk qurban tahun ini. Melalui tiga kali pembayaran, kepada dua pihak berbeda.
Pembelian pertama saya lakukan awal Desember sebanyak dua ekor gibas. Penerimanya kelompok peternak kambing di Desa Sarireja, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang.
Pembelian kedua terjadi dua minggu kemudian sebanyak dua ekor. Penerimanya kelompok usaha ternak kambing Wedhus Lemu binaan Lazismu Kabupaten Grobogan. Hari ini saya beli lagi dua ekor kambing dari kelompok peternak yang sama.
Sudah enam ekor hewan qurban terbayar lunas. Kurang satu ekor lagi. Mudah-mudahan bulan Februari bisa terbeli.
Saya memang harus membeli hewan qurban secara bertahap dengan cara menabung. Yang penting enam bulan atau lima bulan sebelum Idul Adha, sudah lunas.
Dulu, saya membeli hewan qurban selalu mepet-mepet dengan hari pelaksanaan qurban. Kurang seminggu. Bahkan kurang sehari. Belinya pun di pasar hewan.
Kebiasaan itu saya ubah. Saya ingin uang pembelian itu bisa menimbulkan dampak ekonomi di tingkat peternak di desa.
Dengan harga yang sama dengan harga pasar saat qurban, saya membeli hewan langsung dari peternak. Di Grobogan harganya Rp 2,5 juta per ekor. Di Subang Rp 3,5 juta per ekor. Tiap daerah memang berbeda harga. Bergantung jenis hewan yang dipelihara masyarakat setempat.
Uang pembelian kambing dari saya itu, kemudian dibelanjakan bibit kambing/gibas. Harga bibit per ekor saat ini antara Rp 800 ribu – Rp 900 ribu per ekor. Selisih dananya digunakan untuk pakan, perawatan dan obat/vaksin.
Apakah peternak untung? Ya. Dengan struktur harga jual dan biaya yang sudah disimulasikan, peternak memperoleh keuntungan kurang lebih Rp 750 ribu – Rp 1 juta, setelah memelihara selama 5 – 6 bulan.
Tidak ada biaya pemasaran dalam hal ini. Penjualan dilakukan melalui Lazismu Grobogan sebagai pembina usaha kelompok dhuafa itu. Sebagai lembaga amil zakat, Lazismu Grobogan tidak meminta marketing fee.
Beda dengan model penjualan hewan qurban melalui broker alias blantik. Mereka biasa meminta potongan harga dari peternak dan menjual lagi dengan menaikkan harga ke konsumen. Untungnya berlipat. Bisa lebih besar daripada keuntungan peternak itu sendiri.
Saya memang baru bisa membeli enam atau tujuh ekor. Tidak seberapa kontribusinya. Tetapi kalau ada 100 orang melakukan hal yang sama melalui satu lembaga, dampak ekonominya sangat terasa.
Hitung saja, kalau satu ekor kambing memberi keuntungan bersih Rp 1 juta. Sedangkan satu pequrban membeli tujuh ekor. Maka 100 pequrban akan membeli 700 ekor.
Tujuh ratus ekor kambing qurban pasti bisa menggerakkan ekonomi warga di satu desa. Syaratnya: pequrban membayar seharga pasar saat qurban paling lambat enam atau tujuh bulan sebelum Idul adha.
Waktu pemeliharaan lima atau enam bulan inilah yang menggerakkan ekonomi desa melalui budidaya rumput, produksi pakan, produksi pupuk dan tenaga kerja.
Tanpa disadari, konsep qurban ini, sangat sesuai dengan program pemerintah daerah dalam pembangunan desa. Andaikata pemerintah daerah mau bersinergi dengan lembaga amil zakat untuk menggerakkan program qurban, dampak ekonominya pasti dahsyat. Nendang banget.
Sinergi dalam pemberdayaan qurban itu sama sekali berbeda dengan konsep pemanfaatan dana zakat untuk santunan kader partai.(jto)