Anjuran Memperbanyak Amalan di Bulan Rajab
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Bulan Rajab adalah bulan yang agung dan mulia. Karena ia termasuk dalam empat bulan Haram yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 36. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan yang empat itu…” (At-Taubah: 36).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan empat bulan Haram dalam ayat di atas adalah tiga bulan berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan satu bulan terpisah yaitu Rajab. Dari Abu Bakrah bin Nufai’ bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji Wada’, “Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan. Darinya terdapat empat bulan haram yaitu tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan (satu terpisah) Rajab Mudhar yang berada di antara Jumada (Akhirah) dan Sya’ban.” (Muttafaq ‘alaih).
Para ulama sepakat mengatakan bahwa pahala amal shalih pada bulan-bulan Haram lebih besar daripada bulan-bulan lainnya sebagaimana dosa padanya lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Karena, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengagungkan bulan-bulan Haram. Inilah keutamaan bulan-bulan Haram di antaranya bulan Rajab.
Oleh karena itu, para ulama menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak amal shalih pada bulan Rajab dan bulan-bulan Haram lainnya. Karena bulan Rajab termasuk empat bulan Haram. Amal shalih yang dimaksud adalah amalan secara umum yang dalilnya shahih yang dianjurkan pada semua bulan Hijriyyah termasuk Rajab.
Beramal shalih dianjurkan pada setiap bulan, terlebih lagi pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan Haram yaitu Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Karena, bulan Ramadhan dan empat bulan Haram ini merupakan bulan yang diagungkan dan dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Maka, dosa maksiat pada bulan-bulan ini lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Begitu pula pahala amal shalih pada bulan-bulan ini lebih besar dari bulan-bulan lainnya.
Adapun dalil mengenai anjuran memperbanyak amal shalih pada bulan Rajab adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36).
Imam Ibnu Jarir At-Thabari (wafat 310 H) dan Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir (wafat 774 H) rahimahumallah telah menukilkan tafsir Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam wafat tahun 68 H) radhiyallahu anhuma dan tafsir Imam Qatadah (seorang ulama tab’in wafat tahun 118 H) rahimahullah mengenai ayat 36 dari surat At-Taubah tersebut di dalam kitab-kitab tafsir mereka.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36), maksudnya dalam setiap dua belas bulan. Lalu Allah ta’ala mengkhususkan dua belas bulan itu empat bulan, maka Allah ta’ala menjadikan empat bulan tersebut sebagai bulan Haram, membesarkan pengharamannya, menjadikan dosa pada empat bulan Haram ini lebih besar dan pahala amal shalih padanya lebih besar.” (Tafsir At-Thabari: 10/133, Tafsir Ibnu Katsir: 4/86).
Dari Qatadah rahimahullah, ia berkata, “Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan Haram”, maka sesungguhnya kezhaliman yang dilakukan pada bulan-bulan Haram itu lebih besar dosanya daripada kezhaliman pada bulan selainnya, meskipun (dosa) kezhaliman pada setiap waktu itu besar, akan tetapi Allah membesarkan urusannya apa yang Dia kehendaki.” (Tafsir Ath-Thabari: 10/133, Tafsir Ibnu Katsir: 4/86)
Dalam kitab tafsirnya “Ma’aalimut Tanziil”, Imam Al-Baghawi (wafat 516 H) rahimahullah menukilkan riwayat lain perkataan Imam Qatadah rahimahullah, “Amal shalih lebih besar pahalanya dalam bulan-bulan Haram. Dan kezhaliman dalam bulan-bulan tersebut lebih besar dari bulan-bulan selainnya, meskipun kezhaliman dalam setiap waktu itu dosa besar.” (Ma’aalimut Tanziil: 2/294).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan-bulan itu…”, maksudnya pada bulan-bulan Haram karena lebih kuat dan lebih besar dalam dosa dari bulan-bulan selainnya sebagaimana maksiat-maksiat di tanah Haram dilipatgandakan dosanya sesuai firman Allah ta’ala: “Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” (Al-Haj: 25). Demikian pula bulan Haram, diperberat dosa-dosa padanya. Oleh karena itu, hukuman diyat diperberat dalam bulan Haram dalam mazhab Asy-Syafi’i dan kebanyakan para ulama. Demikian pula dalam hak orang yang dibunuh di tanah Haram atau dalam bulan Haram.” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/86).
Di dalam kitab tafsirnya “At-Tafsiir Al-Basiith”, Imam Al-Wahidi (wafat 468 H) rahimahullah menukilkan riwayat lain tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala: “maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…”, “Dalam riwayat Atha’, Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, “Jagalah dirimu pada bulan-bulan haram ini. Jauhilah dosa-dosa, karena sesungguhnya kebaikan padanya itu berlipat ganda dan keburukan padanya berlipat ganda.” (At-Tafsiir Al-Basiith: 10/380)
Imam Al-Qurthubi (wafat 671 H) rahimahullah, ia berkata, “Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…”, menurut Ibnu Abbas, dhamir (kata ganti) “hinna” (bulan-bulan itu) kembali kepada semua bulan (dua belas bulan). Dan menurut sebahagian ulama lain, kembali kepada bulan-bulan Haram saja. Karena lebih dekat kepada bulan-bulan Haram. Dan bulan-bulan haram memiliki keistimewaan dalam pengagungan dosa kezhaliman berdasarkan firman Allah ta’ala: “Maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat; dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji”. (Al-Baqarah: 197). Bukan berarti kezhaliman (kemaksiatan) pada selain hari-hari ini boleh sebagaimana kami akan menjelaskannya.” (Tafsir Al-Qurthubi: 8/123)
Di antara amal shalih yang dianjurkan pada bulan Rajab yaitu melakukan ibadah yang disyariatkan secara umum pada semua bulan seperti puasa-puasa sunnat yaitu puasa Senin dan Kamis, puasa ayyamil bid’h (tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan Hijriah termasuk Rajab) dan puasa Nabi Daud (puasa sehari dan berbuka sehari). Begitu pula shalat-shalat sunnat seperti Rawatib, Ghair Rawatib, Dhuha, Tahiyyatul Masjid, Setelah Wudhu, Shalat Malam sebelum tidur, Tahajud dan witir. Begitu pula memperbanyak doa dan zikir. Selain itu, memperbanyak membaca Al-Qur’an dan berinteraksi dengannya seperti memahaminya, mentadabburinya, menghafalnya, mendengarnya, mempelajarinya, mengajarkannya dan mengamalkannya.
Begitu pula amal shalih lainnya berupa perbuatan kebaikan dalam bermuamalah yang dianjurkan setiap bulan seperti membantu orang lain, berbuat baik kepada orang tua, memberikan hadiah dan infak/sedekah, berbuat baik kepada orang lain, menyingkirkan duri atau sesuatu yang membahayakan orang lain di jalan, memberikan makanan dan minuman kepada orang lain, membantu orang lain yang membutuhkan bantuan, bersilaturrahim, mengunjungi orang sakit, mengunjungi keluarga orang yang meninggal, menghadiri majelis ilmu syar’i, mempelajari ilmu syar’i, dan sebagainya.
Amal shalih tersebut dianjurkan pada semua bulan Hijriah. Hanya saja pada bulan-bulan Haram termasuk bulan Rajab lebih dianjurkan dan diutamakan, karena pahalanya lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya kecuali bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan memiliki keagungan dan kemuliaan seperti bulan-bulan haram. Allah subhanahu wa ta’ala telah mengagungkan dan memuliakan bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram. Sehingga pahala amal shalih pada bulan-bulan ini lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Inilah keutamaan bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram.
Oleh karena itu, pada bulan Rajab ini kita dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih secara umum sebagaimana disyariatkan pada bulan-bulan lainnya. tanpa mengkhususkan amalan tertentu pada hari tertentu di bulan Rajab seperti hari pertama, kedua, dan ketiga atau pada sebahagian hari-harinya dengan meyakini keutamaan amalan pada waktu ini. Maksudnya bukan amalan khusus pada hari-hari tertentu di bulan ini.
Adapun mengenai amalan khusus di bulan Rajab, maka tidak disyariatkan dan tidak memiliki keutamaan sama sekali. Karena, tidak ada satupun dalil yang shahih yang mensyariatkan dan menjelaskan keutamaan amalan tertentu pada bulan Rajab. Hadits-hadits yang beredar di tengah masyarakat yang menerangkan keutamaan bulan Rajab dan amalannya adalah dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu). Semua hadits ini tidak boleh diamalkan dan tidak boleh pula dijadikan hujjah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama hadits dan ulama yang telah melakukan penelitian mengenai masalah ini.
Oleh karena itu, tidak ada amalan khusus pada bulan Rajab sebagaimana yang dilakukan oleh sebahagian orang yang mengkhususkan puasa pada hari pertama, kedua, ketiga, dan Kamis pertama dari bulan Rajab, puasa hari ke 27 Rajab, Qiyamul Lail malam pertama bulan Rajab, shalat Ragha’ib (shalat pada malam Jum’at pertama bulan Rajab) atau shalat Rajab, umrah rajabiyyah (umrah khusus bulan Rajab), ‘atirah (menyembelih hewan khusus bulan Rajab), dan amalan khusus lainnya dengan menyangka ada memiliki keutamaannya masing-masing. Semua ini adalah perbuatan bid’ah yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dijelaskan oleh para ulama hadits dan ulama muhaqqiqun.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridai) Allah? Dan sekiranya tidak ada ketetapan yang menunda (hukuman dari Allah) tentulah hukuman di antara mereka telah dilaksanakan. Dan sungguh, orang-orang zalim itu akan mendapat azab yang sangat pedih.” (Asyura: 21).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Apa yang diberikan oleh Rasul (Muhammad) maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib kepada kamu mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. Dan jauhilah oleh kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain dari An-Nasai, “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitabullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan (tempatnya) dalam neraka.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu urusan agama kami ini, yang bukan darinya agama, maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat yang lain dari Imam Muslim, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak didasari oleh agama kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim).
Mengingat keharaman dan bahaya bid’ah, maka kita harus berhati-hati dalam melakukan suatu ibadah. Pastikan suatu ibadah dilakukan berdasarkan dalil yang shahih. Jangan sampai mengamalkan hadits lemah dan palsu, agar tidak terjerumus dalam perbuatan bid’ah.
Mengamalkan hadits palsu dengan sengaja maka hukumnya haram. Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas diriku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari). Hukum ini berlaku bagi orang yang menceritakan, menyebarkan dan mengamalkan hadits palsu dengan sengaja. Orang yang mengetahui atau diberitahu suatu hadits palsu, lalu ia menceritakan, menyebarkan dan mengamalkannya, maka ia telah berdusta atas diri Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dengan sengaja. Maka telah berdosa besar. Ibadahnya ini perbuatan bid’ah yang dikecam dan diharamkan dalam Islam.
Sebagai penutup, mari kita memperbanyak amal shalih pada bulan Rajab ini sesuai dengan petunjuk Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tanpa mengkhususkan waktu dan amalan tertentu. Semoga kita diberikan petunjuk oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, agar ibadah kita diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak terjerumus kepada perbuatan bid’ah yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Amin…!
Penulis adalah Doktor Fiqh dan Ushul Fiqh Pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Provinsi Aceh, Ketua PC Muhammadiyah Syah Kuala Banda Aceh, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara.