Perlu Sensitivitas dan ‘Environment’ dalam Bermuhammadiyah

Perlu Sensitivitas dan 'Environment' dalam Bermuhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Isu krisis kader di beberapa organisasi massa hingga saat ini masih menjadi perdebatan yang menarik dan seringkali mencuat menjadi tema dan bahan diskusi, tak terkecuali di Muhammadiyah. Isu yang senter menerpa organisasi Islam tertua di Indonesia itu ditengarai sistem kaderisasi yang kurang berjalan dengan baik. Sehingga tidak heran jika para jajaran di tingkat pimpinan hingga anggota mulai merasa khawatir dan memberikan perhatiannya pada masalah ini. Tak terkecuali Immawan Wahyudi, seorang akademisi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang pernah menjadi aktivis dan sekaligus kader Muhammadiyah itu mencurahkan keresahan dan sekaligus optimismenya dalam sebuah buku berjudul Muhammadiyah Wawasan dan Komitmen. Secara umum buku ini merupakan kumpulan tulisan yang dihimpun sejak tahun 1987 sampai 2022 tentang pengalamannya berkecimpung dan berproses di Muhammadiyah.

Sehingga pada Kamis, 5 Januari 2023 Suara Muhammadiyah berkerjasama dengan Universitas Ahmad Dahlan menyelenggarakan launching dan sekaligus bedah buku yang bertempat di Amphitheater Fakultas Kedokteran UAD. Acara yang dimulai pada pukul 10.00 WIB itu dihadiri beberapa tamu undangan, di antaranya Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Sayuti, Direktur Utama Suara Muhammadiyah Deni Asy’ari, Rektor UAD Muchlas MT, dan Redaktur Eksekutif Suara Muhammadiyah Isngadi Marwah Atmadja.

Sayuti dalam paparannya mengatakan bahwa buku yang ditulis oleh mantan Wakil Bupati Gunung Kidul itu merupakan refleksi dari banyak hal melalui pengalaman berorganisai yang cukup panjang di Muhammadiyah. Mulai dari pergulatannya di organisasi Mahasiswa Muhammadiyah, berkecimpung di majelis dan lembaga Muhammadiyah, menjadi politisi, hingga kembali ke Muhammadiyah sebagai akademisi yang diakuinya belakangan sangat ia nikmati. Refleksi itu kemudian dituliskannya dengan bahasa yang menarik dan enak dibaca bagi semua kalangan.

Selain dari segi bahasa yang renyah dan dekat dengan aksen anak muda, buku ini juga kaya akan pesan perjuangan. Meminjam Buya Ahmad Syafii Maarif, merangkak dari bawah, memulai dari nol. Menurut Sayuti, hal ini ditunjukkan oleh penulis melalui kemampuannya dalam mengabstraksikan realitas yang kemudian diekspresika dengan berbagai narasi, malai dari kegelisahan, keperihatinan, kritik, hingga harapan dan optimismenya terhadap Muhammadiyah. Namun di atas semua itu ada yang menurut Sayuti sangat penting, yaitu sensitivitas seorang penulis dalam menyajikan realitas sehingga sebuah karya pantas untuk dibaca dan diambil maknanya.

“Menurut saya ada satu hal yang menjadi energi beliau untuk menjadikan hal kecil menjadi bermakana, yaitu sensitivitas. Tanpa sensitivitas dalam sebuah karya buku atau tulisan, si pembaca tidak akan mendapatkan apa-apa,” ujarnya.

Ia menembahkan bahwa sensitivitas sangat penting dan menjadi alat utama yang dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan perubahan, baik dalam skala kecil maupun besar. Sebut saja Kiai Dahlan, tanpa sensitivitas terhadap permasalah yang menjerat umat saat itu, tentu Kiai Dahlan tidak akan tergugah hatinya untuk mendirikan Muhammadiyah yang saat ini telah menjelma menjadi organisasi global dan disegani.

Dalam buku ini pula penulis juga menyampaikan kritik dan harapannya, salah satunya terkait dengan isu krisis kader dan ulama. Sayuti pun mengutip salah satu kritik tersebut dari buku yang diterbitkan Suara Muhammadiyah tersebut, “Munculnya isu kelangkaan ulama sering direspon semata-mata tidak adanya lembaga pendidikan Muhammadiyah yang secara spesifik dimaksudkan untuk mencetak ulama.” Meski konteksnya adalah masa lalu, pesan ini tetap menemukan relevansinya, yang mana Muhammadiyah perlu terus melakukan perbaikan dalam segala lini terhadap PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) yang diharapkan dapat melahirkan ulama dan kader yang berkemajuan.

Masih pada masalah kaderisasi yang menjadi salah satu kritik dalam buku Muhammadiyah Wawasan dan Komitmen, Sayuti mengarisbawahi bahwa sikap kritis itu sangat penting, tapi yang lebih pentingan adalah bagaiamana sikap kritis tersebut menghasilkan environment. Melahirkan sebuah lingkungan yang dapat membentuk sikap serta tindakan yang mengarah kepada perbaikan. Dengan kata lain mengartikulasikan bahwa kritik tidak berhenti pada sekedar kritik, tapi ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Karena bagaimanapun kritik yang baik adalah kritik yang ditopang dengan wawasan yang luas serta komitmen yang kuat dalam sebuah pengabdian.

Terkait wawasan, Sayuti mengaku setuju dengan definisi yang dijelaskan oleh Immawan dalam bukunya, wawasan bisa berfungsi sebagai kehidupan langsung yang dapat memperkaya imajinasi tentang sesuatu yang belum terjadi. Tentang segala impian dan cita-cita kemajuan Muhammadiyah di masa yang akan datang. Sehingga dalam memelihara serta memperkaya imajinasi ini, orang-orang Muhammadiyah dituntut untuk berpergian ke tempat-tempat yang baru untuk belajar dan menambah wawasan. Meminjam Imam Syafii, “Kalau tidak keluar dari sarangnya, singa tak akan mendapatkan mangsa. Kalau tidak melesat dari busurnya, anak panah tak akan mengenai sasaran.”

Dalam konteks kritiknya kepada para aktivis Muhammadiyah, seorang aktivis harus dolan, pergi ke tempat-tempat yang jauh. Tanpa itu, wawasan para kader Persyarikatan tak cukup untuk melihat bagaimana perubahan kehidupan terus berlangsung. Kembali meminjam Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1998-2005) Buya Syafii, “Jangan mengurung diri.”

“Pesan saya kepada teman-teman dan para aktivis Muhammadiyah, kalian perlu banyak dolan, bergaul dengan berbagai golongan. Karena menurut saya, wawasan yang didapat dari kemampuan membaca banyak hal tidak bisa tumbuh kalau kita tidak punya open maided,” tegas Sayuti.

Dalam kapasitasnya sebagai seorang kader Muhammadiyah, ia mendorong para kader di semua lapisan untuk memiliki karakter seperti kader celeleng, yaitu kader yang tak lapuk terkena hujan dan tidak lekang terkena panas. Komitmen mereka pada waktu itu adalah bagaimana keputusan muktamar dan bagaimana pengaplikasiannya. Kader celeleng juga bermakna kader dengan komitmen tinggi dalam bermuhammadiyah.

Isngadi sebagai pembedah mengaku tertarik dengan tulisan dengan judul kritik dan saran dalam buku yang ditulis dosen Fakultas Hukum UAD tersebut. Garis merahnya adalah tidak perlu menjadi sempurna untuk berbuat. Asal jalan aja sebenarnya kita bisa sukses. Tentu hal seperti ini sangat nyentik bila disandingkan dengan kehidupan saat ini yang menuntut segala hal berjalan sempurna dengan planing-planing yang lengkap.

Berkaca dari orang-orang Muhammadiyah dahulu, secara umum warga Muhammadiyah periode awal bukanlah orang dengan pemahaman agama yang tinggi. Pemahaman agama mereka sangat sederhana. Dan karena kesederhaan dalam pemahaman agama itulah etos di Muhammadiyah adalah etos berbuat, bukan etos berdebat. Secara tak langsung ia ingin menyampaikan bahwa berkiprah di Muhammadiyah sebenarnya tidak butuh teori yang rumit, yang pada akhirnya teori atau pemahaman agama yang terlalu tinggi tersebuat hanya akan berhenti di meja perdebatan. (diko)

 

Exit mobile version