YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Milad Persada (Pesantren KH Ahmad Dahlan) memasuki milad ke-13 tahun pada 9 Januari 2023. Untuk memeriahkan milad yang mengusung tema “Teguhkan Langkah, Eratkan Ukhuwah, Wujudkan Kader Berakhlaqul Karimah”, digelar beragam rangkaian kegiatan. Salah satunya Seminar Nasional Karya Tulis Fiksi yang dilaksanakan pada Kamis, 12 Januari 2023 di ruang Amphitarium, Kampus IV UAD. Seminar tersebut mengangkat tema “Menarasikan Gagasan, Mewujudkan Karya Fiksi Berkualitas”.
Hadir langsung dalam kegiatan tersebut antara lain Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, Pengurus LPSI (Lembaga Pengembangan Studi Islam) UAD, Mudir bersama jajaran dosen serta seluruh santri Mahasiswa Persada UAD.
Seminar dirancang untuk menggugah jiwa kepenulisan, terutama bagi para santri Persada agar mereka mampu menghasilkan karya-karya berkualitas, yang bisa memberi pencerahan pada masyarakat luas. Menurut Direktur Persada UAD, Thonthowi, SAg., MHum seminar digelar karena gagasan sering berhenti hanya sekedar mimpi di kepala, hilang sia-sia dengan berjalannya waktu.
“Agar terwujud maka gagasan wajib dinarasikan, melalui karya yang berkualitas,” ungkapnya mengingatkan.
“Sengaja menghadirkan Tere Liye agar bisa menginspirasi kaum muda terutama santri Persada UAD, untuk terus berkarya sehingga mampu menghasilkan karya-karya yang berbobot dan inspiratif,” Imbuhnya.
Dr Muhammad Samsudin SAg., MPd. Dari Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah dalam sambutannya menyampaikan tahniah dengan milad ke-13 Persada UAD. Juga apresiasi yang tinggi atas digelarnya seminar kepenulisan, tidak banyak kampus yg menyelenggarakan. Dunia kepenulisan menurutnya, adalah bagian tak terpisahkan dalam dunia akademik yang melahirkan banyak keuntungan.
Selain memperkaya pengalaman dan kepuasan batin, Samsudin dengan sentilan jenaka mengingatkan, “Enak jadi penulis, sedih gembira atau merana semua menjadi uang, kalau hanya lamunan bisa tergoda setan,” katanya dan langsung disambut tawa mengiyakan dari yang hadir.
Dalam paparannya, Tere Liye mengawali obrolan dengan beberapa renungan selama perjalanan kepenulisannya. Semua tidak melulu soal menulis tetapi juga sering terkait dengan persoalan menuturkan pengalamannya berkarir dalam kepenulisan. Bagaimana mungkin pengalaman selama 30 tahun mengarungi hidup dalam bahtera kepenulisan, bisa diungkap hanya dalam waktu 90an menit? Awalnya dengan nada retoris.
“Seperti memampatkan kenangan yang panjang dalam satu periode yang terbatas,” ujarnya.
Beberapa pengalaman yang dituturkan Tere Liye, tidak semuanya mulus, seperti ditolak berkali-kali oleh media dan penerbit, yang sekarang balik memburunya. Kegetirannya menyaksikan budaya bajak-membajak dalam dunia perbukuan. Tidak sekedar masalah uang, lebih-lebih terkait dengan karakter bangsa yang memilukan. Juga langkanya profesi penulis di Indonesia, karena mayoritas masyarakat lebih memilih profesi lain yang dianggap lebih prestise dan menjanjikan seperti guru, dokter, politisi dan lain-lain.
Tambah Tere Liye, menjadi penulis berarti membuka banyak peluang yang menjanjikan. Menulis mudah dilakukan asal mau memulai dari sekarang dan banyak belajar serta latihan. Bisa menjadi media yang efektif untuk menyebarkan gagasan sekaligus menjadi alat melakukan perubahan. Karena tulisan bisa mengabadikan amal shalih, melampaui keterbatasan usia manusia. Sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh para pendahulu zaman, dari ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu para ulama’ adalah para penulis produktif yang banyak menghasilkan karya-karya yang masih dapat dipelajari sampai sekarang.
“Jangan bercita-cita menjadi penulis karena uang dan popularitas, karena baunya sekalipun tidak akan didapatkan,” pesannya.
Di akhir ulasannya Tere Liye berbagi spiritnya dalam dunia kepenulisan. Pertama, setiap topik bisa menjadi bahan tulisan, tetapi penulis yang baik, selalu bisa menemukan sudut pandang yg spesial. Kedua, Penulis yg baik membutuhkan amunisi, tidak punya amunisi berarti tidak bisa menulis. Caranya dengan banyak membaca buku, bertemu orang lain dan melakukan perjalanan.
Ketiga, tidak ada tulisan yg baik atau buruk, yang ada relevan atau tidak. Keempat, gaya bahasa adalah kebiasaan, kalimat pertama mudah, menyelesaikan lebih gampang lagi. Dan kelima simpel, yaitu latihan latihan latihan tiada berhenti apalagi putus asa. (Intan/Cris)