YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media / Suara Muhammadiyah Deni Asy’ari, MA Dt Marajo menghadiri kegiatan Stadium General Pelantikan Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi (FSBK) Periode 2023/2024 pada Selasa (24/1). Kegiatan tersebut digelar bertempat di Auditorium A Kampus 2 Lantai 4 UAD Yogyakarta dengan mengambil tema “Aktualisme Gerakan Kader Profetik: Aksi Kolektif Berkemajuan”.
Dalam pemaparannya, Deni memfokuskan pada diskusi mengenai “Intelektual Profetik Sebagai Sebuah Paradigma Pemihakan”. Menurutnya paradigma berpikir manusia amatlah penting di aplikasikan di era kontemporer. Menurutnya, paradigma diletakkan sebagai fondasi pijakan, landasan, dan cara pandang seseorang di dalam melihat realitas yang ada.
“Paradigma menjadi sangat penting untuk melihat dan mengukur standar nilai terhadap sebuah kasus atau realitas sosial. Karena satu realitas yang sama bisa saja kita memiliki penilaian yang berbeda,” ujarnya.
Deni mencontohkan satu studi kasus hal ihwal anak-anak jalanan atau anak-anak gelandangan. Objek dari studi kasus tersebut dalam corak perspektif manusia satu dengan lainnya memiliki distingsi bagaimama cara menangkap sekaligus melakukan penilaian atas studi kasus tersebut.
Kiranya ada yang menilai anak jalanan sejak kecil sudah ditanamkan bibit-bibit etos kerja keras, kedisiplinan, dan semangat menjalani hidup. Satu sisi, dalam paradigma lain muncul asumsi dan penilaian bahwa anak jalanan sebagai manifestasi korban struktural dari sebuah keganasan kekuasaan. Pada saat bersamaan, termasuk juga bagian politik kekuasaan.
“Dengan satu paradigma, kita bisa melihat bahwa inilah salah satu pendidikan etos kerja dari sebuah kasus. Tetapi dalam paradigma lain bisa saja ini termasuk salah satu korban dari struktur kekuasaan politik yang ada. Sehingga secara ekonomi tidak memiliki sumber ekonomi yang mapan,” tuturnya.
Deni mengingatkan, seluruh generasi mahasiswa sangat relevan untuk menempatkan basis paradigma ke dalam kunci awal melihat aneka persoalan yang membelenggu kehidupan. Karena satu persoalan yang terjadi boleh jadi menimbulkan paradigma bersifat positif. Atau boleh jadi paradigma itu dapat bersifat negatif. Baik ditinjau dari sudut sosial, ekonomi, maupun kemasyarakatan.
“Maka sering kali saya memetakan untuk melihat di mana letak cara berpikir kita (paradigma),” katanya.
Maka, ada sebuah derivatif yang kemudian membuka ruang sensitivitas membuka kesadaran kolektif dalam menilai studi kasus lewat sebuah paradigma berpikir intelektual profetik.
Pertama, kesadaran naif (naive consciousness). Adalah sebuah persoalan yang terjadi dengan derajat kesalahannya bisa datang pada diri sendiri. Kedua kesadaran magis (magic consciousness). Yakni kesadaran diluar rasionalitas yang menjangkarkan sebuah persoalan yang terjadi kesalahannya dihadirkan lewat tolok ukur bersifat supranatural. Ketiga kesadaran kritik (critical consciousness). Maksudnya ketika terjadi hiruk-pikuk persoalan, maka dihadirkan langkah arifnya berusaha mencari relasi dengan struktu-struktur sosial yang ada.
“Sebagai mahasiswa, dari ketiga kesadaran tadi pilihannya berada pada level 3, yakni kesadaran kritik. Yakni mahasiswa harus melihat segala persoalan dengan paradigma dan pandangan secara kritis. Di sinilah menurut saya mahasiswa pakemnya berada di level tersebut,” ucapnya.
Intelektual Profetik
Kesemuanya hal itu, maka muncullah konsep intelektual profetik. Yakni sebagai ramuan dari teologi-teologi sosial-profetik sebagai buah pemikiran dari almarhum Prof Dr Kuntowijoyo, MA seorang sastrawan, budayawan, dan sejarawan. Menurut Deni, konsepsi intelektual profetik tidak ada teoritisasinya, tetapi lebih fokus pada dimensi ilmu sosial profetik.
Yakni sebuah antitesa atas krisis keilmuan di barat (Eropa). Di mana terjadi kematian ilmu pengetahuan, tetapi makin berkembang luas krisis kemanusiaan di dalam ilmu sosial profetik tersebut.
“Ilmu pengetahuan berkembang, tetapi kezaliman, penindasan, dan delmasasi terjadi di mana-mana. Maka almarhum Kuntowijoyo melihat bahwa ilmu tercerabut dari nilai (value, qimah) dan tidak punya efek terhadap lingkungan masyarakat. Seharusnya ilmu itu punya efek (implikasi) terhadap transformasi sosial. Inilah yang kemudian diolah oleh almarhum Kuntowijoyo menjadi sebuah konsepsi intelektual,” tukasnya.
Intelektual sebagai orang yang memiliki kemampuan untuk mencari ilmu pengetahuan dan pada saat bersamaan menggentus ilmu pengetahuan itu guna menjawab tumpukan beban persoalan-persoalan sosial yang terjadi di dalam kehidupan. Sedangkan profetik lebih ditengahkan berkelindan dengan semangat atau etos gerakan para Nabi (kenabian) dalam melakukan transformasi sosial lewat elaborasi antara nalar berpikir kritis-rasional dengan unsur Ilahiyah mewujud pada pesan wahyu yang dikontekstualisasikan atas pembacaan realitas yang terjadi.
“Maka almarhum Kuntowijoyo menjadikan semangat intelektual profetik bertujuan membawa pada perubahan sosial,” jelasnya.
Intelektual profetik harus berlandaskan pada realitas sosial, akal manusia, dan wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadis) yang substansinya mengobjektivikasi dari landasan surat Al-Alaq dan Ali-‘Imran ayat 190. Dan hal terpenting dari intelektual profetik ini mesti menegakkan kebajikan (humanisasi), mencegah kemungkaran (liberalisasi), dan harus memancarkan jiwanya beriman kepada Allah (transendensi). (Cris)