Oleh : Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)
Catatan Untuk Muswil Ke-V PW Muhammadiyah Maluku Utara, Ternate, 10-13 Maret 2023
Muhammadiyah dilahirkan KH. Ahmad Dahlan tahun 1912. Kini, telah tumbuh menjadi organisasi terbesar di Indonesia. Bergerak pada segmen Islam modern (Kato, 2002:141). Segmen Islam modern merupakan pandangan dunia Muhammadiyah, yang menurut Azyumardi Azra (dalam Azhar dan Ilyas, 2000:115) merupakan perpaduan antara “konsepsi Kalam” (teologi) Muhammadiyah dengan perspektif kemodernan (modernitas atau modernity), yang bagi Deliar Noer, perspektif modernitas inilah kelihatan lebih menonjol dalam Muhammadiyah, sehingga sering disebut sebagai sebuah organisasi “modernis”.
Sekalipun Muhammadiyah didirikan di Jawa, namun jangkauan pengaruhnya secara geografis dan etnis, juga sangat luas (lihat, Ulumul Qur’an, 1995:2). Peran besar Muhammadiyah dalam lapangan sosial dan pendidikan tidak dapat dibantah, dengan pendirian berbagai lembaga pendidikan, mulai TK hingga perguruan tinggi, maupun lembaga kesejahteraan sosial, berupa rumah sakit, klinik, poliklinik, apotik, maupun pusat kesehatan lainnya setiap saat terus mekar dan berkembang.
Bahkan, tidak hanya itu, Kato (2002 : 146) menambahkan, Muhammadiyah juga melakukan reformasi ritual, serta pendekatan progresif terhadap teologi yang menjadi perhatian Muhammadiyah. Sehingga itulah, pada Kongres Nasional Ke-55 pada tahun 1955, Muhammadiyah secara eksplisit menyatakan komitmennya terhadap ijtihad (dan tajdid-nya) yang direalisasikan melalui bidang sosio-kultural.
Sekian lama perjalanan organisasi Muhammadiyah sangat terasa kental mengembangkan komitmennya pada ranah amal usaha : lembaga pendidikan, pusat pelayanan kesehatan umum, dan ekonomi, dengan tetap berpijak pada prinsip amar ma’ruf nahi munkar dan dakwah sebagai ujung tombak pengembangannya. Bahkan, isu-isu demokratisasi dan program pemberdayaan ummat tetap menjadi perhatian utamanya di tengah masyarakat yang kental warna urbannya.
Memang, Muhammadiyah telah tumbuh sejak lama dan dikembangkan oleh para pedagang perkotaan. James L. Peacock (1992:43) menulis, pada tahun 1923, penghasilan Muhamamdiyah sebesar 32% berasal dari donasi para pedagang yang bertempat tinggal di kota-kota. Karena itu, Peacock menegaskan, Muhammadiyah merupakan gejala “perkotaan” yang jelas.
Kini, untuk mengembangkan komitmen tajdid-nya, Muhammadiyah ikut urun rembug memikirkan kondisi bangsa ini dengan mengetengahkan peluang sekaligus tantangan dakwah di Indonesia sebagai negara kepulauan. Langkah ini harus diambil, sebagai upaya menjawab tujuan global Muhammadiyah, yakni menciptakan masyarakat yang mardlatillah, yang implementasinya adalah memasyarakatkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Konstalasi tujuan global Muhammadiyah dan prinsip dakwahnya memaksa organisasi ini harus memperlihatkan sikap dan kebijaksanaan yang bisa mengefektifkan langkah dakwahnya.
Tantangan Dakwah
Diakui, memang Muhammadiyah lebih concern mengurusi dakwah pada wilayah kontinental (model daratan). Sementara model “dakwah kepulauan” belum sepenuhnya menjadi perhatian serius, terutama pengurus Muhammadiyah di daerah-daerah kepulauan. Pada wilayah kepulauan, Muhammadiyah kering dari gagasan pembaruan pemahaman keagamaan, terutama dalam hubungannya dengan realitas masyarakat Muslim yang hidup dan bergelut di tengah-tengah persoalan kepulauan. Apakah ini karena pilihan awal, Muhammadiyah lebih berkiblat pada wilayah urbannya?
Perkembangan “model” dakwah Muhammadiyah terus mengalami perkembangan, walau memang tidak dapat dikatakan stagnan. Kita pernah mengenal dakwah bilhaal, dakwah bil-lisaan, dan dakwah bil-hikmah. Kemudian pada Muktamar Muhammadiyah Ke-38 di Makassar pada tanggal 21-26 September 1971, lahirlah Konsep Dakwah Jamaah. Lalu pada awal abad 21, muncul rumusan konsep Dakwah Kultural melalui Sidang Tanwir di Denpasar pada Januari 2002, kemudian dimatangkan dalam Sidang Tanwir di Makassar bulan Juni 2003. Dakwah Kultural Muhammadiyah bermaksud menyebarluaskan universalitas Islam untuk kesejahteraan seluruh umat manusia tanpa memandang perbedaan agama (Muslim maupun Non-Muslim), ras, warna kulit, bahasa, dan jenis kelamin melalui cara-cara yang bijak sesuai dengan kapasitas intelektual dan psikologi perkembangan manusia dan tanpa paksaan. Dakwah kultural sesungguhnya merupakan kelanjutan dari program Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah. (Jurdi, et.al, 2010:256, 323-324).
Untuk kasus Maluku Utara, banyak diperoleh informasi serta cerita dari pengalaman para tokoh lokal Muhammadiyah dalam mengembangkan peran Muhammadiyah dari satu pulau ke pulau lain dengan semangat dakwah, walau pun memang diakui, model dakwah seperti ini terkadang mengikis nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Bermodalkan kemampuan sebagai da’i para pengurus itu tanpa henti mendakwahkan ijtihad dan tajdid pemahaman keagamaan yang lebih rasional, memerangi takhyul, bid’ah, khurafat sebagai upaya purifikasi pemahaman keagamaan serta menyiarkan misi organisasi Muhammadiyah beserta amal usahanya. Bukti ketekunan para tokoh-tokoh lokal Muhammadiyah adalah berdirinya lembaga-lembaga pendidikan di daerah-daerah kepulauan.
Namun, disinilah titik “miris” itu dimulai. Muhammadiyah hanya terpaku dan terjebak ke dalam rutinisme, dengan model dakwah yang cenderung rigid; atau meminjam istilah Azyumardi Azra; “ibarat gajah kegemukan,” bahkan “organisasi tajdid yang justru perlu mengalami tajdid”. (lihat UQ 1995:3). Di berbagai wilayah kepulauan, khususnya di Maluku Utara, Muhammadiyah hadir sebagai sebuah “organisasi”, tetapi tidak sebagai “institusi” (lembaga) yang gaungnya sama sekali belum sepenuhnya memberikan daya pikat bagi masyarakat Muslim kepulauan. Secara sosiologi, institusi menurut Horton dan Hunt (1999 : 244) merupakan suatu sistem hubungan sosial yang terorganisasi, yang memperlihatkan nilai-nilai dan prosedur-prosedur bersama, yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu dari masyarakat.
Gema al-Ma’un di wilayah kepulauan kurang terasa maknanya. Sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah di wilayah kepulauan hanya memiliki pengurus dan papan nama, yang hanya aktif saat musyawarah dan rapat-rapat, selebihnya tenggelam dalam rutinitas. Untuk itu, pengembangan manajemen organisasi dengan penguatan struktur kelembagaan amat diperlukan.
Data yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, menyatakan, Indonesia memiliki jumlah pulau sebanyak 17.504 buah. Di mana yang telah didepositkan di PBB sejak tahun 2012 berjumlah 13.466 pulau. Dari jumlah tersebut, terdapat 1.763 (12.36%) pulau yang telah berpenduduk, dan 11.703 (87,64%) pulau yang tidak berpenduduk. Apa yang dapat dicermati dengan data di atas? Kiranya, orientasi dakwah Muhammadiyah Maluku Utara perlu menyentuh wilayah kepulauan, yang notabene selama ini lebih dekat dengan tradisi urban. Artinya, diperlukan perumusan kerangka “Dakwah Kepulauan Muhammadiyah” yang lebih jelas sebagai bagian mendorong tajdid menuju Maluku Utara berkemajuan. Dikhawatirkan, prinsip-prinsip amar ma’ruf nahi munkar pada masyarakat kepulauan akan tidak dapat terjawab. Inilah yang dimaksudkan bahwa PW Muhammadiyah Maluku Utara di wilayah kepulauan tidak berperan sebagai “institusi” yang mampu hadir dengan ideologinya. Nilai Muhammadiyah belum terinternalisasi secara kuat pada masyarakat yang hidup di kawasan kepulauan.
Muhammadiyah “Kepulauan”
Pada masyarakat kepulauan, kekayaan khazanah budaya dan tradisi lokal, jarang disentuh oleh Muhammadiyah. Kalau pun pernah hadir dakwah kultural Muhammadiyah, karakter budaya lokal kepulauan sama sekali masih jauh tersentuh secara maksimal. Khazanah budaya lokal perlu menjadi perhatian Muhammadiyah, untuk diidentifikasi, apakah memerlukan modifikasi atau rasionalisasi tanpa mengikis substansi khazanah budaya lokal tersebut, ataukah dapat menjadi media dakwah sebagaimana yang dilakukan para wali di masa lalu.
Menangkap semangat dakwah kepulauan tidak sekadar hanya mengakomodasi kecenderungan isu sebagaimana arah Pemerintah saat ini yang berkeinginan besar menggerakkan kekuatan maritim/kepulauan, tetapi lebih dari itu, Muhammadiyah memerlukan penajaman masalah secara lebih mendasar, tentang keterlibatan pada isu-isu yang dihadapi masyarakat pulau yang memang selama ini belum menjadi perhatian Muhammadiyah. Mungkin, disinilah, diperlukan teologi transformasi, atau model dakwah lebih strategi dalam menguatkan peran-peran “Muhammadiyah Kepulauan” untuk mengantisipasi pemahaman keagamaan masyarakat Muslim di wilayah-wilayah tersebut yang akan menghadapi tantangan perubahan dan pergeseran kepentingan ekonomi global di masa mendatang, dengan mengutamakan dakwah yang lebih menjawab kebutuhan dasar masyarakat kepulauan. Tentunya tanpa menanggalkan ciri yang menonjol dari Persyarikatan Muhammadiyah, yakni program purifikasi pemahaman keagamaan itu sendiri.
Problem yang dihadapi masyarakat kepulauan diantaranya kemiskinan, terbatasnya infrastruktur dan transportasi, daya dukung sumberdaya manusia yang amat minim, air bersih, rentan terhadap bencana pesisir dan pencemaran laut. Dan, PW Muhammadiyah Maluku Utara dalam perjalanannya selama ini belum memerhatikan realitas wilayah kepulauan sebagai garapan dakwahnya. Padahal, masih banyak masyarakat yang terpuruk kehidupannya akibat keterbatasan infrastruktur, sarana, prasarana, serta minimnya pemahaman keagamaan.
Wilayah kepulauan merupakan tantangan dakwah bagi Muhammadiyah saat ini dan ke depan. Sebagaimana diungkapkan, Anshary (1960), dakwah harus sampai ke ufuk. Kegiatan dakwah tidak memilih angin. Dengan demikian, dalam rangka membangun bangsa, membangun dunia yang membahagiakan dan menyejahterakan segenap umat manusia, peran dakwah menjadi penting. Apabila tantangan pembangunan besar dan menjadi lebih besar lagi, peran dakwah pun menjadi semakin besar.
Kiranya, pelaksanaan Muswil Ke-V PW Muhammadiyah Maluku Utara, yang akan dihelat pada bulan Maret 2023 nanti menjadi demikian penting untuk menengok kembali persoalan masyarakat yang hidup di wilayah kepulauan, sebagai bagian untuk menegakkan kedaulatan dan keadilan sosial. Go ahead Muhammadiyah.